“Kalian gak penyuka sesama jenis kan? Kalian gak pacaran kan? Siapa tahu kalian main anggar deh.” Teriak Jingga tanpa rasa bersalah.
***
“Kamu… Bhahaha… Ya ampun kamu lucu banget sih Jingga. Kagaklah, kami masih lelaki normal kok. Aku normal, Reino normal tapi dia punya traumatic experience sama yang namanya komitmen sebuah hubungan antara lelaki dan perempuan. Tapi tenang aja, gini-gini kami berdua sholat lima waktu loh.” Abdi tertawa tergelak-gelak, bahunya sampai berguncang membayangkan kepolosan Jingga.
“Ooh hehe maaf ya Mas, penasaran karena kalian berdua akrab banget. Eeh eeh Mas, itu belok kanan terus lurusss dikit.”
Tak berapa lama Jingga menepuk pundak Abdi tanda sudah sampai kosnya.
“Di sini?” Abdi membuka kaca helm full facenya, memindai kanan kiri kos Jingga yang padat walau tidak kumuh, hanya padat. Tapi bangunan gedung kos Jingga termasuk bagus dan tampak mencolok karena karena banyak jendela, tanda sebuah rumah khusus untuk kos.
“Iya. Maaf gak bisa ajak Mas Abdi masuk, ini kos khusus muslimah. Mas kan bukan muslimah jadi gak bisa masuk hehe. Makasih ya Mas, hati-hati di jalan.” Jingga melambaikan tangan pada Abdi yang membalas dengan klakson motor sportnya.
“Eeh buset deh si Mas, nglakson di malam gini tuh moge.”
***
Hari itu Abdi, Reino dan Jingga sedang ngobrol santai di roof top. Sudah jam lima sore lewat, artinya sudah lewat jam kantor. Tapi nasib Jingga sebagai PA alias ‘Pesuruh Abang Reino’ mau tak mau pasrah pada kehendak si bos.
Seperti saat ini, dia harus membuat kopi kesukaan Reino. Gampang tapi ribet! Kopi hitam tanpa gula tapi yang bikin kesal adalah dia harus menggrinda sendiri biji kopi utuhan itu secara manual!
Ya Tuhan, bapak aja gak pernah nyuruh aku ngegrinda biji kopi gini. Dasar bos asem! Awas aja kalau disuruh ulang lagi! Kububuhi garam tahu rasa deh. Batin Jingga berteriak kesal karena dari tadi Reino protes pada tingkat gilingan yang dirasanya masih kasar.
“Harus lebih halus dari yang ini, Jingga! Gimana sih, emang gak pernah bikin kopi di rumah?”
Jingga menggeleng, memang pada kenyataannya begitu.
“Bapak punya pabrik penggilingan kopi sendiri, dipacking terus diekspor ke luar negeri, jadi kalau mau ngopi ya ambil sampel sekalian cicipi biji kopinya. Pak ini sudah gelas ketiga yang saya bikin, kalau masih belum cocok ama lidah bapak, mendingan ganti pakai lidah kucing aja deh.” Jingga meletakkan cangkir berisi kopi hitam itu dengan kesal. Berbeda dengan Abdi yang tidak rewel, Reino malah membuat emosinya naik.
“Iya! Galak amat sih? Jing, kenapa sih susah banget mau panggil kamu?” Reino mulai keusilannya. Jingga melotot kesal mendengar panggilan baru dari si bos.
“Bro, lu mah gak sopan banget deh ama Jingga. Panggil aja pakai nama lengkap napa sih?” Abdi yang membalas Reino sambil menyeruput kopi panas.
“Lah bukan salah gue kan? Lagian bikin nama kok susah dipanggil gitu sih?”
“Kaya gue dong, panggil dek aja. Iyakan Dek Jingga? Lebih suka dipanggil adek dibanding Jang Jing kan?” Tanya Abdi dengan senyum manis.
“Iyalah Mas! Kan nama tuh doa dari orang tua loh. Ketemu bapak saya bisa dihajar habis-habisan.”
“Emang bapakmu kerjaannya apa?” Tanya Reino penasaran.
“Hmm… sekarang mah bapak petani, tapi dulu bapak mantan tentara, tapi gak tahu juga ding.”
“Serius? Kesatuan apa?” Tanya Abdi tertarik.
“Gak tahu, ibu saya juga gak boleh tahu. Tapi saya pernah jemur baju bapak ada beberapa gambar harimau. Pas saya tanya bapak itu gambar apa, eeh malah saya dimarah. Entahlah, yang saya tahu bapak sangat tegas dan gak banyak omong.”
“Harimau?” Glegh… Reino dan Abdi berpandangan tanpa Jingga tahu kedua lelaki dewasa itu mulai merasa atmosfir seram berdekatan dengan Jingga.
“Seriusan itu Denharin bapaknya Jingga? No, lu sarah rekrut staf buat PA nih. Itu kan pasukan antara ada dan tiada karena kehebatan mereka. Hati-hati deh, bisa-bisa tinggal nama doang kalau bikin salah. Jangan sampai kamu terpikir untuk menawari Jingga jadi korban lu ya.” Abdi membuat tanda kutip saat berkata korban. Tapi hal itu sempat didengar oleh Jingga.
“Korban apa sih Mas? Kenapa saya harus jadi korban Pak Reino?” Tanya Jingga penasaran.
“Korban perasaan Mas Bro satu ini dek haha… Abaikan saja yah. Eh No, gue ada perlu jadi mau pulang duluan habis magrib. Titip Jingga tolong anterin pulang ya.” Abdi berdiri sembari melihat jam tangannya.
“Gue ada janji sama mama, Jingga bisa pulang sendiri kok. Iya kan?” Tanya Reino sambil melihat ke arah Jingga. Yang ditanya diam saja, sedang berpikir, padahal kalau nebeng dia bisa menghemat ongkos kan?
“Yaelah ntar Jingga bisa nebeng sampai mana gitu, jangan dibiarin sendirian nih anak gadis. Yuk buru siap-siap.”
***
“Jingga, maaf aku gak bisa anterin sampai kosmu. Aku ada janji sama mama di Restoran Bunga Rampai tapi dari situ gak terlalu jauh kan ke kosmu?” Tanya Reino sambil fokus menyetir jeep kebanggaannya di kemacetan Jakarta.
“Bunga Rampai? Menteng ya? Iya gak papa nanti saya turun sebelum bapak parkir mobil ya.” Dari situ ke rumah bude gak gitu jauh, apa ke rumah bude aja ya? Uuh tapi malas aah ntar ditanya macam-macam. Pakai ojol aja deh cus pulang ke kos.
“Iya.” Jawaban singkat Reino menandakan tidak ada lagi pembicaraan yang diperlukan antara mereka berdua. Sepertinya si bos tamvan ini sedang banyak pikiran, entah apa.
Jingga coba memejamkan mata mumpung Reino dalam mode kalem. Beberapa bulan bekerja sebagai kacung membuatnya belum bisa memahami benar bos tampannya ini. Katanya suka nyentrik dan aneh, tapi selama ini biasa saja, normal, gak ada permintaan aneh-aneh, dan profesional kok. Saat Jingga akan terlelap tiba-tiba ponsel Reino menjerit. Reino menjawab via bluetooth saja agar tetap fokus pada jalanan.
“Ya ma… “
“Kamu sampai mana? Sebentar lagi jam setengah delapan Reino, kami sudah lapar nungguin kamu.” Suara Prabawati langsung saja terdengar. Reino menghela nafas saat mendengar kata kami.
“Bentar lagi sampai mah, ini udah di perempatan Menteng kok.” Jawab Reino.
“Di Menteng perempatan gak cuma satu Reino! Perempatan mana?”
“Kuningan - Menteng mah. Tadi macet banget di Kuningan gak tahu kenapa. Kalau lapar, kalian makan dulu saja. Reino masih kenyang barusan ngopi sama Abdi sama Jingga sebelum pulang.”
“Hmm ok. Buruan Reino, mama gak enak kan kita yang diundang sama mereka.” Prabawati menutup telepon itu. Reino melirik Jingga yang tidur tapi senyam-senyum sendiri. Membuat Reino ada ide dadakan.
“Jingga! Hei Jingga bangun!” Tangan kirinya mengguncang tangan kanan Jingga yang terasa halus.
Heem halus banget kulitnya! Anak perawan nih.
“Jingga! Woy bangun dong!” Reino sedikit berteriak.
“Euum apaan sih? Kan belum habis ini.” Malas-malasan Jingga menjawab, rupanya dia bermimpi.
“Kamu mimpi apaan sih? Apa yang belum habis? Lap dulu itu iler dong, jorok kamu!” Reino kesal karena Jingga yang tak jua bangun. Tapi dia punya ide yang sekiranya bisa membuat Jingga terbangun dan mengikuti permainannya.
“Jingga bangun! Aku traktir makan malam terus anterin kamu pulang sampai kos tapi pakai syarat!”
Benar saja, Jingga langsung membuka mata saat mendengar kata traktir makan malam.
“Beres pak! Apa tuh?”
“Dasar perutmu tuh ya kalau dengar kata gratis aja langsung konek. Buruan kamu dandan ala kadarnya aja, temani aku ketemu mama dan ikuti semua apa yang aku bilang. Paham? Kamu kan PA-ku jadi harus mau aku suruh-suruh.” Akhirnya senyum Reino muncul setelah seharian ini menghilang.
“Asal gak melanggar agama mah boleh pak!”
“Haa, apa sih? Yang penting kamu ikuti saja apa kataku ya.”
***
“Nah itu Reino datang. Loh kok tumben sama Jingga?” Tanya Prabawati cenderung bertanya pada diri sendiri.
“Ma…” Reino mencium pipi Prabawati. Di belakangnya tampak Jingga mengikuti dengan senyum manis dan wajah yang terlihat lelah.
“Sama Jingga? Hei Jingga, gimana betah? Tumben kalian berdua.” Sekarang Prabawati mencium Jingga. Reino masih setia berdiri di sebelah Jingga, menyapu pandangan ke meja yang ditempati mama dan temannya. Sepasang suami istri dan satu perempuan cantik berusia jelang akhir tiga puluh menurutnya.
“No, kenalin ini teman mama. Jeng Chaya yang dulu pernah mama bilang itu loh, pingin jadiin kamu mantu kalau kamu mau.” Kalimat Prabawati sebagai pembuka membuat Reino mau tak mau bersalaman pada tiga orang baru itu.
“Kenalkan ini putri kami, Wynda.” Chaya - seumur Prabawati - mengenalkan putri cantiknya bak boneka Barbie pada Reino, lelaki yang dia gadang-gadang akan menjadi menantu karena banyak kelebihan yang dimiliki oleh Reino.
“Hai… saya Reino. Kenalkan ini Jingga, calon istri saya.” Tangan kiri Reino mendadak memeluk pinggang Jingga dengan santainya, membuat Jingga mendelik kesal. Jingga ingat pesan Reino dari parkir sampai meja ini, untuk mengikuti permaiannya. Tapi kalau seperti ini, mana mau dia menuruti apa kata Reino.
“Haa, maksudnya apa? Kata mamamu kamu belum punya pacar, masih single makanya kami berniat menjodohkan Wynda denganmu. Tanya Chaya dengan heran.
“Maaf Om, Tante dan Wynda, tapi gadis ini - Jingga - adalah calon istri saya.”
“Haa? Benarkan itu Jingga?” Tanya Prabawati tajam. Dia tahu putranya ini ingin menghindar dari perjodohan yang diinginkan oleh Chaya.
“Tentu tidak tante!” Jawab Jingga tegas. Membuat semua mata melotot ke arahnya, Reino bahkan menendang kaki Jingga hingga gadis itu mengaduh kesakitan.
“Maksudnya apa sih?”