Sakit kepala Agra meningkat, miliknya sakit diremas kuat secara tiba-tiba. “Pak? Bapak kenapa, Pak?” panggil Aben dari luar kamar mandi. Agra memastikan dulu adik kecilnya ini tidak apa-apa.
Agra tidak sabaran untuk segera berbaring di atas ranjang sekarang ini. Sudah malas menghadapi berbagai pertemuan dan juga…. Inara yang kini menatapnya penuh penyesalan tapi tidak mengatakan apa-apa.
“Suruh supir siapin mobil, saya mau pulang,” perintah Agra.
Dibelakang sana Inara berusaha untuk mengejar Agra dan bicara dengannya, tapi Agra sudah diikuti dua laki-laki: ajudan dan sekretarisnya. Masing-masing dari mereka saling menimpali ucapan mengatakan jadwal dan membahas beberapa program dengan Agra hingga tidak memiliki kesempatan bicara sampai di parkiran juga.
“Ngapain kamu ikutin saya?”
“Saya… minta maaf, Pak. Bapak mau pergi begitu saja?”
“Tutup pintunya,” perintah Agra pada sang Agil. Mobil itu langsung pergi meninggalkan Inara yang merasa bersalah, kesal, marah juga sedih karena memegang benda menjiijikan.
Namun, Inara tidak mau berbuat kesalahan lagi. Dia bertekad memperbaiki hubungannya dengan Agra. Apartemen Agra dan Inara ini bersebelahan. Saat malam tiba, Inara menekan bel apartemen Agra sambil membawa kue cokelat.
“Inara sayang?” panggil Atalia.
“Loh, kalian kesini?” untung saja Inara sedang tidak nakal. “Ini… mau ngasih kue ke Pak Agra, tapi dia gak jawab sama sekali.”
“Agra tadi bilang ke Papa mau ke Bogor dulu, ada yang perlu dia urus disana.”
“Loh, ke kakak gak bilang apa-apa.”
“Mungkin dia sibuk sekali, Sayang.” Atalia meraih tangan anaknya. “Bawa pulang lagi yuk. Kita makan kuenya. Mama seneng banget kamu ada inisiatif lakuin ini.”
Melihat kedua orangtuanya bangga hanya karena sikap kecilnya membuat Inara ingin membanggakan mereka, mungkin salah satu jalannya dengan menurut pada Agra. Sekarang saja, Papanya terus saja membicarakan bagaimana Agra mengatasi keributan Dewan Yayasan yang ingin melengserkan Alvano.
Malam ini, Atalia menyetok makanan untuk sang anak sambil mengajarkan Inara memasak. “Nak, tolong bawain vanili di kantong belanjaan sana.”
“Iya, Ma.”
Kantongnya bersebelahan dengan tas sang Mama, Inara tidak sengaja menjatuhkannya hingga isinya berantakan. Ada sebuah surat hasil pemeriksaan Alvano disana. “Mama nggak sengajain kesini buat masak ‘kan? Tapi kalian habis dari rumah sakit.” Sambil mengangkat kertas tersebut.
Atalia segera mendekat, merebut kertas itu untuk dimasukan lagi ke tas.
“Papa sakit?”
“Jangan gitu, Papa kamu bakalan sedih, dia gak mau anak-anaknya khawatir.” Atalia mengajak Inara duduk. Sang suami sedang di kamar mandi hingga dia bisa menjelaskan dengan leluasa. “Papa kamu hanya kelelahan, tahu sendiri kan banyak korupsi di Universitas yang menyebabkan investor dan pemerintah menghentikan dana. Itu membuat Dewan Pengawas Yayasan marah dan terus tekan Papa kamu mencari solusinya. Ditambah…. Ya perusahaan property juga lagi diambang kebangkrutan.”
Inara menunduk menatap tautan tangan dengan Mamanya.
“Tapi Papa kamu selalu takut bikin anak-anaknya sedih. Kondisinya sekarang gak buruk kok, hanya butuh sedikit vitamin biar tubuhnya VIT.”
“Kan Papa banyak karyawannya, Ma.”
“Gak semua bisa dipercaya. Mungkin yang sekarang jadi tumpuan kami hanyalah Agra.”
Nama itu terus mereka sebut. Inara jadi bertekad akan memperbaiki hubungannya dengan Agra dan belajar sungguh-sungguh mulai sekarang demi kedua orangtuanya.
***
Hampir satu minggu Agra tidak kunjung kembali ke kampus. Mata kuliah yang harusnya diajarkan Agra itu digantikan oleh dosen lain.
“Pak Agra keren banget, liburannya gak main-main sih dia,” ucap salah satu temannya.
“Mana?!” Neysa ikut penasaran. “Ih anjirr keren di Bali! Hot gitu ototnya, Ya Tuhannnn!”
Inara yang sedari tadi tida menyentuh makan siangnya itu langsung menoleh, ikut penasaran. “Apasih? Ada apa?”
“Dihhh dari tadi ngelamun mulu, giliran liat foto HOT Pak Agra langsung melek,” ejek Neysa menunjukan Agra yang sedang memegang selancar dengan tubuh basah, pria itu sedang berada di Bali! “Inara samai melongo tuh, Guys. Ini foto terbarunya tau, ada mahasiswa disana lagi liburan juga. Duhhh udah seminggu gak lihat Pak Agra, sekarang terobati ini rindu.”
Inara tidak percaya, belasan pesannya tidak dibalas sampai Inara mengeluhkannya pada sang Mama yang dijawab, “Agra pasti sibuk, Nak. Dia banyak meeting nyari koneksi untuk memperbaiki reputasi kampus.”
Nyatanya pria itu sedang bersenang-senang, Inara tidak bisa membiarkannya. “Lu mau kemana, Inara?” tanya Neysa.
“Pulang dulu.”
“Katanya mau nongkrong?”
“Nanti aja,” jawabnya sambil berlari kecil. Inara harus segera melaporkan ini pada sang Mama, bahwa Agra sedang bersenang-senang di Bali, bukannya kerja.
“Non, kenapa ngos-ngosan kayak gitu?” tanya sang pembantu begitu Inara tiba.
“Mama dimana?”
“Ibu lagi ke Rumah Sakit, Bapak hampir pingsan tadi.”
Semakinlah amarah Inara berkobar, Agra harus mendapatkan balasannya karena membuat kedua orangtuanya menderita dengan kebohongan. Mata Inara terasa panas, ingin menangisi kondisi keluarganya.
Kakeknya di Amerika menjalani perawatan, Papanya juga tumbang sekarang. “Mamaaa,” panggilnya dengan tangisan pecah saat melihat Atalia di koridor ruangan VIP.
Atalia menarik tangannya yang hendak mendorong pintu yang sudah terbuka sedikit. “Sayang kok nyusul? tahu dari mana Mama disini?”
“Mama tau nggak? Pak Agra itu lagi liburan di Bali loh! Dia gak kerja buat kita, Ma! Dia lagi seneng-seneng. Harus dikasih hukuman dia!”
Atalia menaikan alisnya sambil terkekeh. “Iya, kemarin dia emang di Bali lagi bujuk Pak Bupati. Tapi sekarang udah disini lagi. ayok masuk.” Saat Atalia membuka pintu, ada Agra duduk disamping ranjang Papanya.
Inara Kembali menahan napasnya.
“Ngomong-ngomong, darimana kamu tahu Agra ke Bali? Padahal itu mendadak loh,” lanjut Atalia yang kini memberikan minum untuk sang suami. “Salah paham kamu, Nak. Agra kerja, bukan liburan.”
Mata Inara beralih pada Agra yang menatapnya tajam. “Inara nanti pulang ke apartemen bareng saya saja, sekalian meluruskan kesalahpahaman diantara kita. Ya?”