C H A P T E R 6
Val terus mengikuti Sam ke manapun pria itu pergi. Sayangnya, Irial selalu berada di sampingnya. Karena itu Val tidak bisa berbicara dengan Sam saat ini. Tidak selama Irial masih berada di samping Sam.
"Sam," gumam Irial. "Kau sebaiknya istirahat, akan ada banyak yang kita lakukam besok," kata Irial sambil membawa Sam ke kamarnya.
Sam mengangguk. Dia lebih banyak diam dari sebelumnya. Mungkin karena dia merasa asing dengan semuanya. Terutama saat mengetahui kedua orang tuanya juga sudah meninggal.
"Selamat malam," kata Irial. Dan Sam menutup pintu kamarnya.
Val bersembunyi di balik dinding. Tapi Irial tentu saja sudah mengetahui keberadaan Val sejak tadi. Karena itu dia terus mengikuti Sam ke manapun pria itu pergi. Irial mendekati tempat persembunyian Val dan menarik lengan gadis itu.
Val berhasil menangkisnya. Dan lengam gadis itu melayang ke wajah Irial. "Kau tidak tahu apa yang sedang terjadi," kata Val pada Irial.
Irial sedikit terkejut dengan tamparan yang baru saja di dapatkannya dari Val. "Jadi ini ucapan salammu setelah tidak bertemu bertahun-tahun?" tanya Irial sambil menyeringai.
"Kau dulu tidak menyebalkan, Irial." Val berbalik dan meninggalkan pria itu.
Tapi Irial mengikutinya. "Kau tahu kita tidak pernah bisa memilih untuk menjadi seorang Patriot. Tapi setiap aku melihatmu, rasanya kekuatanku menghilang. Seolah-olah aku menjadi seorang Deliria." Irial menyamai langkah Val yang terburu-buru. "Tapi sayangnya, kita tidak bisa saling mencintai. Dan terlebih lagi setelah kau memilih pergi ke Bumi."
Val berhenti seketika. Menatap Irial sesaat, kemudian mulai bicara. "Aku mencintai orang lain saat itu. Begitu juga kau, yang mencintai Celine saat itu. Hubungan kita bahkan tidak pernah berhasil sebelum semua kekacauan ini terjadi." Val kembali berjalan lagi.
Irial menggeleng. "Setelah semua ini berakhir, setelah planet kita kembali seperti dulu, aku akan menikahimu," kata Irial tiba-tiba. "Mungkin memang saat ini rasa cintaku tidak terasa, tapi dulu aku merasakannya. Semua itu hanya butuh kepercayaan. Bagaimana kau merasakan cinta itu."
"Selama kita terus menjadi makhluk abadi, kita tidak akan pernah merasakan cinta," kata Val dengan kesal.
Padahal Val tahu, dia pernah merasakan hal yang sangat menyakitkan saat Louis pergi. Dia tidak tahu itu perasaan seperti apa, tapi rasanya seperti ada sesuatu yang menusuknya hingga Val ingin menangis. Namun dia tidak mengerti kenapa dia menangis. Bahkan Val percaya bahwa Sam mencintai Mia. Dan karena itu dia harus bicara pada Sam.
"Jika kau percaya bahwa cinta masih bisa kita rasakan, seharusnya kau tidak menghalangiku menemui Sam," ujar Val sambil menunjuk-nunjuk Irial dengan kesal. Kemudian berjalan meninggalkan pria itu.
***
Sam tahu dia butuh tidur. Tapi justru dia tidak bisa tidur jika tidak berbicara dengan dua pria yang baru saja di tangkapnya. Sam berpura-pura keluar dari kamarnya untuk ke kamar kecil. Alih-alih dia pergi ke penjara bawah tanah untuk menemui kedua tahanan.
Perjara bawah tanah tidak terlihat seperti penjara bawah tanah. Lantainya yang putih bersih dan dindingnya yang terbuat dari logam, dilapisi dengan bantalan agar udaranya tidak terlalu dingin di dalam sel. Di depan terdapat satu orang yang berjaga dan Sam pasti bisa dengan mudah masuk.
"Hai," sapanya. "Aku Samuel Fox," katanya.
"Aku tahu siapa kau," kata penjaga itu. "Kau mau apa?" tanyanya.
"Kau tahu aku?" tanya Sam bingung.
"Semua orang tahu tentang kau, prajurit kesayangan Miranda." Penjaga itu mentap Sam dari atas hingga ke bawah. Selama ini, dia hanya pernah mendengar Sam dari mulut ke mulut. Dan saat melihat Sam, rasanya tidak ada bedanya dengan dirinya. Tapi mengapa Miranda begitu menyayangi Sam?
"Ah," gumam Sam. "Aku mau bertemu dengan Will," kata Sam.
Pria itu menimbang-nimbang. Antara ingin menolaknya atau tidak. Jika dia mengizinkannya, dia bisa mendapatkan masalah. Tapi jika dia menolaknya juga, Miranda pasti akan marah karena menolak permintaan prajurit kesayangannya.
"Baiklah, tapi cepat." Penjaga itu mempersilahkan Sam untuk masuk.
Penjara, itu yang mereka katakan. Bahkan tidak tercium aroma bawah tanah sama sekali. Sam melihat ke sini kanan dan kiri. Dia bukan mencari adiknya, melainkan mencari kedua orang yang di tangkapnya. Orang-orang di dalam sel terlihat menyeramkan, ada yang berdiri di depan sel sambil memandang kosong. Ada yang terlihat berteriak-teriak, namun suaranya tidak terdengar karena sel dibuat untuk kedap suara. Ada juga beberapa yang menyakiti dirinya sendiri dengan membenturkan kepalanya ke dinding.
Sayangnya apapun yang mereka lakukan, mereka akan tetap hidup. Setidaknya, sekarat, karena mereka tidak akan bisa mati sampai planet Orion kembali seperti dulu. Sam akhirnya menemukan salah satu orang yang tadi ditangkapnya. Pria itu sedang duduk bersila dengan matanya yang terpejam. Ada noda hitam di jantungnya. Yang menandakan bahwa dia telah dieksekusi.
Sam mengetuk-ngetuk sel pria itu. Tapi matanya tetap saja terpejam. Akhirnya, Sam menggunakan Deja vu untuk berkomunikasi. Pria itu akhirnya membuka matanya. Warna merah darah memenuhi matanya. Dia sudah berada di tahap kedua dari efek bubuk besi. Telinganya kini juga sudah mengeluarkan darah.
"Apa maksud dengan perkataanmu waktu itu?" tanya Sam.
Pria itu masih diam. Sebenarnya dia bertahan agar darah tidak keluar dari mulutnya. Tapi pria itu akhirnya mulai bicara. "Bukan hanya pemimpinku yang menginginkan peperangan, pemimpinmu yang memulai perang ini lebih dulu." Darah bercucuran keluar dari mulutnya saat pria itu berbicara.
"Lalu, apa hubungannya denganku?" tanya Sam penasaran.
"Gungnir yang kalian punya, harus dihancurkan. Hanya itu satu-satunya cara mengakhiri perang."
Sam diam sesaat, berusaha berpikir. "Kenapa aku? Kalian bisa meminta orang lain melakukannya."
Pria itu terkekeh. "Aku sudah katakan, kau akan terkejut dengan apa yang kau tahu. Kau kira, mengapa kedua orang tuamu mati? Kenapa semua prajurit yang kalian miliki tidak memiliki orang tua? Dan kenapa Miranda menjadi pemimpin? Karena dia satu-satunya wanita tua bangka yang hidup?" Pria itu terkekeh lagi.
Sam semakin bingung. Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar seperti sebuah puzzle. "Maksdumu apa?" Sam terus mendesak pria itu untuk menjawab. Sayangnya, tahap ketiga baru saja dimulai.
Pria itu mulai mencabik-cabik tangannya sendiri dengan kukunya, hingga kulitnya terbuka. Pria itu kemudian berteriak dan akhirnya Sam keluar dari Deja vu.
Sam berjalan menjauhi sel pria itu. Dia berniat untuk pergi, tapi Sam ingin melihat adiknya. Di ruangan lain, Sam melihat adiknya yang sedang menikmati kamar selnya. Dia tidak terlihat tersiksa berada di dalam sel. Bahkan, dia juga satu-satunya tahanan yang tidak dieksekusi. Ini karena Sam yang memintanya langsung pada Miranda agar Will tidak dieksekusi.
Mata Will terpejam sambil berbaring di atas tempat tidurnya dengan santai. Sam kemudian membuat Deja vu.
Will tersenyum. "Kau datang mengunjungiku?" tanyanya dengan mata yang masih terpejam.
"Aku memiliki beberapa pertanyaan untukmu," ujar Sam.
Will membuka matanya dan bangkit dari tempat tidurnya. Bibirnya masih menunjukkan senyuman aneh. "Kau datang hanya untuk mengintrogasiku? Ya ampun Sam, kapan kau sadar mereka tidak menyukaimu?"
"Itulah yang akan aku tanyakan." Sam berdiri dengan tegap sambil melipat lengannya di d**a. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Sam.
"Maksudmu semua kekacauan ini?" Will masih tersenyum. Sam hanya mengangguk.
"Kau sudah melihat pesan terakhir ayah dan ibu?" tanya Will lagi. Lagi-lagi Sam hanya mengangguk. "Cinta mereka terlalu kuat sampai mereka rela mati demi kita. Aku tidak menginginkan kehidupan ini jika mereka mati, tapi mereka bilang hanya akan mengirim ayah dan ibu keluar planet. Saat itu aku masih terlalu muda untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tapi sekarang aku mengerti, bahwa mereka pergi untuk selamanya bukan karena cinta. Melaikan karena Miranda."