“Nara mau kemana? Ini ada ketua BEM mau gue kenalin!” Teriak Neysa dari depan kelas.
“Ke kamar mandi dulu.” Sudah berniat hendak dandan dulu sebelum masuk. Inara harus kelihatan manis, cantik dan imut seperti biasanya. “Aduhh pahit banget!” Baru sadar kalau lipgloss dari Neysa beneran pahit, berarti kemarin itu hanya efek dari kopi panas.
Tempat sampah yang penuh membuat Inara membuangnya di Koridor samping yang sepi. Lipgloss itu malah memantul ke wajahnya lagi. “a*u, an… anduh sakit,” Gumamnya ketika melihat salah satu tongkrongannya sedang merokok di ujung koridor.
“Santai, gue ada di klab waktu lu sama Neysa.”
“Siapa aja sih yang dateng? Gue gak suka diliat dengan vibes liar.”
“Santai aja kali, Ra. Gue doang. Yang lainnya mah gak peduli juga kalau tau,” Ucap Akmal.
“Tetep aja gue gak nyaman.” Mereka berjalan beriringan. “Gue kayak gitu kalau udah pusing.”
“Nah lu bakalan makin pusing ketemu sama Ketua BEM kita, lu belum punya syarat lulus.” Akmal mengantarkan sampai Neysa yang sudah menunggu.
“Eh ini temen gue yang murid baru.”
“Inara.”
“Ado. Ketua BEM yang gak lengser-lengser.”
“Kenapa tuh?”
“Univ kan lagi banyak kekacauan. Shttt… jangan banyak berisik ya.”
Inara terkekeh, lumayan juga dijadikan teman. Ketua BEM ini dari fakultas Hukum. Menerangkan pada Inara bagaimana dia mendapatkan sertifikat bela negara. Kemungkinan ikut dengan mahasiswa baru nanti. “Gak masalah sih. Ada lagi yang harus gue lakuin?”
“Makan siang bareng?”
Inara menaikan alisnya, mengajak berkencan kah?
“Sama anak yang lainnya juga, gabung deh sama fakultas kalian.”
Neysa merangkul Inara. “Sok aja, tapi matanya gak usah kayak gitu. Inara punya pacar.”
Yang sampai sekarang kagak ngasih kabar, setidaknya kesedihan Inara teralihkan oleh anak-anak tongkrongan yang bernyanyi di siang bolong. Di lantai dua cafe, outdoor pula. Tapi ini menyenangkan untuk Inara.
“Wehhh tumben Pak Rektor ke cafe ini.”
“Mana?!” Neysa menggila, kepalanya melihat ke bawah. “Ganteng anjirr, hot banget gila. Aargghhh Dadddyhhhhh.”
“Tolong dong kondisikan si Neysa.”
Para perempuan antusias kecuali Inara yang menduga Agra akan menemuinya. Ternyata ada panggilan tidak terjawab dari pria itu.
Inara segera turun ke lantai satu bagian belakang dekat kamar mandi. Benar saja Agra berjalan ke arahnya. “Ikut saya.”
“Kemana, Pak?”
“Ada yang mau saya omongin sama kamu.”
“Nanti aja, Pak. Saya lagi ngumpul sama temen-temen ini. Janji langsung ke apartemen bapak. Kan udah deal gak akan saling kenal di luar, Pak.” Inara sampai berbisik.
Agra malah melangkah mendekat dengan tatapan yang tajam. “Ini darurat, saya manggil kamu 12 panggilan tapi gak dijawab.”
“Hapenya di silent.” Inara mundur seiring Agra mendekat. “Nanti kita ngomongnya ya, Pak. Plisss.” Sampai berbisik. “Nanti temen saya pada kesini terus liat kita. Munduran.”
“Kamu angkat panggilan dari ibu saya?”
“Iya, saya kira itu Mama.”
Tatapan Agra tajam, hingga Inara sampai menyentuh tembok dengan tumbuhan merambat. “Nanti jadi fitnah kalau deketan gini, janji langsung pulang abis dari sini, Pak.”
Agra melangkah mundur hingga Inara bisa mengambil napas lega. Belum juga menjauh dari tembok, gerakan di bahunya lebih menarik atensi. Inara menoleh. “Aaaaaaa!” Menjerit seketika melihat ulat disana. “Bapakkk!”
Agra kaget, dia berniat membantu menyingkirkan ulat itu. Namun Inara terus bergerak tidak beraturan hingga Agra salah malah menarik lengan bajunya hingga merosot sebagian
“Aaaa bapakkkk!” Inara masih panik dengan ulat yang akhirnya jatuh. Dia langsung berjongkok memeluk dirinya sendiri ketakutan
Agra mematung di tempatnya, mendengar keributan dari belakang. “Ini… gak seperti yang kalian pikirkan.”
“Inara!” Neysa berlari memeluk Inara yang tampak seperti korban pelecehan dengan bajunya yang terbuka.
“Gak gitu, bukan begitu.” Agra menarik napas dalam semakin banyak orang yang berdatangan. Kebanyakan mahasiswanya.
***
Agra menatap Inara sebelum dirinya pergi. “Hati-hati lain kali.”
“Baik, Pak.” Dalam ketakutannya tadi, inara memberikan penjelasan pada kerumunan orang kalau Agra membantunya. Daripada mendapatkan masalah lainnya lebih baik jujur saja.
“Tapi aneh juga sih kalau bapak mau macem-macem sama lu. Secara ini tempat terbuka. Masih banyak juga yang bersedia buat lebarin kaki di depannya,” Gumam Neysa.
“Udah gue bilangin kalau Pak Agra bantuin gue.”
“Aneh tapi ngapain dia kesini.”
“Ke belakang berarti ke kamar mandi. Kebelet kali sampe numpang di cafe ini.” Inara salah fokus pada sang pemilik cafe yang baru saja menahan Agra untuk difoto dulu. “Buat apa itu, Mbak?” Saat sang pemilik masuk.
“Narik para komunitas pecinta Pak Agra, hehehehe. Jarang banget dia mampir di cafe sekitaran sini.”
Yah, Agra lumayan terkenal di kalangan mahasiswa nya. Pasti mereka akan kecewa kalau tahu aslinya gay. “Gue mau pulang duluan deh.”
“Ngapain? Masih siang juga.”
“Ada urusan.”
Ado langsung berdiri. “Gue anterin yuk, sekalian mau pulang.”
“Gak usah, Do. Thanks banget.”
“Gue maksa. Ayok.” Sampai menarik tangannya dan membukakan pintu. “Sekalian gue ngomongin tentang kampus.”
“Okedeh.” Inara juga tidak berencana membawanya sampai masuk apartemen. Tinggal mengatakan saja kalau Papanya strict parents.
Tring! Satu pesan masuk dari sang Mama. Memintanya datang ke rumah. Atalia tidak mengatakan untuk apa Inara di suruh kerumah. Tapi hatinya jadi tidak karuan.
“Ra? Beneran ke jalan yang ini kan ya?”
“Eh? Gajadi kesini. Harusnya belok kanan tadi di perempatan.”
“Lah?”
“Tadinya mau ke rumah saudara dulu, hehehe. Gajadi.” Inara jadi tidak fokus, pertanyaan Ado tidak dijawab sepenuhnya. “Nah yang gerbang item itu. Stop disana.”
“Gak masuk?”
“Enggak. Sorry ya, ortu gue strict banget. Males gue kalau lu diwawancarai.”
“Aman gak papa kok.”
Inara memastikan dulu Ado pergi. Pria itu menatao lewat spion dulu, rumahnya gede banget anjirrr.
Padahal Inara sengaja berhenti di rumah tetangganya. Rumahnya yang asli lebih besar dan ada di sebrang.
Sapaan pelayan sampai diabaikan, ingin segera menemui sang Mama yang kini sedang memasak di dapur. “Mama, kenapa?”
“Eh, sayang udah pulang?”
“Kenapa?”
“Apanya?” Atalia menaikan alisnya bingung. “Oh, Mama mau ajak kamu makan malam bareng disini. Kita kangen banget sama kamu.”
Bahu Inara langsung lemas, dia pikir ada apa. “Mau masak bareng sama Mama!” Antusias melihat Mamanya sedang melelehlan cokelat. Mereka membuat dessert bersama-sama.
Khusus untuk Papanya, Inara membuat bagian atas pudding menyerupai wajah dengan buah. Saat Papanya datang, Inara antusias ingin memperlihatkan. “Papa! Papa! Liat apa yang Inara bikin, Papa!” Sambil berlari keluar.
“Nah kan apa kata saya, Agra. Anak ini aslinya polos banget.”
Inara yang sebagian wajahnya kotor oleh tepung itu langsung diam melihat Agra yang ada disamping Papanya. Dia lupa pria ini!
“Mas kirain pulangnya telat nanti.”
“Agra mau makan malam disini juga. Sambil nunggu, kita diskusi dulu.”
***
“Kasih kesana cepetan. Ngapain ngintipin mulu?”
“Mau denger apa yang diomongin Papa sama Pak Agra.” Mengingat mereka ada di halaman belakang dekat kolam renang.
Plak! Atalia memukul pantatt anaknya yang terus menungging.
“Aw, Mama…”
“Tolong kasih kesana.”
“Iya iyaa.” Inara menerima nampan tersebut, berjalan menuju Agra dan Alvano. Keduanya langsung diam saat Inara tiba. “Silahkan dinikmati, bentar lagi makan malamnya beres.” Kemudian Inara berdiri diam disana.
“Kenapa Kakak malah diem? Ke dalam lagi.”
“Ohh iyaa. Ada yang kalian pengen lagi gak?”
Agra menatap seolah mengusir, tapi Inara ingin tahu kepentingan apa lagi di Yayasan. “Oh iya, Pak. Terkait Inara ini sebenarnya di-”
“Ini pergi, Inara pergi,” Ucapnya terburu-buru. Agra terkekeh puas melihatnya ketakutan.
Makan malam keluarga yang dibayangkan akan terasa manis itu malah menegangkan. Inara takut Agra mengatakan fakta tentang dirinya.
“Niat awal saya membiarkan anak-anak matang dulu, baru dilibatkan. Cuma siapa sih yang bisa kendalikan kehendak Tuhan. Jadilah Inara harus pulang dari Amerika lebih cepet.”
“Tidak apa, Pak. Biar saya yang mematangkan nya disini,” Ucap Agra tersirat sesuatu.
“Inara gak menyulitkan kan, Pak?”
“Ahh tidak, hanya sedikit nakal.”
“Nakal bagaimana?” Tanya Atalia.
Inara sudah melotot menatap Agra.
“Dia kalau baca buku masih agak ngantuk.”
“Wajar itumah. Metode kamu yang harus ditingkatkan lagi, Agra.” Alvano terkekeh diikuti Inara yang merasa lega.
Sampai makan malam berakhir, semuanya aman. Inara akan menginap disini menghindari Agra.
“Inara bisa pulang sama saya ayok.”
“Loh, saya mau nginep disini, Pak. Gapapa kan?”
Alvano malah yang menjawab. “Pulang aja, Sayang. Nginep nanti kalau weekend ya. Sana pulang sama Pak Alvano.”
Mungkin Alvano sangat ingin dirinya banyak belajar. Akhirnya pulang juga dengan agak khawatir. “Tadi saya dipanggil Mama kesini, lupa mau ngabarin bapak.”
“Iya kamu malah pacaran sampai lupa perintah saya.”
“Pacaran? Pacar saya mah di Amerika.”
“Oh dua sama si Ado?”
“Dia mah cuma nganterin doang, Pak. Lagian dari mana bapak tau,” Gumamnya. “Bapak jadinya mau ngomong apa? Adakah hal genting?”
“Iya, tapi kamu malah sibuk pacaran.”
“Dibilangin dipanggil Mama ih. Jadi apa yang genting?”
Agra belok ke bangunan Yayasan yang milik olimpus itu. “Diem disini,” Perintahnya pada Inara.
Kali ini Inara menurut, menunggu Agra yang ternyata sedang memastikan semuanya di porsi seharusnya selama beberapa hari ke depan. Menguras cukup waktu sampai membuat Inara mengantuk
Se genting apa sampai Agra begitu lama? Inara memejamkan mata berniat istirahat sejenak, tapi terlelap begitu dalam pada akhirnya. Tidak tahu Agra sudah naik mobil lagi dan membawa Inara pergi
Perempuan itu baru bangun ketika rasa buang air kecil datang. Biasanya sudah menjelang tengah malam kalau ingin buang air kecil, tapi kenapa dirinya masih ada di dalam mobil?
“Bapak?” Melihat pohon-pohon besar di sepanjang jalan. Ini bukan di Jakarta. “Kita mau kemana?”
“Bandung.”
“Bandung? Ngapain?”