PROLOG: Awal Kisah
“Aben, coba cari jurus seribu bayangan,” ucap seorang pria yang baru saja masuk ke mobil.
“Pak, yang kuat, Pak.” Sang ajudan yang duduk bersama supir itu menoleh, dengan takut-takut memberikan berkas lainnya.
“Saya baru saja beres rapat Yayasan, Aben. Apalagi ini?!”
“Ini… beberapa solusi yang dirangkumkan sekretaris Pak Alvano. Beliau katanya masuk Rumah Sakit, gak bisa ikut rapat structural kampus.”
Agrana Adiningrat, berusia 35 tahun yang menduduki jabatan Rektor di Universitas Bramawijaya. Ditunjuk 3 bulan lalu untuk menggantikan posisi Alvano yang sekarang naik menjadi Pimpinan Yayasan. Iya, Universitas Bramawijaya berada dibawah naungan Yayasan Pendidikan Bramawijaya, dan Alvano adalah pemiliknya. “Kita jenguk dulu Pak Alvano,” perintah Agra.
Ruang rawat VVIP yang dipakai Alvano agar kondisi kesehatannya tidak bocor. “Selamat siang, Pak Alvano.”
“Agra!” si pemilik nama ikut memanggil lawan bicaranya yang baru tiba. “Saya senang kamu disini. Kemarilah, ada yang mau saya omongin.”
“Anda seharusnya tidak mudah tumbang, banyak mulut yang harus dibungkam.”
Ucapan Agra membuat Alvano terkekeh. “Bukan hal yang mudah saat Yayasan yang dibangun Ayah saya diambang kehancuran, ditambah lagi perusahaan property saya juga akan bangkrut.”
“Anda bisa melewatinya, Pak. Saya akan berusaha semampu saya.” Alvano pernah menolong Agra saat dirinya hendak meraih gelar professor.
“Ada satu lagi yang saya minta dari kamu.”
Agra menahan napas dengan beban lain yang akan datang.
“Anak pertama saya yang sekarang kuliah di Amerika akan saya suruh pulang. Tolong kamu bimbing dia jadi calon pemimpin dimasa depan.”
“Bukannya sekarang lagi semester akhir, Pak?”
“Iya, biarkan dia merasakan dulu jadi mahasiswa tanpa privillage kedua orangtuanya. Saya terlalu memanjakan Inara hingga dia tidak tahu kerasnya kehidupan ini. Saya percayakan dia sama kamu, Agra.”
Sudah menjadi Rektor, sekarang harus membimbing pula. Agra tidak langsung memberi jawaban iya, jujur saja kondisi Universitas yang buruk mempengaruhi Yayasan, bahkan para Dewan Pengawas Yayasan ingin menyingkirkan keluarga Bramawijaya. Padahal Bramawijaya adalah pendirinya.
Di sore hari yang panas ini pun, Agra harus kembali ke kampus. “Pak, kapan akan ke Italia untuk menjalin kerjasama dengan kampus disana? Ini berpotensi menaikan akreditasi kampus, Pak,” ujar Aben begitu mereka masuk mobil.
“Aben, mulutnya diem kalau lagi di mobil. Saya lagi rencanain liburan.” Baru juga Agra mencari destinasi liburan, layar ponselnya menunjukan panggilan dari SANG IBU.
“Bapak mau kemana?” tanya Aben begitu Agra pergi ke arah berlawanan dari rektorat. Agra mengangkat panggilan sambil duduk di kursi taman. “Iya, Ibu?”
“Besok Ibu bakalan ke Jakarta, sambil bawa calon istri buat kamu.”
“Gak bisa, Agra mau ke Italia ada tugas.”
“Telat. Ibu udah persiapan kesana.” TUT.
Panggilan dimatikan sepihak. Agra mendesah Lelah, melonggarkan dasi dan memejamkan mata dibawah pohon rindang berusaha merileks-kan pikirannya. Angin sepoi-sepoi membelai hingga Agra membuka dua kancing teratas. Namun telinganya terganggu oleh jeritan tertahan beberapa mahasiswa, diikuti suara kamera yang memotretnya.
“Aben?!”
“Iya, Pak?”
Mahasiswa itu berhamburan pergi dari semak-semak saat ajudan Agra datang. “Kita ke Italia malam ini. Cari jadwal tercepat.” Demi menghindari sang Ibu.
“Baik, Pak.”
“Terus jagain saya mau tidur sebentar disini. Jangan biarin ada yang foto saya lagi.”
“Terlambat, foto bapak udah kesebar di group chat FANBASE MR.HOT.” sambil menunjukan foto Agra dua menit lalu yang langsung menuai beragam komentar dari mahasiwi di dalamnya.
Bukan hal mudah terkenal sebagai pria lajang seksi dengan status Rektor, para mahasiswi berlomba mencari perhatian meskipun Agra dikenal sebagai dosen killer.
***
“Ihhh Papa dimana sih? Udah nunggu dari tadi ini.”
Agra menoleh menatap perempuan yang tengah menggerutu sambil menelpon. Aben bilang dia ingin ice cream, jadilah Agra ikut menunggu disini.
“Bentar deh, Kakak juga mau ke kamar mandi dulu.” Tanpa sadar, mengambil koper Agra yang identic dengan miliknya. Agra baru menyadari ketika hendak pergi, koper ini terasa berat.
“Bapak mau kemana?!” teriak Aben saat Agra berlari mengejar perempuan yang hampir hilang dari tatapan.
“Mbak, kopernya tertukar, Mbak. Mbak?!” Agra memanggil.
Perempuan itu lebih dulu masuk kamar mandi di paling belakang. Agra kebingungan disana. Drrttt! Pengumuman keberangkatan ke Italia bersamaan dengan panggilan dari Aben. “Bentar, ada yang ngambil koper saya.”
“Cepat, Pak. Sebentar lagi lepas landas. Saya kesan-”
Agra memutuskan panggilan sepihak. Dari pengamatannya, kamar mandi ini jarang didatangi. “Mbak? Kopernya ketuker, Mbak? Hallo, Mbak?” Agra menarik knop perlahan, tubuhnya refleks menunduk mengintip dahulu.
Bersamaan dengan itu, perempuan yang dicarinya baru saja memakai headset dan menarik pintu kuat hingga Agra langsung tersungkur diantara kaki perempuan yang kini jatuh terlentang.
“Aaaaaa! Pria mesummmmm!” teriaknya sambil memukuli Agra dengan tasnya.
“Bukan, kop- hmpphh! Koper kita tertukar!”
Agra sudah migrain, tambah sakit saat dipukuli tas sampai penglihatannya buram dan malah memegang daada perempuan itu.
“Aaaa!” teriaknya langsung berdiri dan meraih koper.
Agra membulatkan matanya. “Koper kita ketuker! Buka headsetnya!”
“Sialaannnn!” tapi perempuan itu lebih dulu melayangkan pukulan bertubi-tubi pada wajah Agra menggunakan koper. Mata Agra semakin buram, masih bisa mendengar pihak keamanan datang.
“Biar kami yang tangani, Mbaknya ayok pergi dari sini.” Sang security membantunya pergi.
Tubuh Agra diangkat, kemudian suara Aben terdengar memanggil namanya berulang kali.
Tiiitttttt! Kira-kira seperti itu peningnya saat telinga menangkap suara ambulance.
“Cepet bawa ke UGD.”
Separah itukah dirinya? Tapi kondisi Agra memang sedang tidak baik-baik saja, dapat dia rasakan darah mengalir dari hidungnya. Ditambah pukulan koper yang membuat kepalanya sakit. Awas saja, Agra akan menangkap perempuan yang sudah membuatnya menderita.
***
Inara Bramawijaya, perempuan cantik berusia 22 tahun yang sebelumnya selalu dimanja dengan gelimang harta kini mendapat kabar bahwa perusahaan dan Yayasan hasil kerja keras kakeknya sedang diambang kebangkrutan.
“Kakak paham ‘kan? Belajar dari bawah. Bukannya gak mau kasih kakak privillage lagi, tapi Kakak harus belajar untuk masa depan Kakak sendiri,” ucap Alvano yang duduk disamping anaknya.
Panasnya tubuh Alvano membuat Inara tidak bisa menolak. Waktunya Inara mengambil peran anak pertama dengan baik. sambutan sang Mama juga tidak tampak seperti biasanya, mata itu sendu. “Selamat datang, Sayang.” sambil memeluk Inara. “Mau mandi atau makan dulu?”
“Mandi aja dulu, Ma.”
Bayang-bayang bangkrutnya perusahaan terus menghantui Inara. Pembicaraan di meja makanpun terkait hal tersebut. Inara dipaksa menelan situasi yang sebelumnya tidak pernah terjadi. “Nanti Papa kenalin kamu ke Rektor pengganti Papa, Namanya Agra. Dia seorang professor, usianya 35 tahun dan akan bimbing kamu dengan baik.”
Papanya tidak berhenti memuji Agra, seolah dia adalah sang penolong. Baru berhenti bicara saat ponsel Alvano berbunyi.
“Kenapa, Pah?” Tanya Inara ikut kaget melihat manik sang Papa yang melotot.
“Agra gagal ke Italia, dia di rumah sakit sekarang.”
“Hah? Kenapa dia, Mas?”
“Aben bilang Agra dianiaya.”
Alis Inara naik, memasang wajah bingung. Kata Papanya, Agra ini sosok yang tangguh dan kuat. Siapa yang berani menganiayanya? Inara tidak tahu orang Bernama Agra ini sangat penting sampai Papa dan Mamanya mengajak Inara ke rumah sakit setelah makan malam.
Melewati bandara, mengingatkan Inara pada kejadian mengerikan tadi. Seorang pria mengintipnya saat tengah di kamar mandi, mana wajahnya langsung tersungkur diantara kaki Inara. Bulu kuduknya langsung merinding.
“Kenapa, Sayang?” tanya Alvano.
“Gak papa, Pah.”
“Agra orang yang baik, gak usah gugup gitu.”
Inara tidak mencemaskan pertemuan ini. Dia sudah siap melepaskan privillage kedua orangtuanya dan jadi mahasiswa biasa. Bimbingan yang akan dilakukan Agra pun akan Inara terima asal orangtuanya bahagia nanti. “Wah, ruang VIP,” gumam Inara mengedarkan pandangan saat masuk ruangan tersebut.
“Agra, gimana ceritanya kamu bisa dianiaya?”
“Koper saya tertukar dengan seorang perempuan. Saat saya hendak menukarnya lagi, dia masuk kamar mandi lalu mengira saya mengintip.”
Inara mematung mendengar cerita yang mirip dengan kejadian yang dialaminya hari ini. Perlahan mata itu bergulir, menatap sosok yang tengah duduk di atas ranjang dengan dahi ditutupi perban. Manik Inara membulat. Ini pria yang tadi mengintipnya!
Sementara Agra menatap Inara seolah berkata, “Habislah kamu, gadis nakal.”