9. Konfirmasi

1217 Kata
Reino mendelik kesal pada Jingga yang bertanya dengan polosnya. “Serah deh.” Hening. Sunyi. Hingga kemudian kesunyian itu terpecahkan oleh bunyi perut Jingga yang tanpa malu menjerit. Jingga meringis saat Reino menoleh ke arahnya. “Pak, saya lapar loh. Tadi makannya belum selesai. Jadi kan traktir saya makan? Daripada saya masuk angin loh.” Jingga mulai sandiwaranya, dipegangnya perut dengan kedua tangan dan bibirnya meringis layaknya kesakitan. “Kamu kan melanggar perjanjian kita. Kenapa saya harus traktir kamu?” Reino masih saja kesal mengingat kejadian di restoran beberapa saat lalu. “Lah lagian bapak, dosa kok ngajak-ngajak. Emang kenapa sih pak gak mau dijodohin ama tuh boneka barbie? Cantik banget gitu. Kalau saya cowok aja saya langsung oke-in tuh pak. Bapak ada masalah sama tuh cewek cantik ya?” Reino tidak menjawab pertanyaan itu. Dia berpura konsentrasi menyetir. Sayangnya dia salah berhadapan dengan Jingga. “Pak, pak kenapa sih diem aja? Gak dijawab? Bapak kan gak bisu.” “Berisik!” Tiba-tiba saja Reino membentak Jingga yang masih berusaha menggodanya. Tentu saja nyali Jingga langsung mengkeret. Jingga mendadak jadi kalem, tidak mau bicara. Tapi sekarang perutnya benar-benar sakit. Jingga langsung mengubrek tasnya mencari obat maag kunyah yang selalu dia bawa. Segera dikunyah dengan harapan bisa meredakan nyeri. Reino melirik gadis di sebelahnya. Dia jadi kasihan pada Jingga. Mau tak mau dia harus segera mencari tempat makan yang menjual bubur atau soto atau sop atau apapun yang berkuah agar perut Jingga bisa sedikit tenang. Tidak jauh dari situ ada tukang jual bubur malam hari yang terkenal enak. Reino tidak mau mematikan mesin mobil agar bisa makan di mobil saja, dia menghadap ke kiri, melihat Jingga. “Maaf, maagmu jadi kumat karena telat makan. Kita makan bubur dulu ya. Kamu di sini aja, aku yang pesan bubur sama teh manis hangat.” Belum sempat Jingga menjawab, Reino langsung ke penjual bubur. “Nih, makanlah dulu tapi pelan-pelan saja. Panas.” Reino memberikan semangkuk bubur ayam yang penampakannya membuat air liur menetes. Tapi Jingga malah mengunyah roti marie yang sudah dia siapkan. Beruntung di warung dekat kosan ada yang jual Marie Regal sachet hingga lebih praktis untuk dia bawa. “Kamu makan apa?” “Marie Regal pak, sebentar saya habiskan ini dulu, tinggal satu keping lagi. Kata ibu kalau maag saya kumat, baiknya makan marie dulu baru makan yang berat biar perutnya gak kaget. Gak tahu benar atau enggak tapi karena udah kebiasaan jadi ya ikuti aja deh. Makasih ya pak udah mau mampir sebentar buat makan bubur. Nanti saya bayar sendiri kok pak.” Kata Jingga takut-takut. Reino diam saja. “Pelan-pelan saja makannya. Besok kamu istirahat saja, nanti aku yang bilang ke Bu Maryam. Tapi benar-benar istirahat! Tidur. Jangan keluyuran.” Jingga mengangguk, bersyukur bosnya memberi kelonggaran. “Soal yang di restoran tadi….” Reino hendak bercerita apa sebabnya dia menjadi murka. “Bapak gak perlu cerita kalau bapak gak mau.” Jingga coba tersenyum di antara melilitnya perut. “Dengar dulu. Umurku sudah tiga puluh tahun ini. Boro-boro calon istri, pacar aja gak punya. Malah mama yang heboh menyuruhku segera menikah. Tapi cari istri yang se-soulmate itu kan gak semudah membalikkan telapak tangan. Jadi mama sering promosi ke teman-temannya. Sayangnya belum ada yang cocok buatku.” Kata Reino panjang lebar. “Tante Prabawati takut ya, kirain bapak gay gitu?” “Kenapa sih kamu hobi banget nuduh aku seperti itu Jingga?” Reino mulai kesal pada pertanyaan yang itu-itu saja. “Yakali pak, siapa tahu gitu. Coba deh, bapak ganteng, berduit, mapan, gak kurang apapun, kalau bapak mau itu cewek-cewek mah tinggal tunjuk pasti langsung mendekat kok kaya kutub yang berlawanan. Kan saya jadi curiga karena dengan kualitas setinggi itu tapi belum nikah, artinya hanya ada dua loh. Standar bapak yang terlalu tinggi atau bapak yang gak normal.” Jingga mulai menceritakan hasil observasinya. “Kamu terlalu banyak berhayal tahu gak.” Reino menoyor kening Jingga membuat gadis itu mengaduh. “Kalau besok perutmu masih sakit, gak usah masuk. Tapi kalau sudah enakan, ya masuk karena aku mau ada meeting dan sepertinya aku butuh kamu.” Laah nih bos bikin kzl. Tadi udah bilang gak usah masuk. Tapi kok ada tapinya?? Dasar deh gak ikhlas. Kesel. *** Apakah keesokan hari Jingga mendapatkan liburnya? Tidak! Karena perutnya sungguh sangat tahu diri - sembuh di saat dia ingin bermalas-malasan di kos. Mau tidak mau Jingga tetap berangkat ke Kemang walau dengan bersungut dan ketidakrelaan. Reino sudah menelponnya usai subuhan, basa-basi menanyakan keadaannya dan setelah tahu bahwa perutnya baik-baik saja, si bos tamvan itu memutuskan agar dia tidak jadi cuti! “Perutmu udah enakan kan? Kalau sudah, masuk kantor hari ini, pakai baju yang rapih karena aku mau mengajakmu ketemu klien penting sore nanti.” ”Siyap pak!” Jawab Jingga, walau dalam hati dia mengumpati si bos tamvan. Jam sembilan tepat, Jingga sudah sampai Kemang. Dia menyapa satpam yang tetap setia menjaga. “Hari ini siapa aja yang masuk pak? Banyak gak?” Tanya Jingga dengan ramah. “Cuma Mbak Jingga sama Pak Reino aja, tapi ada Ibu Prabawati tuh mbak. Mbak Jingga udah ditunggu bapak dari tadi loh.” Dengan berlari kecil, Jingga menuju rumah yang menjadi kantor. Baru juga dia pakai sandal yang sudah tersedia, Reino sudah menyambutnya dengan ‘hangat’. “Hmm jam segini baru datang? Buru cuci tangan dan buatkan kopi untukku. Aku tunggu di ruanganku. Kamu dan kopiku.” Reino hanya berkata itu saja, karena kemudian dia kembali ke ruang kerjanya. Ada Prabawati di situ. “Pak, Pak Reino, ini kopinya.” Jingga masuk dan membawa secangkir kopi dan segelas teh manis hangat. Jingga meletakkan semuanya di atas meja. Kemudian mencium punggung tangan Prabawati yang mengamati gerak-geriknya dengan mata penuh ingin tahu. “Kamu nih No, pantesan gak mau bikin kopi sendiri mentang-mentang ada Jingga.” Prabawati bersuara. “Iya mah. Kopinya JIngga enak.” “Eeh Jingga kamu jangan pergi dulu. Ada yang tante ingin tanyakan ke kalian mengenai semalam. Apakah itu settingan atau beneran?” Prabawati menunjuk sofa yang masih kosong, meminta agar Jingga duduk di situ dan menjawab pertanyaan yang dia sudah susun rapi. “Yang mana tante?” Jingga memastikan terlelbih dulu. “Yang itu, bahwa kalian benar-benar menjalin hubungan spesial?" “OOh itu gini mah…” Mengalirlah cerita dari mulut Reino. Sementara Jingga rerduduk dengan senyum khasnya. “Nah gitu mah.” Cerita selesai, "sengaja mumpung ada Jingga jadi aku minta tolong dia." “Dengar, mama beruntung kamu gak jadi menantu mereka No, tapi gimanapun juga mereka yang mengundangmu. Mama tahu kamu masih belum mau menikah, tapi ya gak gitu juga caranya. Kamu paksa Jingga untuk ikutan bohong tapi harusnya kompak dong kalau mau bikin skenario. Gak yang satu ke kiri, kamu ke kanan. Gimana Jingga yang semalam?" “Hmm, itu mah lebih baik langsung tanyakan pada Pak Reino  tante.” “Tapi kamu suka sama Reino kan?” “Euum suka gak suka tante. Pak Reino mah galak, gak jelas mau minta ini itu itu ini, kan saya yang pusing.” Jawab Jingga - tepat di depan Reino. “Ooh padahal kalau kalian memang sama-sama saling suka, tante suka sekali loh. Reino mah suka aneh dan sepertinya cuma kamu yang bisa bertahan jadi PA dia. Biasanya cuma dua tiga bulan sudah mengundurkan diri. Tapi kamu harus sabar dan tabah ya Jingga."                        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN