Kekacauan

1644 Kata
Agra menggosok bibirnya kuat. Apa yang dipakai bibir Inara sampai membuatnya mual seperti ini? Tingkah anak cenderung membuatnya lelah. Agra awalnya berniat menolak untuk mengajari Inara, melibatkannya dalam percakapan terkait kampus. Namun Alvano memohon, “Agra, saya gak tau harus mohon ke siapa lagi. Kamu satu-satunya yang saya percaya di Yayasan dan kampus. Semua orang sedang mencoba menyingkirkan kami.” Berbanding terbalik dengan yang diucapkan Alvano, ternyata Inara ini gadis nakal yang otaknya kosong. “Pak, maaf. Tadi gak liat ada karpet bulu. Ini saya buatkan teh manis hangat.” Agra duduk di sofa dengan helaan napas panjang. “Kamu udah melecehkan saya dua kali loh.” “Maaf, kan gak disengaja. Saya juga gak mau tuh ciuman sama bapak.” “Mana bibir kamu pahit lagi.” “Gimana, Pak?” Inara ke dapur tidak terlalu mendengar. “Ga ada.” Agra meminum teh saat Inara menunduk menyimpan makan malam di meja yang sama. “Pwahhh!” “Bapak?!” “Inara, ini kemanisan.” “Masa? Padahal pas saya coba gak kerasa apa-apa.” “Sudahlah.” Agra menatap makan malam yang tampak enak. Pantas saja lama, Inara menghiasnya dulu. Tapi rasanya tidak seenak itu. “Uhuk! Inara, ini keasinan astaga.” “Loh? Saya tadi coba udah pas loh.” “Mulut kamu bermasalah.” “Enggak, Pak.” Inara menghabiskan teh itu dan memakan steak yang disiapkan nya. “Tuh, menurut saya pas. Bapak yang mungkin lagi gak bagus mulutnya.” Agra mengambilkan sebuah camilan berbentuk seperti rumput laut dan diberikan pada Inara. “Coba kamu makan.” Inara tetap melakukannya meski kebingungan. “Um, enak. Pedes dikit.” “Ini ghosts papper, punya si Aben yang ketinggalan di apartemen saya.” “Wahhh keren saya bisa makan ini!” Antusias meraih cangkangnya. Sampai sadar Agra menatapnya tajam. “Maaf, Pak.” Akhirnya Agra memesan saja makanan. Inara merasa bersalah, pasti ini bekas kopi panas tadi. “Bapak lagi apa?” Agra pun langsung mengacuhkannya dan sibuk sendiri di sebuah kamar yang dia jadikan ruang kerja. “Siapin materi buat kamu.” Menyusun tumpukan buku tebal hingga setinggi perut Inara. “Nanti kamu harus pahami managemen tentang pendidikan. Kalau satu buku udah kamu kuasai, bisa move ke buku yang lain.” “Tapi… sebanyak ini saya harus baca?” “Iyalah, nanti saya juga yang ngetes kamu. Kalau udah layak pindah buku, baru boleh.” “Ihh, Pak…” “Atau harus saya kasih tau prilaku kamu yang sebenarnya ke Pak Alvano?” “Jangannnn!” Ting tong! “Tolong bawain makan malam saya.” Ternyata yang dibeli Agra banyak juga. Ada cokelat dan ice cream kesukaannya! Inara sudah percaya diri ini miliknya. “bapak suka ice cream sama cokelat?” “Nggak, itu buat kamu.” “Ihhh makasih, Pak. Sa-” “Kalau kamu udah beresin satu bab dan berhasil jawab pertanyaan saya.” “Ih kok gitu sih, Pak.” “Kenapa?” Tanya Agra tajam sambil menusuk steak dengan garpu, menimbulkan suara denting piring, menimbulkan ketegangan pada Inara. “Boleh makan malam dulu kalau mau.” “Ga usahlah. Nanti aja.” Inara lebih ingin ice cream. Dia mengambil satu buku yang paling atas, beratnya mungkin 3kg. Inara duduk di atas karpet bulu sementara Agra di kursi kerjanya sedang makan malam. Kadang menatap kebawah memastikan Inara membaca dengan benar. Kruyukkkk! Inara mengabaikan perutnya yang berbunyi. Kruyuukkk! “Inara, perut kamu berisik.” “Maaf, Pak. Saya pinjem bantal sofa ya.” Menghimpit nya diantara kaki dan perut. Inara kembali fokus pada buku. Kadang merasakan hawa dingin dari tatapan Agra di singgasana nya. Aroma steak sepertinya enak, Inara ingin makan tapi sudah terlanjur mengatakan sebaliknya. “Nih…” Tiba-tiba saja disodorkan garpu dengan potongan daging. Agra sudah disampingnya. “Hah? Buat bapak aja,” Jawabnya gugup. “Ini emang jatah kamu. Saya bantu makan biar cepet pulang dari apartemen saya setelah selesai di test.” Inara membuka mulut pada akhirnya membiarkan Agra menyuapi nya. "Bapak.... tolong jangan bilang yang kemarin ke orangtua saya ya." "Kamu udah bilang itu berulang kali, Inara." "Saya janji bakalan jadi lebih baik lagi." Agra menatap manik itu dalam. "Buktikan, jangan kecewakan kedua orangtua kamu." **** Agra mengajar mata kuliah Manajemen Pendidikan Multikultural semester 7 Inara sekarang. Memang sulit. “Bagaimana pendekatan dekolonial dapat mengubah paradigma manajemen pendidikan untuk lebih inklusif dan adil?” “Bentar, Pak. Saya belum siap.” “Kamu udah lama baca bukunya. Saya udah ngantuk, Inara… Hoamm… cepetan jawab.” Agra sedikit terganggu dengan wajah Inara yang sudah lelah. Membuatnya menelan saliva kasar. Inara menarik napas dalam, mengadah menatap Agra dengan jawaban yang dia yakini benar. Pria itu terkekeh hambar, “Gimana kamu bisa memimpin Yayasan nantinya kalau dasarnya aja gak tau?” Inara menunduk, padahal dia sudah memikirkan ini sejak lama. “Bawa bukunya, besok belajar lagi. Ambil cokelat sama ice creamnya.” “Besok jam segini lagi?” “Iya, kalau saya ada waktu luang di kampus, nanti dipanggil.” “Tapi jangan sampai temen-temen tau kalau bapak lagi bimbing saya ya. Fansnya bapak kan banyak.” “Hmmm…” "Terima kasih banyak, Bapak." Dengan ice cream dan cokelat yang didapatkannya, Inara berniat gadang sambil berusaha menghubungi kekasihnya. Sudah backsteet, susah komunikasi pula. Terus menunggu sampai tengah malam datang. Hujan deras disertai petir membuat Inara menyesal tidak tidur dari tadi. Dia takut suara keras itu. “Hallo, Bi?” Inara menghubungi orang dirumah saat masuk ke dalam. “Ini Papa, Nak. Kenapa, Sayang?” “Loh Papa? Kenapa belum tidur? Papa baru pulang dari RS ‘kan?” “Kebangun, jadi Papa yang angkat telpon rumah. Sayang kenapa?” “Um, ada supir gak, Pah? Hujan petir, Inara gak bisa tidur. Mau nginep disana.” “Hujan deras gini, Sayang. Diem disana, Papa nyuruh orang kesana ya.” Inara menunggu sambil memakai headset, meringkuk ketakutan di kamar. Kapan pembantu atau siapapun itu datang? “Inara?” Panggil seseorang itu mengguncang tubuhnya. Inara langsung melepaskan selimut dan melompat ke pelukannya. “Takut, Mbak aku… Ih bapak?!” Inara langsung mundur ketika tatapan mereka bertemu. “Bapak ngapain disini?” “Kamu pikir ngapain? Papah kamu minta saya temenin kamu karena takut petir.” Agra duduk di single sofa. “Tidur kamu.” Kemudian matanya terpejam. “Bapak mau disini?” “Saya pastiin dulu kamu tidur baru pulang. Kamu gak bisa tidur sendirian kalau gini kan?” “I-iya sih.” Keheningan melanda, hanya terdengar suara diluar sana. Meskipun Arga ada di kamarnya, Inara masih takut. Dia berpindah ke sofa panjang dekat Arga dan terlelap di sana. Agra menghela napas dalam, pekerjaan barunya lagi harus mengangkat tubuh Inara ke atas ranjang. Perempuan itu merengek dalam tidur, tangannya tiba-tiba melingkar di leher Arga hingga pria itu tersungkur mencium daada yang kenyal. Agra kaget bukan main. Dilihatnya Inara yang masih terlelap. “Lepasin saya, Inara.” “Aaaaahhh… jangan pergi, Mama. Tungguin Kakak disini. Kakak takut.” Menarik Agra semakin dekat sampai pria itu berbaring di sampingnya. Satu kaki Inara melingkat menahan pinggang Agra. Separuh tubuhnya juga menimpa hingga Agra tidak bisa bergerak. “Mama… hngghhh… Mama, Inara takut.” Agra menatap wajah yang kembali terlelap. “Dasar bocah manja.” Lelah untuk melawan, Agra tidur juga disana. **** Malam itu, Inara memimpikan Keenan. Meskipun hanya mimpi, tapi Inara bisa mencium sang kekasih, bahkan mendapatkan balasannya. Sampai berfikir itu keajaiban karena lidahnya yang mati rasa itu hilang seketika. “Wahhh gila efek mimpi doi. Bukti kalau Keenan sayang sama gue walaupun berjauhan.” Inara terkekeh sepanjang perjalanan. “Eh, Selamat Pagi, Pak Agra.” Menyapa Agra yang sedang duduk menunggu di loby. “Pagi.” Pria itu tidak menatap wajah Inara, fokus pada ponselnya. “Nunggu Pak Aben, Pak?” Tidak dijawab lagi. “Taksi saya udah dateng, duluan kalau gitu ya, Pak. Semoga luka dibibirnya segera sembuh.” Inara melompat-lompat tidak ragu lagi memperlihatkan sisi yang lainnya pada Agra. Toh pria itu sudah tahu. Inara mampir dulu ke cafe membeli sarapan. Tempatnya cukup ramai hingga Inara berdesakan dengan yang lain. Bruk! Ponsel yang dipegangnya jatuh. “Kakak, maaf yaa.” “Aduh maafkan anak saya.” Amarah Inara pergi melihat anak kecil yang menyenggol nya. “Gak papa kok. Hapenya gak ancur.” Giliran Inara melihat menu, ada panggilan video masuk. Inara melihat sekilas ada emoticon love, itu pasti dari Mamanya dan langsung menggeser menjawab panggilan. “Inara lagi di cafe dulu, Ma. Mau sarapan. Lohhh, kok kameranya gelap?” Inara tidak bisa melihat apa-apa, ditekan juga tidak merespon. Tapi masih bisa mendengar suara batuk disana. “Efek tadi jatuh kali, Ma. Inara gak bisa lihat wajah cantik Mama. Ini Mama bisa liat Inara gak?” Inara heran kenapa Mamanya diam saja. “Gak kedengeran kah? Nanti Inara hubungi lagi deh. Oh iya, Ma. Semalem Pak Agra nemenin Inara sampai bobo pas hujan petir. Gak usah khawatir ya.” Kemudian mematikan panggilan hingga ponsel kembali normal. Inara terdiam, ini bukan wallpaper kuncinya. Jangan-jangan….. “Inara,” Panggil seseorang yang baru saja datang. “Saya salah ambil hape semalem.” “Oh, ini hape bapak? Pantesan!” Agra segera menukarnya. “Bapak buru-buru kah? Ada yang mau saya bilang.” “Nanti aja.” “Itu hapenya tadi jatuh, terus ada error deh.” Agra tidak masalah, bisa ganti hape dengan mudah. Yang lebih penting sekarang rapat di Yayasan. Harus siap mental lagi menggantikan posisi Alvano sebagai ketua Yayasan. “Aishhh belum juga kelar ngomong,” Gumam Inara kesal. Disisi lain Agra kaget dengan pesan yang begitu panjang dari Sang Ibu: Jadi selama ini diem-diem kamu punya hubungan sama perempuan yang namanya Inara sampai nemenin dia tidur? Kenalin ke Ibu, atau Ibu bakalan jadiin pergi ke Jakarta sama calon pilihan Ibu terus langsung nikahin kalian. Sambil memotretkan foto mobil pengantin beserta gaun pengantin yang sudah jadi. “SHITTT!” Agra mengumpat melihat panggilan video 7 menit yang lalu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN