8. Bertepuk Sebelah Tangan

1269 Kata
Reino yang masih berdiri di sebelah Jingga mendelik kesal, dia bahkan sengana menendang kaki Jingga hingga gadis itu mengaduh kesakitan. Gantian Jingga yang melotot ke arah Reino. “Apaan sih pak?” Jingga mendesis. “Maksudnya apa sih? Kan aku udah bilang ikuti apa yang aku mau!” Balas Reino dengan kesal. Tangannya sekarang memeluk pundak Jingga dan berikan senyum terpaksa. Jingga menurunkan tangan Reino agar tidak melakukan itu. Tapi bukannya menurut tangan Reino malah hinggap lagi ke pinggang Jingga. Bahkan sekarang nekat menarik paksa Jingga mendekat dirinya, hingga tubuh mereka menempel. “Jingga turuti aku!” Reino menunduk dan berbisik ke telinga Jingga. Dia berkata hal itu sambil tersenyum, hal ini terlihat seperti dia membisikkan kata mesra ke telinga Jingga, membuat Chaya panas dingin. “Gak mau! Iih awas tangannya!” Jingga balas berbisik ke telinga Reino, kakinya berjinjit padahal sudah memakai high heels. Reino memiringkan tubuhnya ke arah kiri agar bisa mendengar apa kata Jingga. Setelah itu dia melihat ke arah Jingga dan tersenyum manis. Bibirnya berkata samar, “Ikuti apa kataku Jingga!” “Sudah sudah, kita ngobrol dulu saja. Tadi kami sudah makan duluan karena nunggu kamu terlalu lama No. Sekarang kamu dan Jingga yang makan saja. Mama juga ingin tanya ke kalian.” Kata Prabawati dengan mata yang bersinar tajam. Jingga menunduk, merasa bersalah pada ibu big boss. Padahal Prabawati adalah adalah orang yang banyak membantunya. “Duduk yuk sayang.” Reino menarik tangan Jingga - dengan paksa tapi tidak terlihat kasar - untuk duduk. “Hah? Sayang?” Tanya Jingga dengan nada heran. Reino melihat ke arahnya dan memberi kode agar gadis polos itu mengikuti permainannya. Mata Reino mengerjap beberapa kali agar Jingga mengerti, sayangnya Jingga malah latah dan matanya ikut berkedip. Nih si bos kenapa sih? Sakit mata ya? Perasaan tadi di kantor baik-baik aja deh. Tapi keheranan Jingga langsung menghilang saat dia melihat menu masakan yang terhidang di depannya. Sungguh sangat menggugah selera! “Jeung Praba, gimana ini? Katanya Reino masih singel, gak punya pasangan. Lah ini nyatanya? Dia datang sama calon istrinya. Gimana ini? Kami sampai menolak lamaran seorang pengusaha ke Wynda karena saya lebih suka pada Reino.” Chaya mencecar Prabawati. “Hmm… “ Prabawati melirik ke arah Reino yang mendadak jadi serba salah. Sementara Jingga tanpa rasa bersalah sibuk menikmati hidangan yang tersedia. “Lagian apa lebihnya gadis kampungan ini dibanding putri kami? Bandingkan saja! Wynda sempurna, tapi gadis kampung ini sungguh urakan, tidak tahu etika!” Sambung Chaya lagi. Reino yang sedari tadi diam menjadi murka mendengar hinaan Chaya pada Jingga. “Tarik ucapan Anda! Jingga memang biasa saja dibandingkan putri Anda, tapi bagi saya Jingga yang terbaik. Dia tampil apa adanya, tidak penuh kepalsuan. Mama, beruntung kan aku tidak jadi mantu di keluarga penuh hasutan ini. Jangan khawatir, saya yang akan bayar makan malam ini. Aku dan Jingga pulang ma, mama jangan terlalu lama di sini nanti ketularan.” Reino menarik tangan Jingga yang sedari tadi mendengar namanya disebut tapi rasa lapar mengalahkan keingintahuannya. “Ayo kita pulang.” “Tapi ini… “ Jingga menunjuk ke arah piringnya. “Jingga, pulang!” “Iya iya… Maaf tante, om, Mbak Barbie, kami permisi dulu. Ini...” Belum sempat Jingga menyelesaikan kalimatnya, Reino memeluk pinggang rampingnya dengan paksa agar gadis itu menurut. “Bapak saya belum selesai ngomong tadi. Gak sopan ih.” Jingga berusaha melepaskan pelukan Reino yang terasa sangat erat. “Jingga nurut aku atau aku cium sekarang juga di sini!” Ancaman Reino berhasil karena Jingga langsung saja terdiam, dan pasrah saja mengikuti apa kata si bos ke kasir. Hanya dua menit saja Reino sudah menyelesaikan tagihan. Jingga terseok-seok mengikuti Reino. “Pak, jangan cepat-cepat jalannya. Langkah kaki saya gak selebar bapak loh. Mana lapar lagi.” Keluh Jingga. Reino berhenti dan menatap Jingga tajam. Tapi Reino tahu bahwa keluarga Chaya mengamati mereka. Mereka curiga pada hubungannya dengan Jingga yang settingan. Bruugh… Tubuh Jingga menubruk Reino. Jingga mengelus hidungnya yang sakit karena terkena d**a Reino yang keras. Kepalanya mendunga, mata mereka bersirobok. Wajah Jingga merona karenanya, beruntung ini malam hari hingga warna pink di pipinya jadi tidak terlihat. Jingga yang ingin protes mendadak terdiam karena wajah Reino yang tampak emosi. Tiba-tiba saja… “Aaww… pak, pak apa sih? Kaget saya! Turunin!” Reino membopong Jingga dengan santainya. “Kalau gak mau jatuh, lingkarkan tanganmu di leherku. Ini bukan adegan sok romantis tapi biar kamu cepet aja.” Mau tak mau Jingga pasrah saja. “Apa mereka masih memperhatikan kita?” Tanya Reino yang tetap membopong Jingga. “Ooh tante nyinyir tadi? Masih. Tapi Tante Prabawati juga ngeliat kita pak. Saya kan jadi gak enak.” “Huuh buat apa bergaul dengan orang-orang yang hobinya menghina? Eeh tolong ambil kunci mobil di saku belakang dong.” Reino memerintah Jingga. Saat d**a Jingga menyentuh dadanya, Reino merasakan desir bagai listrik langsung menyetrum otaknya. Siaaal! Nih bocah pake nempel-nempel lagi. Mana kenyal pula. Reino meletakkan Jingga dengan perlahan ke bangku penumpang sebelah supir. Kedua mata mereka masih beradu. Jika menuruti nafsunya, pasti dia akan langsung menerkam Jingga saat ini juga, setidaknya mencicipi bibirnya. Beruntung otaknya masih normal.  Terlebih lagi Jingga juga masih normal, tidak merasakan getaran listrik seperti dirinya. “Bapak harum deh. Parfumnya merk apa? Enak gini.” Jingga memang menutup matanya tapi karena dia menghidu harum parfum dari tubuh Reino. “Jam segini masih enak aja pak.” Lanjut Jingga lagi tapi dia terkejut karena Reino diam membeku di depannya. “Bapak kenapa diam aja? Posisinya dari tadi juga gitu deh. Gak kepikiran m***m kan?” Segera Jingga menyilangkan tangan di depan dadanya dan mendelik ke arah Reino. “Kamu ngapain kaya gitu? Jempol kakiku kram tahu gak?!” Balas Reino sengit. “Sensi amat sih pak? Jadi pulang gak nih? Saya lapar jam segini belum makan malam, nanti kalau saya masuk angin atau sakit maag saya kambuh, bapak harus tanggung jawab!” Reino berjalan memutari p****t mobilnya, duduk manis di kursi pengemudi dan segera melajukan jeepnya dengan hati-hati. “Bapak janji loh mau traktir saya makan. Jangan pura-pura lupa.” Jingga mengingatkan Reino pada janjinya. “Janji apaan? Kan sesuai kesepakatan awal, aku traktir makan kalau kamu ikuti apa yang aku perintahkan. Ini boro-boro ikutin, yang ada malah berantakin tahu gak!” Jawab Reino tidak terima. “Pak, berbohong itu dosa loh, gak boleh! Dicatat sama Malaikat Rokib dan Malaikat Atit.” “Kan buat kebaikan ini.” Jawab Reino. “Mau buat kebaikan juga pak, namanya berbohong ya tetap aja bohong! Dosa! Bapak kalau mau bikin dosa mah sendiri aja, gak usah ngajak-ngajak saya deh.” Kata Jingga. “Iya bawel.” “Bapak kenapa gak mau dijodohin ama boneka Barbie hidup tadi? Kan cantik tuh pak. Pinter dandan, anak orang kaya pula.” Tambah Jingga. “Barbie? Siapa tuh? Ooh si Wynda tadi ya? Heeum iya sih cantik pakai banget, tapi aku gak suka sama dia. Banyak gadis setipe Wynda yang naksir denganku, tapi jujur aku gak suka.” “Wah gadis secantik Barbie aja bapak gak suka? Eeh tapi bapak gak suka sama Mas Abdi juga kan?” “Abdi? Suka dong kalau ama dia, sayang malahan Jingga karena kami udah bersama beberapa tahun.” Jawaban Reino membuat Jingga syok. “Jadi bapak suka dan sayang sama Mas Abdi? Aaah… benarkah itu?” Jingga menggelengkan kepalanya tanda sangat bersemangat. “Iya dong. Memangnya ada yang salah?” Tanya Reino dan melihat ke arah Jingga dengan heran. “Tapi kata Mas Abdi waktu itu, katanya bapak normal loh. Kalian berdua normal gak ada hubungan apapun. Jangan-jangan yang gay cuma bapak yaa? Bapak cintanya bertepuk sebelah tangan?"          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN