“Aku selesaikan administrasi dulu, terus anterin kamu pulang ke kosmu. Selama nungguin aku, kamu bisa beberes barang-barangmu.” Kata Reino pada Jingga, saat dokter sudah mengijinkan gadis itu untuk pulang.
“Udah boleh pulang ya? Kok cepet banget sih? Padahal mah enak di sini juga.” Jawab Jingga, dengan nada kecewa.
Reino tidak jadi keluar kamar itu, dia melihat ke arah Jingga dengan heran.
“Baru kali ini ada orang yang gak mau pulang dari rumah sakit. Biasanya pasien memaksa dokter untuk segera pulang. Baru kamu doang yang malah pingin tinggal di rumah sakit lebih lama. Dasar gadis aneh.” Gerutu Reino.
“Lah ini kan kamar VIP, makan sehari tiga kali dengan menu yang bisa dipilih, enak-enak banget walau sedikit hambar. Fasilitas lengkap, kaya hotel. AC, kulkas, tivi gede, dokter dan perawat yang standby, dan yang terutama adalah GRATIS TIS! Maka nikmat mana lagi yang kamu dustakan?” Jawab Jingga sambil mengutip arti sebuah ayat Al Qur’an. Dia memberikan cengiran lebar kepada Reino.
Reino melengos, dia membalik badannya dan berkata, “Ya terserah kamu saja. Kalau masih mau di sini, bayar sendiri yang hari-hari berikutnya.”
“Eeh eeh enggak enggak. Saya mau pulang kok mas.” Dengan sigap akhirnya Jingga membereskan barang-barangnya.
Lima belas menit kemudian, Reino sudah kembali ke kamar Jingga. Dia mendorong sebuah kursi roda kosong hingga ke depan Jingga yang duduk manis menunggu Reino di sofa. Jingga melihat ke arah kursi roda dan ke Reino. Telunjuknya menunjuk ke keduanya bergantian.
“Ini buat apa?” Tanyanya dengan polos.
“Tadi dikasih sama salah satu perawat di nurse station. Katanya biar pasien tidak perlu berjalan, jadi pakai kursi roda saja.”
“Jadi saya yang ada di kursi roda ini dong Mas? Iih kok kesannya saya penyakitan banget sih. Gak mau!” Jingga menolak. Bibirnya mencebik, kedua tangan dilipat di depan d**a. Reino menjadi kesal.
“Terserah kamu mau pakai kursi roda ini atau enggak, nona. Tapi awas aja kalau kamu sampai jatuh sebelum kita sampai ke mobil. Itu barang-barang kamu juga bawa sendiri saja!” Bibir Jingga semakin mengerucut mendengar ancaman Reino.
“Iya, iya. Tapi ntar dorongnya pelan-pelan ya.”
“Iya neng. Bawel deh, buru ayo. Aku masih ada janji dengan orang lain setelah ini.” Reino melihat ke arah jam tangannya dengan wajah khawatir.
“Ya udah sih, saya pakai taksi online aja biar Mas-nya gak ribet dah, tapi bayarin.” Tangan Jingga menengadah, bibirnya tersenyum iseng.
“Pinginnya sih gitu, tapi sayangnya mama akan mengomeliku habis-habisan karena mengabaikan kamu. Udah ayuk buru deh duduk di kursi roda ini dan pangku tuh tas ranselmu.” Reino menunjuk ke arah kursi roda yang sudah ada di depan mata.
“Iya iya, bawel deh.” Jawab Jingga, gantian berkata bawel, dengan bibir mengerucut, tanda masih kesal, dia duduk di kursi roda yang didorong Reino dengan agak tergesa.
“Mas mas, pelan-pelan dong. Tadi bilangnya mau dorong pelan-pelan aja kan?” Jingga sedikit khawatir karena Reino mendorong kursi roda dengan kasar.
“Bentar lagi sampai mobilku. Tadi udah parkir pas banget depan lobi. Bersyukur Reina punya saham di rumah sakit ini, jadi urusan lebih gampang.” Jawab Reino abai dengan permintaan Jingga.
Reino mendorong Jingga lebih cepat lagi. Rumah sakit swasta mewah itu mempunyai lorong panjang untuk sampai di pintu lobi dari kamar VIP perawatan Jingga.
“Nah sudah sampai, mana ranselmu aku masukin mobil.” Tangan Reino terulur, Jingga memberikan ranselnya tapi kemudian dia celingukan ke kanan dan ke kiri mencari mobil yang akan dipakai. Di depannya ada jeep mewah merk Wrangler berwarna hitam mengkilap.
Apakah itu mobil si mas tamvan bin tajir ini?
“Ayo bangun, kok malah bengong? Aku ada janji lagi setelah ini.”
“Mobilnya mana?” Tanya Jingga dengan polos.
“Mana lagi sih? Yang ada di depanmu ini dong mobilnya. Buruan Jingga.” Reino sudah gusar, sebenarnya dia tidak mau mengantar Jingga hingga ke kos, bisa saja dia menyuruh sopir, tapi sang mama bisa menyunatnya sekali lagi sampai habis jika dia nekat melakukan itu.
“Yang kemarin berarti beneran bukan mobil masnya dong.” Jingga meringis membayangkan betapa ringsek mobil yang mereka kendarai waktu itu.
“Iya, makanya kan aku minta kamu ikutan ganti rugi. Kok diem aja? Masuk Jingga.”
Yang ada, Jingga malah melihat ke mobil dan tanah. Mobil itu lumayan tinggi. Dengan kondisi tubuh yang belum fit seratus persen tentu butuh perjuangan untuk bisa masuk mobil jeep mewah itu.
“Ketinggian Mas. Kan badan saya masih sakit semua ini. Gendong pleaseee…” Senyum manis Jingga muncul, Reino sempat kembali terpesona walau hanya sebentar karena kemudian dia menepuk keningnya mendengar permintaan gadis di depannya ini.
“Hmm.. okay.” Tanpa aba-aba, Reino segera membopong Jingga dan diletakkan dengan hati-hati di kursi sebelah kiri.
“Kalau pakai seat belt sendiri bisa kan? Atau harus aku juga yang masangin?” Tubuh Reino sangat dekat dengan Jingga. Harum parfum maskulin mahal terhidu di hidung Jingga, membuatnya melayang dan hilang arah.
“Kamu ngapain kok malah merem melek gitu? Mikir m***m ya?” Tiba-tiba kening Jingga disentil Reino membuat gadis manis yang sedang terbang itu tiba-tiba terjatuh dari langit dengan kerasnya dan tersadar.
“Iya, iya.”
***
“Ini ke mana lagi?”
“Kan udah pakai google map Mas, masih nanya aja. Udah dibacain ama si mbaknya dengan suara merdu mendayu gitu mosok masih gak ngerti?” Jingga menjawab sewot. Dia ingin menikmati mobil jeep mewah ini, tapi terganggu oleh pertanyaan Reino.
“Ngerti kok, tapi kamu yang nebeng kok malah enak-enakan tidur gitu. Gak ikhlas aku!” Ternyata Reino tidak rela ditinggal tidur oleh penumpang di sampingnya.
“Lagi ngimpi nih Mas, kapan lagi coba bisa nikmati mobil semewah ini dengan gratis?”
“Kamu pikirannya gratisan mulu dah. Ini bener nih lewat jalan ini? Muat gak buat Wrangler?” Reino melihat ke kanan kiri coba memperkirakan jarak karena menurut google maps dia harus melewati jalan itu.
“Kos saya masuk gang Mas, nanti berhenti di pos RW aja. Mobil ini bisa masuk jalan ke kosan tapi nanti harus mundur, males kan?”
“Hmm… okay.”
Lima menit kemudian, Reino sudah memarkirkan mobil jeepnya dengan sempurna. Dia sempat memindai sekeliling. Kos Jingga ada di daerah Jakarta Pusat tapi yang banyak rumah, bukan yang daerah elit atau mewah. Rumah berdekatan bahkan ada yang berdempetan. Kalau terjadi kebakaran, akan mempersulit damkar untuk mengatasi api. Tapi positifnya, suasana masih akrab karena saat Jingga turun ada beberapa warga yang menyapa mereka dengan ramah.
Reino mengambil ransel Jingga dan disampirkan di pundaknya. Jingga jadi tidak enak hati sendiri.
“Sini Mas, ransel saya. Saya bisa bawa kok.” Jingga berusaha menarik ransel itu, tapi akibatnya tubuhnya malah limbung. Dengan sigap Reino menyangga tubuh Jingga.
“Tubuhmu katanya masih sakit semua, kok ya pakai ngeyel mau bawa ransel. Jalan pelan-pelan aja deh, atau perlu aku gendong saja kaya tadi?” Tanya Reino tanpa tendensi apapun. Mereka tidak menyadari bahwa Reino sudah merasa akrab dengan Jingga, sudah beraku - kamu, tapi sayangnya Jingga masih menjawab dengan saya. Mungkin karena menyadari perbedaan status mereka.
“Enggak perlu, kita jalan pelan-pelan aja ya.” Kembali Jingga tersenyum dengan manisnya.
Dengan sabar Reino menggandeng Jingga. Terbiasa hidup bersama sang mama yang super dan Reina, membuat urat sabarnya menjadi lebih lentur saat menghadapi kaum hawa dengan segala kompleksitasnya.
Jingga berhenti di sebuah rumah dengan banyak jendela. Reino mengamati kos-kosan ini, tampaknya ini kosan lumayan mahal.
“Ini kosmu?”
“Iya. Makasih ya Mas, udah mau nganterin sampai sini. Udah dibayarin juga segala sesuatunya.” Jawab Jingga, sedikit menundukkan kepala.
“Siapa yang bilang gratis? Minggu depan kamu harus ke kantorku. Aku akan atur jadwalmu bertemu dengan Bu Maryam untuk interview. Kamu harus bayar semua kerugian yang sudah kamu timbulkan nona!” Senyum misterius muncul di bibir Reino. Di kepalanya sudah terbayang apa yang akan dia lakukan pada gadis manis di depannya ini.
“Tiati loh Mas, saya sudah punya nomer hape Bu Prabawati sama Mbak Reina. Saya bisa langsung lapor dalam satu dial saja.” Jingga mengedipkan sebelah matanya, meninggalkan Reino yang terbengong saja.