Jingga melihat ke layar ponselnya dengan malas. Hari ini hari Senin dan masih relatif pagi. Baru jam sembilan. Apalagi nomer telepon itu tidak dia kenal. Dia malas menerima panggilan telepon yang menawarkan kartu kredit atau kredit dengan bunga ringan dari bank manapun. Bisa digorok sang bapak jika dia nekat berhutang!
Untuk yang kedua kalinya, ponsel itu berdering nyaring. Membuatnya mau tak mau menjawab panggilan telepon dengan awalan +62 21.
“Halo selamat pagi…” Jawabnya dengan mata masih terpejam.
“Selamat pagi. Dengan Ibu Jingga Alaydrus?” Suara ramah seorang perempuan di seberang sana terdengar merdu di telinga Jingga.
Hmm, bener kan nih pasti sales nawarin kartu kredit atau nawarin kredit dengan bunga ringan deh.
“Iya benar. Dengan siapa ini?” Suara Jingga semakin malas tapi kemalasan dan mata ngantuknya seketika hilang saat mendengar nama si penelpon.
“Hai Mbak Jingga, kenalkan saya Maryam dari The Kusumo’s. Saya bermaksud untuk mengundang Mbak Jingga mengikuti proses interview di kantor kami pada hari Selasa esok jam sembilan pagi. Alamat kami di…” Belum selesai Maryam berkata sudah disambar saja oleh Jingga.
“Sebentar, maaf sepertinya kuping saya bermasalah. Tapi Ibu bilang dengan Bu Maryam dari The Kusumo’s? Perusahaan apa itu? Rasa-rasanya saya tidak mengirimkan lamaran dan resume saya ke kantor ibu deh.” Posisi Jingga yang tadinya tiduran sekarang duduk tegak.
“Iya benar mbak. Makanya saya minta saat Mbak Jingga datang besok tolong sekalian bawa surat lamaran dan resume serta fotokopi dokumen-dokumen pendukung ya.” Jawab Maryam di seberang sana dengan suara sangat sabar.
“Iya, saya bisa bikin tapi ditujukan ke siapa coba? Posisi apa? Maaf bu, ini saya kok mendadak jadi hilang ingatan loh.” Jawab Jingga sambil coba mengingat nama-nama perusahaan yang sudah dia kirimi surat lamaran tapi tidak berhasil mengingat nama perusahaan The Kusumo’s.
“Oh iya maaf saya lupa info. Ditujukan kepada Bpk. Reino Adikusumo, beliau adalah direktur, posisi yang dilamar sebagai Personal Asisstant.” Jawab Maryam.
Jingga menepuk keningnya, saat baru teringat nama Reino. Lelaki yang menuntutnya untuk bertanggung jawab dan menanggung kerugian karena kecerobohannya mengganggu Reino saat sedang menyetir.
“Ya Tuhan, maaf ya Bu Maryam, saya lupa banget. Baik bu segera saya siapkan dokumen-dokumen pendukung. Besok saya akan datang jam sembilan ke kantor ibu. Sekali lagi maaf karena tadi saya mungkin kurang sopan ya bu.” Jawab Jingga. Tanpa Maryam tahu wajah gadis itu memerah karena malu.
***
Hari Selasa, usai sholat subuh, Jingga langsung bersiap mandi, dandan dan sarapan nasi uduk yang dibeli dari kedai tidak jauh dari pos RW. Banyak pertanyaan muncul di kepalanya, membuatnya harus mencatat di ponsel agar nanti bisa ditanyakan.
Misalnya saja, deskripsi pekerjaan sebagai Personal Asisstant, ngapain aja, bagaimana, kapan mulai bekerjda dan terutama adalah berapa gaji yang akan diterima.
Jari dari kos ke kantor The Kusumo’s cukup jauh. Kosnya di Jakarta Pusat, sedangkan The Kusumo’s di Jakarta Selatan. Hmm agar penampilannya tetap paripurna tentu dia memilih untuk memakai jasa taksi online daripada ojek online atau bawa sendiri motor matiknya.
Hmm, kalau transpor gitu kira-kira ada reimburse gak ya? Apa aku langsung minta aja, siapa tahu dapat reimburse untuk transpor? Banyak hal yang ada di pikiran Jingga. Dia harus menghemat uang selama belum bekerja dan mendapatkan gaji.
“Silakan Mbak, sudah sampai di lokasi.” Supir taksi online menyadarkan Jingga yang jatuh tertidur.
“Eeh iya, terima kasih pak.” Jingga keluar taksi tapi kemudian kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri seperti mencari sesuatu.
Eh eh kok gak ada gedung perkantoran di sini? Ini kok cuma ada satu rumah aja tapi gedeee banget ini pagarnya? Seriusan ini kantornya The Kusumo’s? Lah di rumah doang? Eeh tapi bener gak sih alamatnya?
Jingga membuka ponselnya dan mencocokkan alamat yang tertera dengan alamat rumah yang ada di depannya ini. Memang benar, tidak salah. Rumah itu mempunyai pagar dari kayu jati yang terlihat kokoh. Dengan ragu, Jingga memencet bel tapi dia kaget saat mendengar suara dari layar yang juga berspeaker
“Dengan siapa? Mau bertemu siapa? Apakah sudah ada janji?” Tanya sebuah suara bapak-bapak, mungkin satpam karena nada suaranya kaku.
“Dengan Jingga. Sudah ada janji dengan Ibu Maryam, diminta bertemu beliau jam sembilan pagi untuk interview pak.” Balas Jingga, dengan noraknya dia menjawab sangat dekat ke speaker.
“Mbak jangan terlalu dekat ngomongnya, jadi keras banget suaranya, lagian itu jerawatnya keliatan loh.” Balas pak satpam, membuat Jingga meringis.
Asem nih bapak, sampai perhatiin jerawat!
“Silakan masuk mbak.”
Masuk ke mana? Lah ini aja gerbang kagak kebuka-buka. Gimana sih?
Sedetik kemudian tiba-tiba pintu gerbang terbuka, membuat Jingga terkaget-kaget.
“Astagfirullah… asem tenan iki. Otomatis yaa? Duuh ndeso banget deh aku.” Kaki Jingga melangkah ke arah pos satpam yang ada di sebelah kiri. Senyum manis sudah terpasang di wajahnya.
“Selamat pagi Mbak Jingga. Sudah ditunggu oleh Ibu Maryam. Tolong isi buku tamu ya mbak.” Pak satpam yang sekira seumuran bapaknya menyapa Jingga dengan ramah. Jingga segera mengisi buku tamu itu. Saat mengisi buku tamu, ada sebuah motor sport masuk dan langsung saja parkir. Jingga mana pedulikan itu.
“Ini kartu tamu, silakan Mbak Jingga ke arah kanan, jalan sedikit ya, nah Ibu Maryam sudah menunggu di situ.”
“Pak, maaf mau tanya dong, ini beneran kantornya The Kusumo’s? Kok kaya rumah gini? Gak ada gedung tingkatnya gitu?” Tanya Jingga sambil memakai kartu tamu.
“Iya benar mbak, kadangan berfungsi sebagai rumah tinggal di akhir pekan. Pak Reino suka menginap di sini sama keponakan-keponakan beliau.” Jawab si satpam. Jingga mengangguk, pura-pura paham, padahal mah tidak.
“Terima kasih pak, saya ke Ibu Maryam ya.” Tepat saat kakinya akan melangkah, tiba-tiba sebuah suara bariton menyapanya.
“Mau ketemu Ibu Maryam ya? Biar saya antar pak, si embaknya, kasian nyasar ntar. Mari mbak.” Lelaki si pengendara motor itu ternyata ganteng maksimal! Bodinya atletis, kulitnya kecoklatan dan wangi! Jingga sampai mengerjap mata beberapa kali melihat lelaki ini. Tapi akhirnya dia melihat ke arah kaki si mas ganteng, menapak bumi kok, berarti dia manusia kan? Bukan malaikat nyasar. Lagipula mana ada malaikat pakai sepatu? Eeh tapi si mas ini cakep banget, membuat Jingga sampai salah tingkah.
“Kenapa mbak? Kok sampai segitunya deh liatin saya? Something wrong ama sepatu saya? Saya gak pakai sepatu yang beda kanan dan kiri kan?” Lelaki itu sampai melihat ke arah bawah karena Jingga berkali-kali melihat ke arah kakinya.
“Mas, mas… Masnya ini bukan malaikat nyasar kan?” Bukannya menjawab Jingga malah ajukan pertanyaan dengan polosnya.
Terdengar tawa membahana dari lelaki tampan yang berjalan di sebelahnya ini. Sebuah tawa yang terdengar ramah.
“Bukan haha bukan. Kenalkan saya Abdi, manusia biasa seperti kamu kok, saya kerja di The Kusumo’s juga. Kemarin Reino cerita tentang kamu. Dia benar, kamu lucu.”
“Tapi saya bukan komedian loh mas.” Jawab Jingga lagi.
“Haha iyaa iyaa. Yuk ikut saya.” Dengan ramah Abdi mengajak Jingga ke kantor yang juga berfungsi sebagai rumah.
Jingga melihat kagum landscape design yang yang ditata dengan sangat apik. Taman-taman terlihat menyejukkan mata dengan dedaunan hijau dan bunga-bunga berwarna cantik. Pengaturan jenis tanaman dan area santai sungguh tepat. Ada bangku taman dan meja kopi untuk bersantai. Ada kursi ayun juga.
“Ini kantor atau taman untuk santai sih mas? Kok saya gak lihat ada suasana kantor?”
“Hmm, ini belum seberapa. Nanti kamu jangan kaget ya, kami punya taman roof top yang sangat nyaman. Si Reino kan tergila-gila ama yang hijau-hijau.” Jawab Abdi sambil tersenyum usil melirik Jingga saat berkata hijau. Jingga mengangguk saja karena dia fokus mengagumi suasana sekitar.
“Nah sudah sampai. Ini kantor kita - kalau kamu jadi join ya -. Silakan buka sepatumu dan gunakan sandal rumah yang tersedia. Maklum banyakan karyawan cowok jadi pada malas nyapu ngepel. Jadi disiasati dengan cara seperti ini.” Abdi melepas sepatunya kemudian memakai sandal dan menunggu Jingga melakukan hal yang sama.
“Assalamualaikum, selamat pagi teman-teman. Lihat siapa yang datang bareng aku. Ada janji sama Mbak Maryam nih. Silakan Mbak. Buat dia betah kerja sama Reino, jangan sampai gak betah lagi.” Sapa Abdi pada teman-temannya.
Ruangan itu lumayan luas dan sangat nyaman. Tidak ada sekat-sekat di meja tiap staf. Lagipula mungkin hanya tiga orang di ruangan itu dan memang benar, semua laki-laki.
“Hai Mbak Jingga, saya Maryam. Yuk ke ruangan itu kita ngobrol sebentar ya.” Seorang perempuan berusia awal empat puluhan keluar dari sebuah ruangan dan menyambut Jingga dengan ramah.
Setelah hampir satu jam dilakukan depth interview tanpa Jingga sadari, akhirnya Maryam bertanya keputusan gadis itu apakah jadi join atau tidak.
“Nah bagaimana Mbak Jingga? Jadi join kan?”
“Euum Bu Maryam maaf saya mau tanya tentang gaji hehe.” Jingga meringis malu-malu.
“Boleh, silakan.”
“Itu bener kan gaji yang saya terima full segitu bu? Gak akan dipotong untuk bayar kerugian kemarin?” Tanya Jingga untuk memastikan.
“Ooh soal itu jangan khawatir, Ibu Prabawati sudah berpesan pada saya akan hal itu. Mbak Jingga tidak usah khawatir. Gaji akan diterima penuh kok.” Sebuah jawaban yang sangat melegakan Jingga hingga tanpa sadar dia menghembuskan nafas lega dan tersenyum lebar.
“Baik Bu, terima kasih. Kapan saya bisa mulai bekerja?” Tanya Jingga dengan semangat.
“Saya suka anak muda yang bersemangat seperti ini. Kalau hari ini Mbak Jingga sudah bisa mulai, lebih baik. Kebetulan Pak Reino sedang keluar kota selama beberapa hari, jadi bisa mulai dengan mempelajari deskripsi pekerjaan sebagai Personal Assistant Pak Reino. Oiya jangan kaget ya dengan sikap dan sifat si bapak yang bisa berubah tiba-tiba.”
“Baik bu, mohon bantuan dan bimbingannya.”
“Eeh eeh bu maaf satu pertanyaan lagi. Eum The Kusumo’s ini bergerak di bidang apa sebagai core businessnya?”
“Nanti Mbak Jingga bisa cek di company profile perusahaan untuk lebih lengkapnya tapi core business kami yaitu pemasok tunggal sayur mayur berkualitas tinggi ke restoran dan supermarket, serta kopi Arabika dari berbagai daerah tanam di Indonesia. Itu yang utama, tapi yang gak utama ya ada juga. Penjualan online juga sedang sangat kami giatkan, ini yang hadir hanya seperempat karyawan saja karena sedang COVID19. Sisanya bekerja dari rumah.”
Hati Jingga bungah, sangat bahagia karena tidak menyangka gaji yang dia terima sebagai karyawan baru ternyata melebihi apa yang dia sangka. Sudah terbayang apa yang akan dia lakukan saat menerima gaji pertamanya. Mungkin nantinya dia bisa tidak menerima lagi transferan dari ibunya.
Hatinya semakin senang karena penerimaan staf lain yang sangat ramah padanya.
***
Dua minggu sudah Jingga bekerja, hari ini hari Jumat. Dari hari kedua dia hanya menjadi satu-satunya makhluk berjenis kelamin perempuan yang ada di kantor itu. Maryam ternyata bekerja dari rumah. Staf yang hadir seminggu hanya dua hari. Tapi hari ini beruntung Abdi datang ke kantor walau langsung saja masuk ke ruangannya.
Kalau ditanya posisinya apa, Abdi selalu menjawab aku tuh kacungnya Reino. Kan dia yang punya duit banyak tapi bingung mau buat apaan. Ya udah deh aku yang jalanin operasionalnya. Dia tuh temennya kakakku, dan mereka cukup dekat. Kebetulan aku punya background ilmu yang cocok, makanya kami jadi dekat juga.
Membuat Jingga bingung sebenarnya apa sih posisi Abdi di kantor itu.
“Kamu kos di Jakarta Pusat ya? Itu kan mayan jauh dari sini. Kenapa gak kos di dekat sini aja?” Tanya Abdi saat makan siang yang dia pesan secara online.
“Enggak aah Mas, karena udah lama kos di situ. Lagian males banget kalau harus pindah-pindah terus beberes barang lagi. Belum tentu juga cocok sama lingkungan sekitar. Udah nyaman aja di situ, lagian gak gitu jauh ama tante ama bude juga.” Jawab Jingga sambil mengunyah ayam geprek level pedas paling tinggi. Air matanya sudah menetes, keringat sudah bercucuran.
Abdi berinisiatif untuk mengusap keringat di kening Jingga dengan tisu. Jingga sampai terkejut, tidak menyangka Abdi akan seperhatian itu padanya.
“Kalau makan tuh mbok ya jangan yang pedes banget, wajahmu sampai merah gitu, nangis ama keringatan, ingusan juga.” Kata Abdi dengan lembut, membuat Jingga meleleh.
“Hei hei… apa-apaan ini? Mentang-mentang cuma berdua di kantor terus bisa bermesraan ya? Ab, makan ya makan aja deh, tuh tangan gak usah ke mana-mana.” Sebuah suara memecah kebekuan yang sempat tercipta pada Abdi dan Jingga.
“Lu nih, datang-datang gak pakai ucap salam malah langsung ngomel.” Jawab Abdi tidak mau kalah.
“Eeh gue udah say assalamualaikum, kalian aja yang terlalu asik berduaan sambil makan siang. Ingat loh kalau ada sepasang manusia berduaan di suatu ruangan, yang ketiga itu setan!” Reino menegak habis air mineral dingin.
“Elu dong! Kan elu yang baru datang. Dah ah Jingga, aku balik ke ruangan dulu. Bosmu udah muncul aja tuh. Ingat pesanku ya, kamu yang kuat, sabar dan tabah ya jadi PA Si Reino. Dia mah suka aneh aja idenya.” Kerlip mata nakal Abdi pada Jingga, melangkah ke ruangannya sambil melambaikan tangan.
Sekarang hanya tinggal Reino dan Jingga saja. Jingga langsung saja beranjak pergi, tapi langkah kakinya terhenti saat Reino yang masih berdiri menyender dinding menyapanya.
“Sudah mulai bekerja ya? Sudah paham kan apa yang harus kamu lakukan?” Tanya Reino sambil tetap menegak air mineral dingin, cuaca Jakarta sedang sangat panas. Salahnya hari ini dia malah nekat membawa motor untuk menghindari kemacetan Jakarta di hari Jumat.
“I.. iya Mas, eh pak.” Jawab Jingga terbata.
“Kamu mau panggil apa sih? Mas apa pak?”
“Bapak aja ya, kan bos jadi harus lebih sopan.” Jawab Jingga.
“Kok ke Abdi tadi manggil mas?” Reino tidak terima.
“Mas Abdi kan selisih umur sama saya cuma beberapa tahun pak. Lah kalau bapak kan kita selisih sebelas tahun. Lagian bapak kan bos saya loh. Bapak aja ya. Nah gimana kabarnya pak yang dari luar kota? Kok gak ada oleh-oleh sih?”
“Dikira aku jalan-jalan? Serah kamu deh, mau panggil mas atau bapak. Oiya saya mau info jadwal saya minggu depan. Kalau ada waktu lowong, sehari gitu, lowongkan ya. Saya mau bawa ponakan jalan-jalan.”
“Siyaap pak!”
***
“Sudah jam setengah tujuh, gue ajak Jingga pulang bareng gue ya bos.” Abdi sepertinya tahu kegelisahan Jingga karena Reino masih sibuk dengan laptopnya entah ngapain. Sedangkan Jingga sendiri sudah menyelesaikan semua pekerjaannya. Dia sungguh ingin pulang tapi Reino masih betah di kantor.
Reino melihat ke arah Abdi dan Jingga bergantian. Dia lupa kalau ada makhluk bernama Jingga di kantornya.
“Lu bawa motor kan bro? Emang bawa helm dua?” Tanya Reino.
“Pinjem helm kantor aja, Senin gue balikin, gak usah khawatir. Lagian kasian anak gadis pulang sendirian udah malam ini No. Yuk Jingga balik. Reino mah bakalan tidur di sini. Gak usah tungguin dia deh.” Abdi mengulurkan tangan pada Jingga agar gadis itu segera mengikutinya.
“Gue lebih khawatir ama Jingga, bukan helm tahu! Elu bakalan langsung anterin ke kos dia kan?” Reino berdiri sebelah Abdi. Walau Reino nampak tidak peduli, tapi berhubung Jingga adalah personal assitentnya, mau tak mau membuatnya lebih perhatian.
“Ciee cemburu ya bang? Jangan khawatir bang, hatiku tetap untukmu.” Tiba-tiba saja Abdi memeluk Reino dari samping tapi langsung saja Reino mengomel.
“Abdi! Gila lu, tuh Jingga bakalan pikir kita ada hubungan dodol! Jauh-jauh deh.” Reino mengibaskan tangannya, mengusir Abdi.
“Tapi kita kan memang punya hubungan sih? Tega banget lu ngelupain itu semua?” Wajah Abdi berubah suram, walau dibuat-buat.
Reino bergidik geli.
“Sumveh geli gue. Dah pegi sono. Hati-hati bawa anak gadis orang. Jangan mampir ke hotel atau club ya Ab! Masih polos nih bocah.”
“Uceeet deh babang tamvanku cemburuuu. Jingga, nanti kalau kamu sampai rumah langsung telpon nih bos yaa bilang kalau kamu udah sampai dengan selamat. Biar gaji gue gak dipotong ama doi.”
Jingga mengamati interaksi keduanya. Hubungan mereka akrab, mungkin karena kenal sudah lama. Tapi apa mungkin mereka main anggar? Selama ini dia tidak pernah dengar baik Abdi atau Reino punya pacar.
***
“Mas Abdi, boleh nanya gak?” Tanya Jingga sedikit berteriak di antara bising suara knalpot di jalanan. Sungguh dia penasaran pada hubungan Reino dan Abdi.
“Boleh. Mau tanya apa?”
“Euum maaf kalau kesannya kurang ajar, tapi Mas Abdi sama Pak Reino gak main anggar kan?” Tanya Jingga mengutip istilah yang sering dipakai teman kosnya untuk lelaki yang menyukai sesama jenis.
“Hah apa? Main anggar? Kami gak bisa main anggar Jingga. Lagian Reino lebih suka sepeda ama lari. Lari dari kenyataan haha…” Suara tawa renyah Abdi kembali terdengar.
“Maksudku bukan anggar olahraga tapi ituuuu looh…”
“Apaan?” Tanya Abdi yang penasaran hingga dia memperlambat laju motornya.
“Kalian gak penyuka sesama jenis kan? Kalian gak pacaran kan? Siapa tahu kalian main anggar deh.” Teriak Jingga tanpa rasa bersalah.
Abdi yang terkaget-kaget dengan pertanyaan polos Jingga menjadi oleng membawa motor sportnya. Tentu saja hal itu membuat kendaraan di belakang mereka mengklakson mendadak.
“Kamu… “
***
Kamu apa coba? Abdi bilang apa ke Jingga?