10. Renda Hitam

1963 Kata
“Pak, boleh nanya gak?” Tanya Jingga perjalanan ke rekan bisnis Reino. “Hmm… “ Reino malas menggubris si asisten muda itu. Hari ini sialnya Jingga memakai baju yang sangat menarik mata laki-laki untuk tertuju ke arahnya. Gimanapun juga dia kan lelaki normal, jangan sampai konsentrasinya terbelah karena dia sibuk melirik ke kiri. Jingga memakai kemeja warna broken white dengan motif bunga kecil dan rok pinsil berwarna biru dongker di bawah lutut, tapi karena saat ini dia sedang duduk mau tak mau rok itu tertarik ke atas lutut. Memperlihatkan paha mulus kekuningan yang sepertinya masih belum terjamah lelaki manapun. Reino mengumpat dalam hati melihat itu. Biasanya Jingga memakai celana panjang kenapa juga hari ini pakai rok pinsil? “Itu saya asumsikan boleh yaa? Emang sebelum saya ada berapa personal asisstant yang kerja sama bapak?” “Dua. Semua resign di bulan keempat.” Jawab Reino pendek. “Kenapa resign pak? Bapak galak ya? Makanya jadi orang jangan galak-galak biar panjang umur, sehat selalu, disayang pegawai bapak.” Jingga menceramahi. “Iya. Makanya ke kamu aku gak mau galak, daripada gak punya PA lagi.” “Nah pinter itu pak. Gaji saya naik dong pak nanti kalau sudah lolos masa percobaan ya.” Rayu Jingga dengan senyum maut. “Heeumm… “ Kembali hanya itu jawaban Reino. “Dari tadi ham hem mulu, kenapa sih pak? Fokus banget liat depan. Perasaan kagak ada apa-apa deh, wong macet ini.” Jingga ikut Reino melototi depan, hanya ada kemacetan saja, tidak ada hal menarik. “Aku kan nyetir jadi harus konsentrasi, kamu lupa kejadian beberapa bulan lalu? Btw ini jeep mahal, kegores dikit aja karena kamu iseng, aku akan minta ganti rugi walau mama ngomel.” “Iya pak, saya diem deh.” Jingga membuat gesture mengunci mulutnya. “Pak, saya boleh bubu yaa, ntar kalau udah mau sampai TKP saya dibangunin biar bisa touch up dulu. Bapak kan gak mau malu punya PA berantakan?” Jingga menguap. Akhir-akhir ini dia memang kurang tidur karena nonton drakor kesukaannya. Matanya hendak terpejam sempurna saat Reino mendadak bertanya. “Kamu kenapa pakai rok itu sih?” Usai bertanya itu Reino mengumpati diri sendiri karena otak dan bibirnya tidak sejalan. Tentu saja Jingga tidak jadi memejamkan mata karena nada suara Reino terdengar gusar. “Emang ada yang salah dengan rok ini?” Tanyanya balik sambil melihat ke arah roknya. “Kependekan Jingga! Lagian biasanya pakai celana panjang kenapa sekarang pakai rok?” “Ciee bapak perhatiin saya sampe segitunya deh. Bapak gak jatuh cinta sama saya kan?” Tanya Jingga menggoda. “Haah serah kamu deh. Gak jawab pertanyaanku sebagai bos, satu pertanyaan potong gaji lima puluh ribu!” Reino menyunggingkan senyum usil. “Diih apa itu? Di kontrak kerja kemarin gak ada tercantum pasal kaya gitu.” Jingga mendelik. “Aku yang punya kantor, aku yang bikin peraturan, jadi terserah aku mau aku buat seperti apa.” Mana mau Reino mengalah. “Iya iya. Celana panjang saya ada 2 warna gelap dan dua warna terang. Yang warna gelap belum saya cuci karena bisa nyuci atau bawa ke laundry kan kalau pas akhir pekan. Sementara saya tidak mungkin pakai yang warna terang pak.” “Kenapa gak mungkin?” Tanya Reino heran. Kali ini dia menoleh ke kiri, mumpung sedan stuck di lampu merah. “Saya lagi haid pak. Kalau bocor gimana? Tembus gitu. Emang bapak mau pinjemin tuh jas mahal bapak buat nutupin kaya di n****+-n****+ gitu?” Tanya Jingga dengan nada ceria. “Tentu enggak dong. Enak aja.” “Nah itu bapak udah tahu jawabannya. Pak saya boleh bubu gak sih?” Tanya Jingga lagi sambil menguap. “Enggak! Bentar lagi kita sampai. Lagian pertemuan ntar cuma sebentar kok. Ingat yaa kamu gak boleh ngomong apapun, yang penting jangan jauh-jauh dariku.” “Saya jadi pacar jadi-jadian lagi ya? Harusnya gaji saya naik loh pak.” “Enggak, kali ini beda. Hanya saja yang mau kita temui ini sedikit centil. Biasanya aku minta Abdi nemenin tapi berhubung ada kamu ya kamu aja. Sayang juga dilepasin karena prospek yang bagus. Dia manajer pembelian restoran terkenal. Kamu nanti akan tahu kok.” Reino berbelok kiri memasuki komplek SCBD. Apa yang dikatakannya memang benar. Prospeknya kali ini seorang perempuan usia awal empat puluh tapi tetap cantik dan menarik, sayangnya centil dan suka menggodanya. Tidak perlu menunggu lama karena si manajer pembelian yang memang cantik, menarik dan mengumbar keseksiaannya itu sudah menunggu Reino. Tapi wajah cantik itu berubah menjadi masam saat melihat ada perempuan sangat muda yang berjalan di sisi Reino. Well, dia mengeluarkan banyak uang agar tetap awet mudah menginjak kepala empat dan terbukti, walau tentu saja sudah nampak kerutan samar di wajahnya. Sementara gadis yang berjalan di sisi Reino, memang masih muda beneran! Tentu saja tidak membutuhkan perawatan dan skin care yang harganya menguras kantong. Jika dilihat dari wajahnya, mungkin saja gadis itu baru lulus SMA. “Selamat siang ibu, apa kabar?” Tanya Reino dengan ramah. “Baik. Waah Pak Reino sama siapa nih?” “Ini PA baru saya bu, yaah sekalian penjajakan.” Jawab Reino dengan senyum kalem. Sementara Jingga yang sudah diwanti-wanti untuk diam saja, menatap bosnya dengan heran. Tapi dia tidak boleh berbicara jadi hanya tersenyum walau dalam hati penasaran siapa penjajakan siapa? Nih si bos tamvan kenapa lagi sih?” Sebenarnya pertemuan itu juga bisa dilakukan melalui zoom meeting, tapi berhubung si ibu centil itu memaksa bertemu Reino, mau tidak mau Reino mengikuti kemauan klien. Setelah lima belas menit yang melelahkan bagi Jingga karena hanya boleh memasang senyum palsu, akhirnya pertemuan berakhir. Senyum puas terkembang di bibir Reino. “Terima kasih bu atas kepercayaannya pada kami. Secepatnya setelah kontrak selesai, pengiriman akan dilakukan. Kami permisi.” Dengan bahagia Reino berjalan bersisian Jingga, dia memegang pundak Jingga, maksudnya agar gadis itu berjalan lebih cepat. Tapi oleh mata orang lain malah terlihat seperti pasangan mesra. “Sukses ya pak? Dari tadi senyum mulu, kagak tahu yah wajah saya butuh masker buat ngilangin garis kerutan akibat senyum palsu. Lima belas menit cuma boleh senyum doang ya Lord. Kebangetan.” Jingga mengomel lagi. “Sebagai ucapan terima kasih, kita makan bareng yuk. Silakan kamu yang pilih mau makan di mana.” Jawab Reino sambil menyetir mobil jeepnya membelah kemacetan Jakarta. *** "Pak... jangan melihat saya seperti itu dong. Gimana saya bisa menikmati makan malam saya coba? Kan sayang banget." Celetuk Jingga kesal pada lelaki tampan di depannya yang sedari tadi mencuri pandang ke arahnya. Nafsu makannya menghilang begitu saja, padahal menu yang disajikan sangatlah menggoda selera. Saat Reino berkata agar Jingga saja yang memilih resto tempat mereka akan makan siang, tentu saja Jingga tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia memilih Sate Khas Senayan. Duuuh... sudah lama sekali dia ingin makan di situ. Tapi biasanya nunggu traktiran bude atau sepupunya, Arfi  yang mentraktirnya. Reino tersenyum, "Itu... kamu bisa menghabiskan semua pesananmu itu?" Kepalanya menggeleng heran melihat nafsu makan gadis manis di depannya. Appetizers sampler, satu porsi sate ayam plus nasi putih, tahu telur dan minumannya es jeruk kelapa muda. Itu perut atau tronton? Isinya cacing apa naga? Reino tidak habis pikir melihat nafsu makan Jingga. "Insya Allah bisa pak, kebetulan tadi pagi cuma minum milo saja sama gorengan beberapa biji sih, jadi sekarang dipuas-puasin deh. Lagian kan gak boleh menolak rizki, ditraktir ini." Jawab Jingga kalem. Reino takjub mendengarnya. Cuma?? Kaya gitu dibilang cumaaa? "Yang bilang saya mau traktir siapa? Kan saya tadi bilangnya mau saya ajak makan bareng. Makannya yang bareng, urusan bayar mah sendiri-sendiri. Lagian kita punya unfinished business loh." Jawaban Reino membuat Jingga tersedak. Kali ini bahkan saat dia sedang menikmati tahu telur yang sudah dia tambahi sambal lumayan banyak. “Yaaa Tuhaaan... pedessss... Bapak jahad!“ Jingga mengeluh, bahkan sampai mengeluarkan air mata karena sumpah rasa sakitnya sampai otak, tersedak sambal! Sambil batuk-batuk, Jingga mendumel, ngomel gak jelas. Tapi batuknya tambah menjadi, bahkan kepalanya jadi pusing mendadak efek dari tersedak sambal itu. Tangannya mengibas-ngibas. Keringat sudah mengucur. Bahkan waiter sampai datang tergopoh-gopoh membawa air mineral sesuai permintaan Reino. "Ini diminum dulu... Makan hati-hati dong, kok kayak ana... keci...l." Kalimat Reino memelan di akhir karena melihat Jingga yang sepertinya tanpa sadar membuka kancing teratas kemejanya. Sepertinya efek sambal itu begitu hebat. Reino menelan ludah. Selama ini dia jarang terpengaruh kemolekan dan keseksian tubuh gadis manapun yang dengan sengaja memamerkan kemolekan tubuhnya. Tapi entah mengapa, saat melihat gadis manis di depannya yang berpenampilan sopan tanpa sengaja membuka satu kancing teratas kemeja kerja yang dipakainya, sesuatu dalam dirinya meledak! Parahnya, dia sempat lihat tadi, kulit d**a Jingga yang berwarna kekuningan, bukan putih mulus layaknya model pakaian dalam merk terkenal itu, ada sesuatu yang berenda berwarna hitam menutupi apa yang memang seharusnya ditutup rapat. Mmm... memang benar kata orang-orang. Kalau kaum adam melihat sedikit saja sesuatu yang harusnya ditutupi, malah membuat tambah penasaran, menuntut lebih. Reino kembali mengumpat dalam hati. Hari ini entah sudah berapa u*****n Reino karena Jingga. Sampai rumah dia harus sholat taubat! Duduknya menjadi blingsatan. Siaaal!!! Sekali lagi u*****n muncul dalam hati Reino. Celana katunnya mendadak menjadi sesak. Tak pernah dia begini sebelumnya. Dia memang bukan lelaki suci, tapi dia juga tak mau melakukan s*x kepada sembarang perempuan. Kembali Reino menelan ludahnya. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, karena sekarang mereka menjadi pusat perhatian akibat insiden tersedak tadi. Tapi tiba-tiba dia  merasa kesal karena ada beberapa pasang mata lelaki nakal yang ikut menikmati pemandangan indah tapi sesat itu. "Gimana? Sudah enakan?" Saat dilihatnya Jingga mengangguk, Reino berkata pelan, "Kalau begitu tolong kancingkan lagi kemejamu. Kita jadi pusat perhatian nih." Reflek Jingga melihat ke kemejanya, pipinya yang masih merah akibat tersedak tadi semakin memerah saat menyadari kancing teratas kemejanya terbuka. Secepat kilat dia mengancingkan kemejanya dan kembali melanjutkan makan dalam diam. "Gara-gara bapak sih, jadi gini kan! Sakit nih pak kepala saya tersedak sambal." Tuduhnya pada Reino dengan suara pelan. Tak terima Reino membalas, "Pertama saya bukan bapakmu, jadi stop panggil saya bapak. Lagipula saya masih muda kok, emang tampang saya sudah terlihat tua apa? Dan ketiga kok jadi nyalahin saya?" "Yang kedua apa pak?" Tanya Jingga menyimak. Galfok dengan pertanyaan Reino. "Eeeh... ap.. apa..?" "Yang kedua apa? Yang pertama kan bukan bapak saya terus ujug-ujug kok langsung ketiga yang jangan nyalahin bapak. Yang kedua apa?" Jingga mulai iseng, berkata dengan logat Jawa yang agak medok. Reino tampak takjub dengan gadis di depannya, dia menggaruk leher belakangnya yang tak terasa gatal. "Aaah saya tahu... yang kedua tuh bermutu ya? Ya kan?" "Bermutu?" "Iyaa... bermuka tua." Jawab Jingga kalem sedikit mendesah karena sambil menyeruput es kelapa muda jeruknya yang terasa menyegarkan. "Sesukamulaaah..." Kesal, Reino melanjutkan makannya. Tapi kembali dia harus merubah posisi duduknya, kali ini dia menyilangkan kaki kanan ke atas kaki kirinya, demi mendengar suara Jingga yang entah kenapa tiba-tiba terdengar begitu "menggoda". Aah... salahkan renda hitam sialan itu. Renda hitam renda hitam.. Reino menutup matanya, tapi sayangnya malah jadi membayangkan renda di balik kemeja tadi, dan apa yang ada di balik renda hitam itu. Duduknya menjadi semakin blingsatan gak jelas. Gelisah. "Pak... bapak kenapa? Kebelet ya? Itu tadi pas kita keluar dari lift sebelah kanannya tadi saya lihat toilet sign." "Saya gak kebelet pipis!"  Kebeletnya pingin makan kamu Jingga! "Diiih... kok jadi sensi sih. Eeh Pak tadi bapak bilang kita punya unfinished business. Memangnya kita punya urusan apa yang belum selesai?" Tanya Jingga sambil makan sate ayam enak tapi mahal itu. "Kamu benar-benar lupa atau sengaja lupa?" Jingga memejamkan matanya, mencoba mengingat sesuatu tapi... nihil. "Saya benar-benar gak ingat loh pak. Apa sih?" "Kamu belum ganti uang e toll saya." Reino mengingatkan kejadian yang membuat Jingga menjadi asistennya. "Astagfirullah... duuuh bapaaak maaaaf saya lupaaa banget waktu itu. Maaf ya pak. Diikhlasin aja ya.. ya..." Rayu Jingga. Gak seberapa sih pastinya buat Reino, tapi Reino memang ingin menggoda asisten imutnya ini. “Hmmm… turuti semua perintah saya ya!”              
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN