HAPPY READING
***
Amber dan Armand melangkah menulusuri alun-alun kota. Armand berhenti disalah satu supermarket, ia membeli beberapa botol bir, ia memasukan bir Cimay, Leffe, Delirium dan Artois, untuk ia nikmati di penginapan nanti. Armand menatap mobil dipinggir jalan, di mobil itu terdapat tulisan Gaufreries Chandes, itu adalah waffle. Ada beberapa orang yang mengantri membeli waffle itu, karena waffle dimasak ketika saat pelanggan memesan, sehingga dapat dinikmati saat masih hangat.
“Kamu mau waffle?” Tanya Amber menatap Armand.
“Boleh, kamu mau juga?”
“Iya.”
Armand dan Amber ikut mengantri memesan waffle. Armand memesan dua box waffle, satu untuknya dan satu untuk Amber, agar bisa menikmati waffle itu di penginapan. Beberapa menit menunggu pesanan mereka jadi. Adonannya tidak cair, namun padat dan kenyal. Armand memberikan satu box kepada Amber, sambil menelusuri kota, sambil memakan waffle. Waffle Belgia empuk dan rasanya manis.
“Enak?”
“Iya enak, aku suka teksturnya,” ucap Armand memakannya selagi hangat.
Seputar kota mereka berjalan kaki. Bangunan indah warna-warni menghiasi kota ini. Meskipun bangunan ini sudah dimakan usia, namun pesona klasiknya justru semakin terasa. Mereka pergi kesalah satu bangunan yang menarik di Hubert Gallery, sebuah pusat perbelanjaan kuno yang masih beroperasi hingga saat ini. Katanya ini adalah satu peninggalan bangunan eropa abad ke 18.
“Besok kita ke mana?” Tanya Armand.
“Kamu mau ke mana?” Amber balik bertanya.
Amber mencoba berpikir, ia melirik Armand, “Bagaimana ke gereja St Michael & St Gundula. Letaknya di tengah kota. Gereja itu mengingatkan aku gereja Notradame di Paris. Interiornya tak kalah indah dengan yang ada di Paris, cuma kalah pamor aja,” ucap Amber.
“Kamu sering ke gereja?” Tanya Armand.
“Setiap Minggu sih, sama keluarga. Kamu?”
“Kadang-kadang,” Armand lalu tertawa.
“Uh dasar,” Amber ikut tertawa.
“Aku pernah berdo’a.”
“Apa?”
“Mau dengar nggak isinya apa?”
“Iya.”
Armand menarik nafas,“Ya Tuhan, di dalam peluang ini saya meminta kepada- Mu, bantulah saya buat membukakan pintu hati orang lain. Bantulah saya biar saya lebih peka memastikan teman hidup serta bisa menjawab cinta dengan sepenuh hati. Teruntuk untuk orang yang sudah Engkau siapkan jadi pendamping hidupku, orang yang dapat mendampingiku, serta membesarkan anak- anakku.”
“Haleluya, Amin,” ucap Amber pelan.
Armand tersenyum melirik Amber mengucapkan Amin, mereka saling menatap satu sama lain hatinya seolah ada getaran. Ada tatapan cinta namun sulit diartikan. Armand dan Amber lalu kembali melangkah menelusuri kota. Saat ini mereka sedang mencari, diantara potongan malam yang menyerap kegelisahaan antara keduanya. Dalam hati mereka berdo’a dan berharap bahwa mereka adalah takdir yang dipertemukan. Alasan-alasan bernama cinta sampai menghancurkan alasan itu.
Armand melirik Amber, wanita itu hanya diam sepanjang jalan tadi, “Kamu suka baca n****+ nggak?”
“Enggak terlalu sih, dulu pernah aku suka baca n****+ Ernest Hemingway, waktu masa-masa kuliah. Kamu?” ucap Amber.
“Oh God, baru aku mau cerita n****+ Ernest Hemingway. Kamu baca judul yang mana?” Tanya Armand.
Mereka saling memandang, “The Old Man and The Sea,” ucap mereka serentak.
Armand dan Amber lalu tertawa mereka mengucapkan judul yang sama. Ia tidak percaya bahwa mereka menyukai n****+ yang sama.
“Aku memang tidak terlalu suka membaca n****+ namun ketika tahu bahwa ada n****+ yang mendapatkan nobel sastra terbaik di Amerika, aku langsung membacanya. Penghargaan itu juga diberikan kepada Ernest Hemingway. Aku membacanya yang di terjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono. Itu merupakan bacaan berkualitas Internasional yang baik untuk mengisi waktu luang. Ya bukunya tipis, tidak tebal seperti n****+ kebanyakan, butuh dua jam saja aku menyelesaikannya.”
“n****+ itu kalau nggak salah bergulat tentang manusia dan alam. Kisahnya menceritakan seorang pria tua dalam menaklukan kerasnya hidup. Pak tua itu berhasil menangkap ikan dambaanya, namun gagal membawa pulang. Tidak ada akhir bahagia di cerita ini, namun entahlah pembaca bisa cukup puas. Tapi aku tidak tahu alasannya” ucap Amber mulai bercerita.
Armand tersenyum, “Iya kamu benar, mungkin karena Hemingway gaya tulisannya terlalu sederhana dan pembaca tidak perlu membuka kamus untuk mengartikannya. Namun itulah kekuatannya.”
“Kalau nggak salah novelnya itu pernah dikritik kan, karena terlalu sederhana.”
“Mungkin karena Hemingway seorang jurnalis sudah terbiasa dalam tulisannya yang simpel. Tanpa harus menggunakan kata-kata puitis.”
Armand menarik nafas, “Ceritanya simple, seorang nelayan yang sudah lama tidak mendapat ikan, kemudian seperti biasa ia pergi ke laut. Dalam perjalanan yang tak kunjung membuahkan hasil, ia bergelut dengan diri sendiri yang disajikan dengan narasi yang cukup panjang. Di akhir, penantian tersebut tiba. Sebuah ikan marlin raksasa yang kemudian membuat ia sesekali membayangkan seandainya manolin membantunya memancing.”
“Kamu tahu?”
“Apa?”
“Tanpa kita sadari setelah membacanya, bahwa narasi itu ternyata menceritakan kita sendiri. Kita merasakan kesal, kecewa dan kemudian rasa rela. Tapi aku akui bahwa gaya tulisannya luar biasa,” ucap Amber.
Armand menghentikan langkahnya, begitu juga Amber,
“Kenapa?” Tanya Amber bingung.
“Aku nggak percaya bahwa kita benar-benar mereview n****+ klasik itu.”
Amber tertawa, “n****+ itu terkenal dikalangan mahasiswa, 1 diantara 50 mahasiswa pasti sudah membacanya.”
Armand ikut tertawa, ia menatap wajah cantik Amber. Ia menatap lampu-lampu menghiasi seluruh kota, diantara lampu-lampu itu namun Amber lah yang menurutnya paling bersinar.
“Aku boleh jujur nggak sama kamu.”
“Apa?”
Armand menutup wajahnya dengan tangan, ia menarik nafas panjang, ia memandang Amber cukup serius, “Kamu itu mirip Princess Letizia of spain, waktu muda.”
“Really?”
“Yes.”
“Lebih ke arah Princess Leonor versi dewasa menurut aku. Sepatu flat, dress selutut. Aku merasa bahwa di dekat kamu itu penuh ketenangan.”
Amber tersenyum, sebenarnya banyak yang mengatakan hal yang sama, Dewa, Naomi dan teman-temannya juga pernah mengatakan hal yang sama,
“Thank you, mungkin garis wajahku perpaduan antara mama dan papa, jadi sekilas mirip. Aku hanya wanita biasa pada umumnya. Masih senang memakai pakaian sexy, glamor, dan high heels. Awalnya aku tidak mau menumpuk bajuku dengan blezer ini, ingin memamerkan punggungku dihadapan kamu, namun melihat udara malam dingin aku mengenakannya.” Amber terkekeh.
Alis Armand terangkat mendengar Amber ingin memamerkan punggungnya yang terbuka itu kepadanya,
“Aku sudah melihat punggungmu ketika di restoran tadi dan aku menyukainya,” ucap Armand.
Amber tersenyum lalu melanjutkan langkahnya, begitu juga Armand menyeimbangi langkah Amber, “Boleh aku merangkul bahumu,” ucap Armand.
“Kenapa?”
“Karena aku ingin merasakan bagaimana memelukmu di malam romantis ini.”
“No.”
Ada perasaan kecewa Amber mengatakan no, “Oke, aku nggak memaksa,” ucap Armand, ia memandang Amber. Amber menatapnya balik.
“Kamu tahu Damon Salvatore?” Ucap Amber, ia tidak ingin di saat ia sudah bersama Dewa ada seorang pria dengan lancangnya ingin memeluknya. Ia tidak ingin terlalu menciptakan moment romantis di kota ini, apalagi dengan pria yang baru ia kenal. Ia teringat kata-kata Naomi, harus menjaga hatinya.
“Aku nggak tau, dia siapa?” Ucap Armand, namun ia penasaran siapa pria yang disebutkan oleh Amber. Apakah pria itu kekasihnya?.
“You know, dia vampire paling sexy, di serial film Vampire Diaries.”
Ia merasa lega bahwa pria itu adalah hanya sebuah cerita fiksi, “Aku nggak pernah tahu film itu Amber, bisa kamu menjelaskannya?”
“Itu hanya film serial anak ABG, namun aku suka dengan karakter Damon Salvatore. Sekilas aku melihat dia seperti kamu. Misterius, bad boy, selfish, dan arrogant. I mean who doesn't love bad boys?”
“Dia karakter paling licik diantara vampire lainnya. Dia anak nakal sejati dengan ketampanan, dan kecerdasannya dalam membunuh tanpa menunjukan rasa sedih dan penyesalan.”
“Itu sebabnya aku nggak nonton karena itu adalah serial remaja.”
Amber tertawa ia melirik Armand, “Percaya padaku, kamu menonton satu episode merasakan ketagihan menontonya.”
“Hemmm, apakah ada di netflix?”
“Tentu saja ada.”
“Setelah ini aku akan buka leptopku dan menontonnya.”
“Oke.”
Hingga akhirnya mereka sudah ditempat semula, Armand melihat jam melingkar ditangannya menunjukan pukul 22.30 menit. Armand memasukan tangan di saku celananya, ia menghentikan taxi di tepi jalan. Amber mengerutkan dahi, menatap Armand.
“Sudah malam, kamu harus istirahat.”
Sebenarnya ia masih ingin keliling kota, namun Armand memutuskan untuk pulang, “Padahal aku pikir kita masih terus keliling kota.”
“Besok lagi, kita harus menyiapkan tenaga untuk perjalanan besok.”
“Iya sih.”
“Besok kamu check out ya, aku pesenin kamu hotel.”
“Iya.”
Taxi berwarna hitam itu berhenti tepat di depan mereka. Amber menarik nafas Armand membuka pintu mobil untuknya. Amber lalu masuk begitu juga Armand.
“Aku antar kamu pulang terlebih dahulu,” Ucap Armand.
“Iya.”
Mobil taxi pun meninggalkan area Grand Place. Armand melirik Amber yang hanya diam memandang ke arah jendela.
“Is er een huurauto in Brussel?” (apakah ada tempat sewa mobil di Brussel?”) tanya Armand kepada driver.
“Ja, elk hotel biedt autoverhuur. U kunt het aan de receptioniste vragen.” (Ada, setiap hotel menyediakan sewa mobil. Anda bisa menanyakannya kepada receptionis.)
“Bedankt,” (Terima kasih.)
“Geen dank,” (Sama-sama.)
Amber menoleh menatap Armand, “Kamu ngomong apa sama driver?” Tanya Amber penasaran.
“Aku hanya menanyakan tempat sewa mobil di Brussel.”
“Untuk?”
“Untuk kita jalan-jalan keliling Brussel besok.”
“I see.”
“Katanya setiap hotel menyediakan jasa sewa mobil, dia mengatakan kita hanya menanyakan kepada receptionis.”
“Pakek mobil aja ya, jangan pakek kereta.”
Amber tersenyum, “Iya.”
“Kalau ke Praha dan ke Amsterdam kita menggunakan kereta.”
***
Dewa memandang foto dirinya dan Amber yang terpajang di dinding kamarnya. Wanita cantik itu kini sudah mengisi sebagian hatinya saat ini. Masih teringat jelas bagaimana ia berkenalan dengan Amber, saat itu Amber sedang bersama asistenya membeli mobil di showroom nya. Pertama kali ia lihat, wanita itu sangat menawan. Membuatnya jatuh hati hanya sekali menatapnya.
Flash back
“Ada yang bisa saya bantu bu?” Tanya SPG itu kepada wanita yang baru masuk ke dalam lobby dan menyambutnya ramah.
“Saya cari mobil BMW X2.”
“Baik bu, mobilnya ready sisa warna black sapphire metallic dan bluestone metallic. Jika ingin warna yang berbeda, pemesanan dikirim dalam waktu dua Minggu. Jika sudah datang akan langsung kita kirim ke pembeli.”
Dewa menatap dua wanita itu dari kejauhan, wanita muda yang mengenakan dress biru itu menjadi pusat perhatiannya. Ia melangkah mendekati wanita itu, dia mengenakan balutan midi dress berwarna biru muda. Rambut panjangnya terurai hingga sepinggang. Ia lalu menghampiri dan membiarkan ia melayani wanita itu. Ia tidak menyangka bahwa tamunya ini sedang mencari mobil dengan harga fantastis.
“Perkenalkan saya owner showroom mobil ini. Saya Dewa,” ucap Dewa mengulurkan tangan wanita itu.
Amber menatap pria yang mengenakan kemeja berwarna putih dan celana jins. Rambutnya tertata namun ada style berantakan pada rambut itu, namun tidak mengurangi ketampanannya. Tubuhnya tinggi proporsional hingga ia menatap butuh mendongakan kepala.
Amber tersenyum dan membalas uluran tangan itu, “Saya Amber.”
Dewa merakan kulit halus itu dipermukaan tangannya, “Ada yang bisa saya bantu?” Ia melepaskan tangannya.
“Saya mencari mobil BMW X2.”
“Mobilnya ready, ini mobilnya,” ucap Dewa, ia melangkah mendekati mobil yang terpajang di lobby.
Amber menatap mobil berwarna hitam mengkilap, terlihat sangat mewah. Ia sudah menserching harga dan hampir seluruh showroom memiliki harga yang sama. Amber menatap mobil mewah impiannya. Ia butuh menabung bertahun-tahun lamanya untuk membeli mobil mewah ini. Harganya hampir 889 juta, hampir mendekati 1 M.
“Mau cari warna apa?”
“Kebetulan saya cari warna hitam in,i” ucap Amber, ia memegang sisi mobil. Pertama kali melihatnya ia sudah suka dengan mobil yang ia sudah incar sejak lama.
Dewa memperlihatkan interior mobil mewah itu kepada Amber. Mobil BMW salah satu mobil kelas premium sebagai symbol kesuksesan. Mobil ini memiliki performa tinggi, dan sporty. Harga mobil merek ini memang sangat lekat dengan nuansa kemewahan dan tidak lekang oleh waktu. Exsteriornya kelihatan sangat mewah dan fitur pendukung yang dimilikinya. Dewa menjelaskan secara detail kepada wanita bernama Amber.
“Cash atau kredit?” Tanya Dewa menatap wanita cantik itu cukup serius.
“Cash.”
“Silahkan urus administrasi kepada SPG saya, nanti saya akan langsung antar.”
“Tapi antar ke rumah orang tua saja, kebetulan saudara saya ingin melihat mobil ini.”
“Baik, rumahnya di mana?”
“Di Setiabudi.”
Dewa tersenyum, “Baik. Senang berkenalan dengan anda Amber.”
“Senang juga kenalan dengan anda pak Dewa.”
Itulah awal perkenalan ia dengan Amber. Jujur ia senang mengenal wanita yang menggeluti dunia fashion dan kecintaannya dengan memasak. Sejak saat itu ia mengantar mobil Amber secara langsung dan berkenalan dengan orang tua Amber. Ia menilai bahwa Amber bukanlah wanita sembarangan dan layak bersanding dengannya. Terlebih Medina sudah menolak cintanya dan sulit ia kejar. Namun entahlah bayang-bayang Medina masih ada dalam ingatannya.
Dewa teringat bagaimana ia menjelaskan kepada Medina bahwa ia akan bertunangan dengan wanita bernama Amber. Terlihat jelas wajah kesedihan pada wanita itu. Ia meminta kepada Medina untuk mendekor acara pertunangan di salah satu restoran mewah di Jakarta. Wanita itu hanya mengatakan selamat dan siap mendekor acara pertunangannya. Medina tidak menunjukan reaksi apa-apa, lalu meninggalkannya begitu saja.
Wanita itu bekerja secara professional, menghiasi bunga-bunga cantik pada pesta pertunangaannya. Bahkan memberinya gift sebuah jam tangan mahal merek Bell & Ross, saat pertunangannya berlangsung. Ia tahu betul harga jam tangan Bell & Ross, dibandrol dengan harga $5000. Hingga saat ini ia masih mengenakan jam tangan pemberian Medina, agar ia selalu mengingat wanita itu.
Sejak ia bertunangan dengan Amber, ia tidak lagi berhubungan dengan Medina. Jujur ada perasaan rindu, ingin menatap wanita itu lagi. Ia ingin melihat ekpresi wajah cantiknya ketika wanita itu marah bahkan mendekap tubuh rampingnya dengan paksa. Oh God, ia tidak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkan kerinduan itu. Karena tidak ada yang lebih tulus dari hati yang mencintai dalam perih, dan mendo’a kan dalam diam.
***