7. KLARIFIKASI

1963 Kata
"Mau ke mana?" Langkah Zea sontak terhenti. Padahal, ia sudah bersiap untuk buru-buru meninggalkan ruang makan. Sungguh, Zea ingin cari aman. Takut saja kalau Edgar memanggil karena ingin membahas kejadian tadi malam. "Saya mau kembali ke kamar, Tuan." "Kembali?" Mata Edgar refleks menyipit. Ia pandangi Zea yang kala itu tertunduk seolah takut balas menatap ke arahnya. "Bukannya makananmu belum habis?" Zea langsung mendongak. Dalam hati merutuk kebodohannya sendiri yang tampak payah memberikan jawaban. Padahal, kalau mau aman, kenapa tidak bilang saja kalau dirinya tengah sakit perut atau sedang buru-buru ingin pergi ke toilet. Pasti Edgar tidak akan bertanya atau memberi tanggapan panjang lebar. "I-iya. Itu, saya---" "Saya kenapa? Memang ada hal penting apa yang membuatmu menghentikan kegiatan makan?" Lagi pula, Edgar tidak buta. Ia bisa melihat dengan jelas kalau makanan di piring Zea masih tersisa sangat banyak. Kalau pun sudah kenyang, kenapa juga dari awal mengambil porsi berlebih hingga akhirnya dibuang seperti sekarang. Sungguh, Edgar paling benci siapa pun yang suka membuang-buang makanan. "Ada vitamin dan beberapa obat yang tertinggal di kamar dan harus saya ambil segera, Tuan." Edgar berdecak. Menatap dingin, ekspresinya seperti orang yang tidak percaya. Kalau dicerna baik-baik, jawaban Zea memang terdengar konyol baginya. "Kenapa tidak minta Laura saja yang mengambil? Bukannya seluruh keperluanmu dia yang menyiapkan?" Zea mengangguk kikuk. Lantas, sekarang dirinya harus menjawab apa? "S-saya hanya merasa tidak enak, Tuan. Apalagi Laura sedang sibuk di dapur." Edgar terdengar kembali berdecak. "Kalau kau lupa, Laura dibayar mahal untuk melayani seluruh keperluanmu. Dia memang harus siap direpotkan oleh perintahmu." Pria itu tampak memajukan dagunya. "Jadi, silakan kembali duduk dan habiskan makananmu. Lagi pula, ada hal penting juga yang ingin aku tanyakan kepadamu." Zea detik itu juga langsung panas dingin. Susah payah berusaha untuk bersikap tenang, ia jadi cemas juga. Entah kenapa, Zea yakin benar kalau Edgar pasti ingin membahas kejadian tadi malam. Dan sekarang, ia bingung sendiri akan memberi tanggapan seperti apa. Harus kah ia jujur atau mengelak saja kalau pria itu bertanya macam-macam. "Maaf, Anda ingin bertanya soal apa?" Zea benar-benar cemas dan gugup. Terlebih, sebelumnya ia juga tidak pernah satu meja makan dengan Edgar. Jadi, canggung saja rasanya kalau harus berhadapan langsung seperti sekarang. "Ini soal kejadian semalam." Sial! Rupanya Edgar benar ingin memastikan apa yang sudah terjadi semalam. Padahal, Zea sudah berulang kali berdoa kepada Tuhan agar pria itu tidak sadar kalau perlu lupa ingatan saja. "Kejadian semalam?" Edgar mengangguk. "Aku ---" "Tuan." Dari arah lain muncul sosok Brigitta yang merupakan kepala asisten rumah tangga di kediaman Egdar. Perempuan berumur 50 tahun itu mendekat. Menghampiri Edgar yang tadinya sedang menatap serius ke arah Zea. "Ada apa?" Edgar mau tidak mau mengalihkan pandangan matanya. "Maaf menganggu waktu sarapan Anda. Tapi, di luar ada Tuan Axel yang datang dan sekarang sedang menunggu di ruang tamu." Edgar melirik sekilas jam yang melingkar di tangan kirinya. Kemudian, pria itu bangkit lalu pergi meninggalkan ruang makan. Segera berangkat menuju kantor bersama Axel yang sudah menjemputnya. "Tuan, apa ada masalah?" Axel sengaja menegur ketika mereka sampai di gedung Nebula. Ini bukan kali pertama dirinya mendapati sang atasan melamun seolah tengah memikirkan sesuatu. Axel sebenarnya tidak bermaksud untuk ikut campur. Hanya saja, ia khawatir dan bermaksud untuk menawarkan bantuan kalau-kalau Edgar memang terlilit masalah besar. "Tidak..." sahut Edgar ketika dirinya sampai di ruangan. "Sebenarnya tidak ada masalah besar." "Anda yakin?" tanya Axel memastikan. "Saya khawatir terjadi sesuatu yang buruk pada Anda. Kalau butuh sesuatu, katakan saja. Saya siap menjalankan tugas yang Anda beri." Di tempat duduknya, Edgar diam sebentar. Memang ada sesuatu yang sedari tadi sudah menganggu pikirannya. Hanya saja, Edgar bingung harus mengambil sikap seperti apa. "Axel, apa kau ingat soal penyelidikan perempuan yang Jane perintahkan tempo hari kepadamu?" Detik itu juga Axel langsung bereaksi. "Maksud Anda, ini soal perempuan yang ingin Nyonya Jane bayar untuk menjadi ibu pengganti?" Edgar anggukan kepalanya. Lagi pula, memang asistennya itu yang Jane tugaskan untuk menyelidiki latar belakang Zea sebelum memutuskan untuk memakai perempuan tersebut menjadi ibu pengangganti yang nantinya mengandung anak mereka. "Ya, benar. Apa kau menyimpan salinan data dari hasil penyelidikan tersebut?" "Tentu saja," sahut Axel segera. "Kalau begitu, apa kau bisa memberikannya kepadaku saat ini juga? Ada sesuatu yang harus aku cek kembali." Padahal, saat tempo hari Axel memberikan hasil penyelidikannya, Jane sudah meminta Edgar untuk membaca serta mengecek agar bisa memberi keputusan. Tapi, karena dari awal Edgar memang malas dan sama sekali tidak tertarik atas usulan ibu pengganti yang istrinya usulkan, ia malas ambil pusing dan menyerahkan semuanya kepada Jane. Dan sekarang, ia malah penasaran dan ingin mengecek sendiri bagaimana latar belakang Zea yang sebenarnya. "Tunggu sebentar, Tuan. Saya ambilkan sekarang juga berkasnya." Beberapa menit berselang, Axel kembali ke ruangan Edgar dengan membawa satu map berwarna cokelat muda di tangannya. Ia berikan kepada Edgar untuk pria itu baca dan cek kembali. "Ini, Tuan. Silakan dicek." Edgar terima sodoran berkas yang Axel berikan. Baru hendak membaca, ponsel pria itu berdering. Dicek, ternyata Jane yang menghubungi. "Sayang..." Panggilan itu terdengar manja. Setiap pagi dan hendak tidur, biasanya Jane memang sering kali menghubungi Edgar. "Kau sudah di kantor?" "Ya. Baru saja sampai," sahut Edgar singkat. "Aku baru saja bangun. Dan sekarang sedang bersiap-siap untuk acara fashion show hari ini. Kau tahu? Semalam, aku bahkan satu panggung dengan Kendall Jenner dan Gigi Hadid. Demi Tuhan, aku bahagia sekali." Edgar tampak biasa saja menanggapi cerita yang Jane sampaikan. Mendengarkan sekedarnya. Tidak sedikit pun antusias. "Selamat. Aku turut senang dan bangga mendengarnya. Lalu, kapan kau kembali ke London? Dua minggu lagi, bukan?" "Ah, soal itu..." ucapan Jane menggantung beberapa saat. "Aku sepertinya tidak bisa pulang tepat waktu. Pihak Dior mengundurkan jadwal pagelaran mereka dari sebelumnya. Jadi, ketimbang harus bolak-balik, mau tidak mau aku harus menambah waktu sekitar seminggu untuk tetap berada di sini." "Kau benar-benar gila!" Edgar terdengar tidak suka. Ada nada kecewa yang teramat, terselip jelas di kalimat yang ia lontarkan. "Empat minggu bukan waktu yang sebentar. Dan sekarang? Kau menambah waktu seminggu lagi? Kenapa tidak sekalian saja kau pindah ke Paris?" "Oh, ayolah, Sayang. Jangan marah seperti ini. Bukannya kau sendiri yang pernah berkata akan menjadi orang nomor satu yang mendukung semua cita-citaku?" "Ya," ungkap Edgar membenarkan. "Memangnya selama ini aku tidak mendukungmu? Sudah banyak biaya yang aku keluarkan untuk mensupportmu menjadi model profesional. Tapi, makin lama kau malah makin asyik dengan duniamu sendiri." "Sayang..." suara Jane melembut. "Ayo lah. Aku sedang tidak ingin bertengkar. Aku janji, ini terakhir kalinya aku pergi dalam waktu yang lama. Setelah itu, aku tidak akan pernah lama-lama lagi meninggalkanmu." Edgar tidak perduli. Bahkan, belum selesai Jane berbicara, sudah ia akhiri panggilan tersebut. Mood nya seketika jelek karena mendapati kenyataan sang istri yang jadwalnya bertambah lama di luar negeri. *** "Nona Zea, apa yang ingin Anda lakukan?" Laura terdengar menegur. Wajahnya tampak cemas mendapati Zea yang terlihat memasuki dapur dan mencari beberapa bahan makanan di dalam kulkas. "Aku bosan dan rasanya ingin memasak sendiri untuk makan malamku kali ini." Kening Laura langsung mengernyit dalam. "Memasak? Anda ingin makan apa? Katakan saja kepadaku. Biar aku yang menyiapkannya untuk Anda." Zea tersenyum. Alih-alih mendengarkan, ia tetap lanjut mencari sesuatu dari dalam kulkas. Tak lama setelahnya mengeluarkan daging beku dari dalam freezer dan beberapa jenis sayur serta buah-buahan. "Tidak, Laura. Tolong izinkan aku memasaknya sendiri. Aku rindu ingin memakan Lancashire dan Roast Meat buatanku sendiri." "Tapi, Nona...." "Sekali ini saja." Zea menatap penuh mohon. Berharap Laura mengizinkannya untuk kali ini saja memasak dan menyiapkan sendiri makan malamnya. "Ku mohon," kata Zea sekali lagi. "Baik lah. Tapi, kali ini saja. Kalau Nona Jane tahu, pasti dia akan marah." Zea tersenyum senang. Setelah mendapat izin, ia gegas mengolah bahan makanan yang sudah dirinya ambil dari kulkas. Karena dari kecil dibiasakan sang ibu memasak sendiri, Zea jadi piawai memasak berbagai macam jenis serta menu makanan khas Inggris. Bahkan, ada beberapa masakan khas Italia dan Asia yang juga sering dirinya masak. Bermaksud untuk menghidangkan masakannya kepada penghuni lain yang ada di rumah, Zea sengaja memasak dalam jumlah yang lumayan banyak. Sambil bersenandung, ia nikmati kegiatan masak yang dirinya lakukan di dapur tanpa mau dibantu sedikit pun oleh Laura. Ketika selesai, Zea susun dan hidangkan satu per satu masakannya dengan rapi di atas meja makan. Baru menuang air ke dalam gelas, dirinya mendengar ribut-ribut dari arah luar seperti ada tamu yang baru saja datang. "Ya Tuhan, Edgar. Apa yang dimasak oleh pembantumu? Aku tidak berbohong tapi ini harum sekali. Aku jadi lapar karena mencium aromanya." Memang Edgar yang baru saja datang. Pria itu sampai rumah dengan membawa serta temannya. "Entah lah. Aku juga tidak tahu apa yang mereka masak. Tapi, kalau kau lapar, makan saja dulu sebelum pulang." Pria itu tersenyum senang. Mengekor, ia ikuti Edgar yang berjalan menuju ruang makan. Lantas, keduanya sama-sama terkejut mendapati sosok Zea yang sedang menyusun makanan di atas meja. "Edgar... kenapa ada wanita cantik di rumahmu?" Teman Edgar tersebut bertanya penuh heran. Bahkan, tanpa ragu mendekati Zea yang berdiri di sisi meja makan. "Apa kau asisten baru di rumah Edgar? Sebelumnya aku sama sekali tidak pernah melihatmu." Zea terdiam bingung. Alih-alih menjawab, ia malah melirik ke arah Edgar. Berharap pria itu menolongnya agar ia tidak salah memberi jawaban. "Kaivan." Edgar langsung menegur. "Bukannya kau lapar? Cepat makan, setelah itu segera pulang." Pria bernama Kaivan itu tertawa. Mengabaikan Edgar, malah kembali fokus kepada Zea. "Kenalkan, namaku Kaivan Aldrich Winata. Kalau boleh tahu, siapa namamu?" Kaivan menyodorkan tangannya. Tersenyum sumringah, penuh percaya diri mengajak Zea untuk berkenalan. "Tidak usah berkenalan segala macam." Edgar langsung meraih pergelangan tangan Kaivan. Menariknya, mengajak pria itu untuk segera duduk di kursi makan. Lalu melirik ke arah Zea, memberi kode agar perempuan itu segera pergi dari ruang makan. "Ya Tuhan, Edgar. Kenapa kau pelit sekali? Lagi pula, sejak kapan ada wanita cantik di rumahmu? Apakah dia asisten rumah tangga yang baru saja bekerja di rumahmu? Atau jangan-jangan dia simpananmu?" Kaivan mencecar Edgar dengan banyak pertanyaan. Tampak penasaran, ingin tahu sekali siapa sosok perempuan cantik yang ia lihat barusan. "Tidak usah banyak tanya. Kalau kau memang lapar, segera makan lalu cepat lah pulang. Aku harus istirahat setelah ini." "Tapi, Ed----" "Kalau kau cerewet dan masih banyak tanya, lebih baik pulang saja." Kaivan cemberut. Karena memang lapar, ia makan saja apa yang Edgar tawarkan padanya. Setelah selesai dan merasa kenyang, dirinya benar-benar diusir untuk segera pulang. Edgar sendiri begitu selesai makan langsung menuju lantai dua. Melihat Zea yang kebetulan keluar kamar, ia buru-buru mendekat lalu menarik perempuan itu untuk kembali masuk. "Tuan." Zea memkik terkejut. Apalagi saat Edgar menutup pintu dengan kakinya. Lalu mendorong sedikit tubuh Zea hingga tersandar di dinding. "Urusan kita tadi pagi belum selesai," kata Edgar mengingatkan. "Urusan yang mana? Sebenarnya, apa yang ingin Anda bahas?" Edgar pandangi wajah Zea lekat-lekat. Ia kunci kedua manik biru milik perempuan itu, lalu berkata dengan lirih. "Saat aku mabuk berat, sekilas aku melihat kalau kau yang bantu membawaku menuju kamar, bukan?" Zea bingung harus menjawab jujur atau menyanggah. Tapi, sepertinya sulit sekali untuk mengelak. "I-iya. Saya yang bantu membawa Anda menuju kamar." Edgar diam beberapa saat. Detik kemudian, pria itu hela napasnya pelan, lalu kembali berbicara seolah ingin memastikan sesuatu. "Apa aku melakukan sesuatu yang buruk dsn tidak seharusnya kepadamu? Maksudku, apa aku melakukan ---" "Tidak," potong Zea cepat seolah tahu apa yang Edgar maksud. "Semalam Anda tidak melakukan apa-apa. Jadi, jangan khawatir." "Kau yakin kalau aku tidak melakukan hal-hal buruk kepadamu?" Zea mengangguk berulang kali. Ia pastikan agar Edgar mempercayai ucapannya. "Ia, Tuan." "Baik lah," sahut Edgar sesudahnya. "Kalau begitu, aku permisi." Edgar gegas keluar. Sementara Zea langsung menutup kemudian mengunci pintu kamarnya. Sambil memegangi jantungnya yang berdegup tidak karuan, Zea tarik napas berulang kali. Sengaja membual agar tidak terlibat masalah pelik di kemudian hari. Lagi pula, Zea juga tidak ingin kalau Edgar tahu mereka berdua sudah melakukan hubungan yang tidak semestinya dan kemudian jadi canggung satu sama lain. Kalau pun Edgar benar-benar lupa, maka Zea akan simpan rapat rahasia itu sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN