HAPPY READING
***
Dewa membuka lemari, ia mengenakan kemeja putih dan celana jins. Ia hari ini akan ke rumah Bimo, karena acara tujuh bulanan Anya. Ini adalah tradisi unik yang masih bertahan hingga sekarang. Mungkin Anya dan Bimo sudah melupakan tradisi ini, namun kedua orang tua mereka masih lengkap, jadi tetap dilangsungkan. Acara ini dimaknai sebagai permintaan selamat dan pertolongan yang maha kuasa. Dewa kembali menatap jam pemberian Medina, agar ia merasa selalu dekat dengan wanita itu. Lalu ia kenakan jam itu. Oh God, masih saja ia mengingat Medina di masa-masa seperti ini.
Dewa menarik nafas, ia memejamkan mata sejenak lalu menutup wajahnya dengan tangan. Dewa menggeram, jujur ia rindu berbicara dengan Medina, ia rindu tawa wanita itu, dan rindu menghabiskan waktu bersama, pada akhirnya tetap merindukannya. Ia pernah bedo’a berharap dipertemukan lagi dengan Medina. Oh Tuhan, semoga saja ada keajaiban bertatap muka kepada wanita itu lagi. Dan mempersatukan cintanya.
Dewa menatap langit terang, dan masih meninggi. Ia memandang ke arah layar ponsel, ia duduk di sisi tempat tidur. Ia menekan tombol layar camera pada ponsel. ia tahu bahwa Jakarta lebih cepat lima jam dari pada Belgia. Ia menunggu Amber mengangkat panggilannya, ia ingin tahu kabar tunangannya. Sambunganpun seketika terangkat,
“Hai sayang,” ucap Dewa, memandang wajah cantik Amber dibalik layar ponselnya.
“Hai juga sayang,” Amber tersenyum kepadanya.
“Kamu lagi apa sayang?” Tanya Dewa, wanita mengenakan dress berwarna putih.
“Aku habis design wedding dress kita. Menurut kamu bagus nggak?” Amber memperlihatkan hasil gambarnya.
“Wow, bagus banget.”
Amber tersenyum, “ini A-Line Dress, bentuknya sesuai tubuh aku, bagian atas strapless aku buat full kristal gitu dan bawahnya. Model dress ini agar terlihat tubuh aku lebih jenjang.”
“Warnanya putih bersih, akan bersinar jika terkena cahaya lampu.”
“Amazing … ! Aku sudah nggak sabar melihat kamu memakai wedding dress itu.”
Dewa berbangga hati karena memiliki calon istri yang berkecimpung di dunia fashion, sehingga mereka tidak perlu repot melakukan fitting, karena Amber sangat professional dalam melakukannya, walau wanita itu bukan desaigner wedding dress tapi kemampuannya menggambar dan menjahit sudah menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita itu akan puas jika tidak menggunakan hasil rancanannya sendiri.
“Aku juga sudah membuatkan untuk kamu sayang. Nanti pulang aku langsung ukur badan kamu.”
“Iya.”
“Untuk gambar ini akan aku kirim ke tim aku sebentar lagi. Jika sudah pulang nanti aku hanya mengeceknya hasil kerja mereka saja.”
“Bahannya sudah di Beli?” tanya Dewa.
“Sudah sayang, dikirim langsung dari Abu Dhabi dan kainnya sudah datang kemarin. Hasil ini akan segera aku kirim,” Amber tersenyum menatap Dewa, dia sangat tampan.
“Kok nggak ngasih tau kalau sudah beli.”
“Surprise dong.”
“Kapan kamu pulang hemmm, aku udah kangen,” Dewa tersenyum menatap Amber.
Amber tertawa, ia duduk di sisi tempat tidur, “Aku juga kangen sama kamu, Minggu depan aku pulang,” Amber terkekeh.
“Jangan lama-lama. Aku kangen pelukan kamu. Aku kengen kamu tidur di sini,” Dewa menepuk bantal yang sering ditiduri Amber.
Amber tersenyum dan tertawa, ia teringat jelas bagaimana Dewa dengan posesif memeluknya, mereka melakukan malam yang panjang. Ia akui bahwa ia bukan gadis suci, semenjak menjadi tunangan Dewa. Ia sering bercinta dengan tunangan itu. Ia pikir hubungan mereka sudah lebih dari sekedar pacaran, ia mengijinkan Dewa melakukannya, karena mereka juga sudah hampir menikah.
Dewa juga sering mengantarnya ke kantornya, bahkan pernah menemaninya seharian di studio. Tak jarang mereka masak bersama rasanya sangat intim.
“Aku juga kangen, kalau pulang aku peluk erat-erat.”
“Aku juga akan cium seluruh tubuh kamu,” Dewa tertawa.
“Dasar ya kamu,” Amber ikut tertawa.
“Kangen banget,” Dewa kembali tertawa menatap wajah cantik Amber.
“Bagaimana liburan kamu? Suka nggak di sana?” Tanya Dewa.
“Lumayan, seru juga traveling sendiri, nikmati masa-masa single, me time dengan diri sendiri. Aku ada gift untuk kamu.”
“Apa?”
“Ada deh.”
Dewa menarik nafas, menatap wajah cantik wanitanya, “Hari ini kamu ke mana?” Tanyanya lagi.
“Palingan masih keliling Brussel.”
“Kamu rapi-rapi gitu mau ke mana,” Tanya Amber.
“Tadi dari pagi sampe siang aku ke kantor ada beberapa meeting yang harus aku hadiri. Sore ini aku ketujuh bulanan istri Bimo” ucap Dewa tenang.
“Anya udah tujuh bulan?”
“Iya sayang.”
“Ya ampun. Jadi aku nggak bisa temenin kamu dong.”
“Enggak apa-apa sayang. Mama dan papa pasti ngerti. Kan udah tau kalau kamu ke Brussel.”
“Iya.”
“Salam ya buat Bimo dan Anya nanti, bilang maaf nggak bisa datang.”
“Iya, nanti sampein sama Bimo dan Anya.”
“Acaranya jam berapa sayang.”
“Sore ini jam 3 sore, mungkin sekarang udah mulai,” Dewa melirik jam melingkar ditangannya menunjukan pukul 03.40 menit.
“Ya ampun, ini udah jam berapa sayang. Lumayan jauh loh dari Mega Kuningan ke Pondok Indah.”
“Enggak apa-apa datang telat, aku memang sengaja. Soalnya rame aku males juga.”
“Uh dasar kamu, nggak boleh gitu.”
“Habisnya pergi sendiri, nggak ada kamu.”
“Kok belum pergi?”
“Ini juga udah mau siap berangkat sauang, maunya sih sama kamu sayang.”
“Kalau deket, pasti kita pergi sama-sama.”
“Yaudah, kalau gitu, aku berangkat dulu ya. Kamu jangan lupa makan, have fun sayang.”
“Iya sayang, kamu hati-hati di jalan. Bawa mobil jangan ngebut. I Love you.”
“I love you to.”
Dewa lalu mematikan sambungan telfonnya. Ia mengambil kunci mobil di nakas, dan memasukan dompet ke saku celananya. Dewa melangkah masuk lift menuju basement. Ia merasa lega bahwa sudah menelfon Amber. Beberapa menit kemudian mobilnya meninggalkan area tower apartemen Raffles, menuju Pondok Indah ke rumah Bimo. Mobil membelah jalan bersama angin.
***
Kini Dewa sudah berada di komplek rumah Bimo, halaman rumah Bimo tampak ramai. Mobil-mobil terparkir sempurna di sana. Ada beberapa orang sudah pulang, ia menatap jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 16.30 menit. Dewa menghentikan mobilnya di tepi jalan, Karena halaman rumah sudah penuh dengan mobil.
Dewa melepas sabuk pengaman, ia memandang sekali lagi penampilannya di kaca dasbor. Ia lalu melangkah keluar dari mobil. Ia masuk dari pintu samping, ia melihat keluarga besarnya dan tidak lupa ia menyapa.
Rumah Bimo di d******i warna putih, tanpa sekat, hingga membuat ruangan terasa luas. Rumah di desain sangat modern, bahkan ada lift menuju basement. Ia datang ketika acara siraman sudah selesai. Ia memandang Anya di sana. Dia lah wanita yang sudah memenangkan hati Bimo, wanita itu mengenakan kebaya berwarna mint dengan perut yang sudah membesar. Jujur jika melihat wanita hamil, aura keseksiannya terpancar.
Ia juga melihat Bimo mengenakan kemeja berwarna senada dengan Anya, tampak berbaur dengan para tamu yang memberinya selamat. Kebanyakan di sana adalah rekan bisnis Bimo dan teman artis Anya. Karena ini adalah acara mereka.
Langakah Dewa terhenti menatap backdrop di ruang tengah yang dipenuhi dengan bunga-bungan pastel dan sebagian ruang tengah dihiasi bunga-bunga mawar putih sehingga terkesan mewah. Bunga-bunga ini seketika mengingatkannya kepada Medina. Ia menatap buket bunga di meja prasmanan, terdapat pita yang bertulisan Florist Medina.
Jantung Dewa maraton, ia mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan mencari keberadaan Medina. Ia yakin Medina pasti ada di sini, karena acara sudah hampir selesai. Para tamu undangan juga sebagian sudah pulang. Langkahnya terhenti ia memandang wanita yang duduk di salah satu kursi tamu, wanita itu sedang berbicara bersama beberapa para tamu undangan. Lihatlah betapa cantiknya Medina, wanita itu sama sekali tidak berubah sejak terakhir mereka bertemu.
“Dewa !”
Dewa lalu menoleh ke arah sumber suara, ia menatap ternyata Bimo yang memanggilnya.
“Iya,” ucap Dewa menyungging senyum.
“Amber katanya ke Brussel.”
“Iya. Acaranya udah selesai?” Tanya Dewa.
“Iya udah.”
“Decornya temen kamu, Florist Medina,” Bimo menatap Dewa.
“Endorse?”
“Iya.”
Bimo masih ingat betul hubungan Dewa dan Medina seperti apa. Dewa mengakui bahwa ia sangat menyukai Medina sejak jaman sekolah dulu. Bahkan mencarinya sejak lama hingga mereka tumbuh dewasa. Entah apa yang dipikirkan Dewa hingga akhirnya adiknya memutuskan bertunangan dengan wanita cantik bernama Amber. Padahal ia pikir Dewa masih mengejar cintanya. Mengejar cinta bukanlah perkara yang salah, hanya saja diperlukan dengan cara yang tetap wajar. Jika memang suka, maka kejarlah dan menjadikan wanita itu bagian dari hidupnya. Namun Dewa malah melakukan sebaliknya, melupakan cintanya.
Tatapan Dewa terlihat seperti biasa tanpa menunjukan, bahwa menyimpan cinta yang sangat dalam kepada wanita cantik yang sedang berbicara kepada tamu undangan. Menanti cinta memang membutuhkan perjuangan. Namun jika sudah didapat, cinta datang memberikan kebahagiaan yang luar biasa dan mengagumkan, bahkan tidak di ungkpakan dengan kata-kata. Dewa memang sangat payah berurusan dengan cinta.
“Medina mengungkapkan bahwa ini akan menjadi win-win solution untuk marketingnya, karena 80 persen tamu undangan ini adalah artis-artis ternama dan pengusaha muda. Setiap artis pasti mengabadikan ini di akun instagramnya dan memamerkan dihadapan public. Cara kerjanya brilliant?”
“Iya,” ucap Dewa.
“Kalian masih berhubungan?”
Dewa menarik nafas, “Enggak, Aku jaga perasaan Amber.”
“Kamu tau? Amber itu wanita berkualitas sangat pantas bersanding dengan kamu. Amber cantik, anggun, elegan. Dia desainer muda berbakat, memiliki butik ternama, dan dia pinter masak. Amber sudah sangat sempurna menurut aku. Kamu emang pantas dapatin dia”.
“Iya kamu benar.”
“Tapi Medina juga nggak buruk menurut aku, dia wanita pekerja keras, cerdas, dan dia terlihat sangat menggemaskan, selalu ceria. Sepertinya dia sangat sibuk.”
Dewa melirik Medina dari kejauhan, wanita itu masih ngobrol cukup serius dengan lawan bicaranya,
“Dia hanya menyibukan diri, enggak benar-benar sibuk,” gumam Dewa.
Bimo kembali menatap Dewa, ia memperhatikan adiknya cukup serius, “Kamu sepertinya lebih tau dia.”
“Aku udah kenal dia dari SMA, jadi aku tau dia.”
“Kalo kamu udah tau dia lebih dalam, kenapa nggak sama Medina?” Tanya Bimo lagi.
“Dia nolak aku.”
“Boleh tau alasannya?”
“Enggak ada alasan, mungkin dia salah satu wanita munafik yang nggak tau apa itu cinta. Jadi aku lepas dan mencari kehidupan baru.”
“Pilihan kamu sudah tepat.”
“Sudahlah, tak perlu mengejar cinta. Jika terus mengejar maka aku akan lelah, belum tentu aku mendapatkkannya,” gumam Dewa.
“Jika saling menginginkan cinta, maka tidak perlu menunggu apalagi mencari. Karena cinta akan datang dengan sendirinya.”
Dewa menarik nafas ia menatap Bimo, “Kamu mau gift apa? Baby moon ke Eropa?” Tanya Dewa mengalihkan pembicaraana. Karena ia merasa pusing jika selalu memikirkan wanita itu.
“No, aku nggak mau istri aku kenapa-napa jika berpergian jauh.”
“So …”
“Mobil.”
“Asem !” Dengus Dewa.
Bimo lalu tertawa memandang adiknyaa, “Come on.”
“Pendapatan kamu lebih banyak dari aku b******k ! kamu harusnya beli mobil aku.”
“Mobil aku semua beli sama kamu, dasar.”
“Kamu beli mobil, aku kasih diskon. Bagaimana?”
Bimo menyungging senyum, ia meninju bahu Dewa, “Oke.”
“Yaudah kamu makan sana, tamu juga udah pada pulang.”
“Iya.”
Dewa menatap Bimo meninggalkannya, ia mengalihkan pandangan ke depan. Ia menatap mama dan papa sedang Asyik bersama tamu undangannya. Ia melihat beberapa artis ternama berbicara kepada Anya dan Bimo sedang ngobrol dengan om Dedy. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing.
Seketika iris mata ia dan Medina bertemu. Wanita itu mengenakan mini dress berwarna biru muda, dengan rambut tergulung ke atas. Beberapa rambut panjangnya menjuntai ke belakang secara natural. Jujur wanita itu sangat cantik dan dia tampak terlihat sangat dewasa. Entah dorongan apa ia mendekati wanita itu.
Medina bergeming memandang Dewa di sana. Ia tidak menyangka dipertemukan lagi dengan pria itu di sini. Lihatlah dia semakin tampan sejak ia lihat beberapa bulan yang lalu. Pria itu sudah menjadi pria dingin dan tidak banyak bicara menurutnya. Dialah pria yang sudah mengejar-ngejarnya sejak lama, sering menciumnya dengan paksa dan memeluknya dengan posesif. Bahkan pernah menculiknya hanya untuk sekedar makan malam bersama. Ia pikir hubungan mereka yang awalnya adalah benci menjadi cinta, seperti n****+ romance kebanyakan.
Namun pria itu kini memilih mundur, bersanding dengan wanita bernama Amber. Jujur ada perasaan minder ketika mengetahui bahwa tunangan Dewa adalah seorang desainer muda berbakat, dia memiliki brand Mandjha. Bahkan ada beberapa pakaiannya dulu beli di sana, karena kulitasnya sangat baik dan modelnya mengikuti jaman, sangat kekinian. Pantas saja Dewa langsung melamar wanita itu.
Sejak saat itu ia merelakan Dewa dengan wanita pilihnnya. Bahkan ia mendekor acara pertunangan Dewa. Jujur ada perasaan sesak dihati ketika melihat Dewa memerkan cincin pertunangan di depan khalayak ramai.
Dibalik itu, ia menangis setiap malam, tanpa tahu apa alasannya. Padahal ia dan Dewa tidak memiliki hubungan apa-apa, bahkan komunikasi mereka cukup buruk. Tapi entalah, ia merasakan sesak luar biasa ketika pria itu mengatakan akan menikah dengan wanita pilihannya. Ia tidak mengerti perasaan apa yang kini ia hadapi.
Ia memandang Dewa di sana, pria itu mengenakan kemeja putih dan celana jins. Seperti biasa dia terlihat tampan, tubuhnya bidang dan tegap. Dia datang sendiri tidak bersma tunangannya. Jujur ada perasaan nervous luar biasa berhadapan dengan pria itu lagi.
“Hai,” ucap Dewa.
“Hai juga,” ucap Medina, dan ia berikan senyum terbaiknya kepada pria itu, agar pria itu tahu dirinya baik-baik saja. Tatapan Media beralih ke pergelangan tangan, pria itu mengenakan jam tangan pemberiannya.
“Bagaimana kabar kamu?” Tanya Dewa.
“Baik, kamu?”
“Baik juga.”
“Kok sendiri?”
“Amber lagi di Brussel.”
Medina mengangguk paham, “Aku denger mau nikah, ya bulan depan,” sejujurnya ada perasaan sesak tadi ketika Bimo mengatakan Dewa akan menikah bulan depan secepat itu.
Dewa menarik nafas, ia menyuging senyum, “Iya.”
“Selamat kalau begitu, semoga pernikahannya lancar,” Medina kembali tersenyum.
“Aku ingin kamu yang mendekor di acara pernikahanku.”
Medina berusaha tersenyum dan mengangguk, “Iya, kamu mau tema nya apa?”
“Menurut kamu, apa yang bagus?”
“Glamor”
“Oke, apa ada katalognya?”
“Ada, aku membawanya.”
Medina menarik nafas, ia melangkah menuju tas kerjanya, ia memejamkan sejenak agar hatinya tenang berhadapan langsung dengan Dewa. Entahlah bernafasnya rasanya sulit sekali. Ia mengambil katalog itu. Medina lalu menyerahkan katalog kepada Dewa.
Dewa melirk Medina, kini mereka seperti orang asing yang tidak banyak bicara.
“Lebih baik kita ngobrol ini di atas, karena di sini terlalu berisik.”
“Yaudah kalau gitu.”
***