HAPPY READING
***
Medina menarik nafas, ia mengikuti langkah Dewa menuju tangga atas. Ia memandang punggung Dewa dari belakang, ia mencoba menenangkan diri agar tetap tenang dan baik-baik saja. Ia harus puas dengan menyandang status teman dengan orang yang membuat hatinya tidak menentu. Ia juga harus bersikap professional, bahwa mereka hanya teman tidak lebih dari itu. Ia sudah berusaha move on dari pria itu agar tidak terlalu menyiksa batinnya.
Sementara Medina berdiri tidak jauh dari Dewa, ia merasakan angin menerpa wajahnya. Dewa hanyalah sebagian dari masa lalunya. Pria itu bebas menikah dengan siapa saja dan wanita pilihannya. Ia akan mencari yang lain dan berusaha merelakannya pergi.
Ia bersyukur bahwa, saat ini toko bunga sedang ramai-ramainya setidaknya itu dapat melupakan dirinya tentang pria itu. Kadang yang terindah diciptakan untuk dimiliki. Ia hanya cukup memandangi dari jauh untuk mengagumi dalam diam.
Saat ini mereka sedang berada di balkon. Dewa menatap Medina selama beberada detik, lalu memandang halaman belakang, yang terdapat kolam renang dan gazebo. View dari belakang rumah ini cukup bagus dan tumbuhan terawat dengan baik.
Dewa memejamkan mata beberapa detik, wanita di sampingnya ini adalah wanita yang ia pikirkan sepanjang hari dan ia rindukan. Sudah berapa Minggu ia lewati, tanpa melihatnya. Apa kabar dia? Apakah dia baik-baik saja? Apa ada pria yang mendekatinya? Apa kesibukannya? Apa yang dia lakukan? Apakah bunga-bunganya masih tetap segar seperti hatinya? Atau malah sebaliknya?. Begitu banyak kata cinta di dunia ini, namun ia merasa bahwa dalam diam itu, telah menyusup hatinya.
Medina berusaha tersenyum menatap Dewa, “Kamu maunya indoor atau outdoor?” Tanya Medina membuka topik pembicaraan.
“Indoor,” ucap Dewa tenang, jujur ia sulit fokus antara menatap Medina dan katalog wedding.
“Kamu mau venue nya ada di mana? Di situ ada contoh,”
“Menurut kamu mana yang bagus?”
Medina tersenyum simpul, “Menurut aku semuanya bagus. Lebih baik kamu diskusikan masalah ini kepada tunangan kamu, karena kalian yang punya acara.”
“Aku ingin minta pendapat kamu Medina.”
Medina menarik nafas, ia menatap Dewa cukup serius, ia menatap katalog yang terbuka di tangan Dewa.
“Menurut aku ini yang di The Ritz-Carlton Mega Kuningan, di situ ada paket Magic Moment. Disitu tertulis lengkap rincian fasilitas. Kamu mendapatkan myfair suite selama dua malam, paket makan malam untuk 50 keluarga. Kue pernikahan setinggi lima tingkat dengan design yang sepesial, beserta buffet berbagai menu dari Asia dan western. Harga yang ditawarkan 700 juta untuk 1000 pax.”
“Harga paket lebih murah dan kita memiliki tim professional, kita sudah biasa menangani acara-acara besar, seperti pernikahan artis ternama, pengusaha terkenal.”
“Kita sudah kerja sama dengan pihak hotel, kalian hanya tinggal mencocokan tanggal saja jika ingin.”
“Hemm,” Dewa menatap Medina berbicara dan menjelaskan.
“Untuk dekor aku suka floral glamour yang kini masih menjadi trend untuk pernikahan spektakuler. Apalagi ditambah dengan chandelier menjuntai ke bawah. Itu sangat cantik.”
“Pernikahan sekali seumur hidup, begitu juga kamu harus memandangnya. Setiap orang yang ada di sana, tidak akan melupakan siapapun menatapnya. Warna-warna soft perpaduan warna putih, silver, gold, akan membuat kesan mewah.”
Medina menunjuk dekorasi pernikahan pada katalog, “Pesta yang aku tangani terakhir, Minggu lalu Aurel menikah dengan youtuber terkenal.”
“Jika kamu menggunakan jasa kami, aku akan membicarakannya kepada tim kami, agar mereka tau apa yang kamu inginkan agar enak berdiskusi. Kita bisa meeting bersama setelah ini.”
“Kalau untuk wedding dress kita bisa mencarikannya untuk kalian karena kita punya jasa sewa. Namun kebanyakan hampir semua calon pengantin sudah memiliki wedding dress sendiri pilihan mereka”.
Dewa menatap Medina sekian detik, wanita itu menjelaskan secara detail, “Amber sudah membuat wedding dress hasil rancangannya sendiri.”
Medina tersenyum, “Itu lebih bagus lagi menurutku.”
“So … which one do you want?”
“Aku mau Magic Moment, namun akan aku diskusikan dengan Amber lagi,” ucap Dewa berusaha tenang.
Dewa dan Medina hanya diam, terpaan angin menerpa wajah mereka. Mereka sama-sama memendam rasa. Mereka tidak tahu berbuat apa, karena sibuk dengan perasaan mereka sendiri. Ada rasa berat, kadang juga sedih. Meski terkadang ada rasa ingin mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya. Namun masih banyak pertimbangan dan membuat bimbang.
“Kamu masih ingat nggak dulu waktu SMA, aku pernah ngajak kamu bolos,” ucap Dewa melirik Medina ia membuka topik pembicaraan yang berbeda, agar ia tidak terlalu banyak memikirkan hatinya.
Medina lalu tertawa, ia memutar ingatannnya kembali. Ia menatap Dewa,
“Masih ingat lah, pak Denden nutupin pager, padahal baru telat 10 menit. Aku sama Grace padahal inisatif mau lewat pager. Malah kamu nyuruh aku, naik motor vespa kamu,” Medina terkekeh.
“Mana dipaksa-paksa pula.”
Dewa lalu tertawa ngakak, “Aku tarik tarik tas kamu dari pager, akhirnya kamu jatuh, dan mau juga ikut aku. Sementara Grace udah lompat pager duluan.”
Medina ikut tertawa, “Kamu tau? Gara-gara kamu ngajak aku bolos, bokap sampe dipanggil sama guru BK,” Medina cekikikan.
“Aku baru masuk sekolah loh itu, baru kelas 1 SMA. Kamu udah ngajakin kabur dari sekolah. Uh dasar kamu !” Dengus Medina diselingi tawa.
Medina melirik Dewa yang tertawa ngakak, “Terus, vespa kamu mana?”
“Ya nggak ada lah, udah di museum kan, udah jadi rongsokan, udah lama banget,” Dewa terkekeh.
“Gak ngerti lagi aku, aku marah-marah sama kamu sepanjang jalan,” Medina melanjutkan kata-katanya.
“Kita bolosnya ke rumah Liam. Waktu itu pas Liam lagi sakit,” Dewa tertawa.
“Iya aku inget. Untung aja mama Liam baik banget, kita disuguhi makanan, kue cake, es krim. Liam yang awalnya sakit langsung sembuh, gara-gara ada kamu,” Medina lalu ikut tertawa.
“Gila ya, kamu dan Liam, sama-sama nakal, kebangetan nakalnya. Sampe guru nggak heran lagi sama kalian berdua.”
“Terus Liam ke mana sekarang?” Tanya Medina penasaran, karena sejak lulus SMA, ia tidak mendengar kabar pria itu lagi.
“Ada di New York. Lulus SMA langsung move ke sana, nggak mau balik ke Indo lagi. Sekarang kerjaannya gambar-gambar gedung pencakar langit.”
“Hebat banget.”
“Liam udah nikah juga sama Dian.”
“Dian siapa?”
“Istrinya,” Dewa tersenyum, karena ia menghadiri pernikahan Liam waktu itu di Jakarta.
“Cepet juga ya dia nikah, padahal aku pikir cowok model Liam, pasti nggak mau komitment gitu,” ucap Medina.
“Bedalah sekarang, sekarang udah dewasa. Tahun lalu sih nikahnya. Mungkin Liam udah capek gonta ganti pacar, akhirnya mutusin untuk komitmen."
“Iya sih.”
Medina menatap Dewa, “Aku masih inget, hampir semua cewek-cewek cantik di sekolah, Liam pacarin, gila ya temen kamu satu itu.”
Dewa tertawa, ia melirik Medina ikut tertawa, “Iya sih dia parah banget. Aku malah kebalikannya, kalau udah nyaman satu, yaudah itu dijalanin. Hati aku selalu bilang mencintai wanita yang sama, setiap hari, maka akan bahagia.”
Hati Medina seketika berdisir dan mereka saling menatap satu sama lain. Medina tersenyum, “Wanita itu pasti sangat beruntung mendapatkan pria seperti kamu,” gumam Medina.
“Iya, Amber sangat beruntung,” ucap Dewa, melirik Medina yang hanya diam.
Dewa menarik nafas, “Aku ada kontak Liam, kamu mau liat dia nggak?” Dewa mengalihkan topik pembicaraan.
“Boleh.”
“Liam sekarang rambutnya gondrong, banyak tatonya, ya masih keren sih sama kayak dulu,” Dewa mengambil ponselnya dari saku celana. Lalu kembali memandang Medina, mencoba membaca ekpresi wajah itu. Di luar control, wajah Medina memerah kelihatan normal karena terkena matahari, namun tidak mengurangi kecantikannya.
Dewa mencari kontak Liam, “Semoga aja Liam ada di Jakarta, terakhir aku nelfon bulan lalu, istrinya melahirkan di New York.”
“Masih suka motor?”
Dewa tertawa, “Masih lah, kita sampe sekarang masih hobi otomotif.”
“Tau nggak sih kamu? Dulu waktu SMA aku belajar nyetir mobil sama Liam. Liam memang keren banget sih. Pantas aja pacarnya banyak banget,” Dewa terkekeh.
“Iya lah, masih SMA aja dia udah diijinin pakek mobil sama bokapnya. Tinggal cewek-cewel aja yang ngantri naik mobilnya.”
Dewa tertawa, “Iya bener.”
Dewa menekan tombol kontak Liam, panggilanpun tersambung. Sekian detik menunggu, akhirnya video call terangkat. Dewa menatap pria berambut gondrong di sana, dia duduk di tempat duduk,
“Hai men,” ucap Liam dengan suara seraknya, ia memandang sahabat lamanya di sana, dia adalah Dewa.
“Hai men, gimana kabar lo?”
“Baik, lo di mana?”
“Di Jakarta lah, di mana lagi,” Dewa terkekeh.
“Gue baru balik, gue di Jakarta nih.”
“Wihh kebetulan banget. Lo sama siapa?”
“Sama istri dan anak lah. Kebetulan lagi cuti juga, jadi mutusin untuk balik sebentar. Maklum mama dan papa mau liat cucu.”
“Masih di rumah lama?” Tanya Dewa penasaran.
“Udah pindah di Pondok Indah, maklum rumah lama agak kecil gitu.”
“Aku juga di Pondok Indah, di rumah abang gue. Lo boleh share lock deh lokasinya, siapa tau deket. Nanti gue samper.”
“Oke-oke.”
“Oiya, lo masih inget nggak sama Medina?” Tanya Dewa, ia melihat Medina yang berada di sampingnya.
“Masih lah, si mungil dan cantik itu kan.”
“Iya itu,” Dewa terkekeh.
“Bukannya dia gebetan lo dari dulu?”
“Iya dulu” ucap Dewa terkekeh, “Sekarang dia sama gue, lo mau liat nggak?”
“Mana?” Ucap Liam.
Dewa mengalihkan cameranya ke arah Medina. Medina memandang seorang pria mengenakan kaos berwarna hitam, wajah pria itu ternyata masih tetap tampan seperti dulu. Terlihat sangat macho karena bulu-bulu halus tumbuh di rahang tegas pria itu. Benar kata Dewa, ternyata Liam berambut gondrong.
“Hai Med-Med, gimana kabar lo?” Tanya Liam, menatap adik kelasnya dulu. Ternyata dia semakin cantik dan terlihat sangat dewasa.
“Baik.”
“Kerja di mana sekarang?”
Medina terkekeh, “Jualan bunga gue, lo mau beli bunga gue nggak?”
“Boleh deh buat istri,” Liam tertawa.
Medina melirik Dewa juga ikut tertawa, “Nanti gue ke tempat lo, gue bawa buket bunga.”
“Siap, ditunggu ya kalian berdua. Gue mau pamer anak gue.”
“Liam …”
“Apa?”
“Lo lama-lama tinggal di New York, muka lo udah mirip bule,” ucap Medina diselingi tawa.
Liam lalu ikut tertawa, “Lo orang ke seribu yang bilang kayak gitu Med-Med.”
“Eh, lo berdua kapan mau ke sini?”
Dewa juga ikut tertawa melirik Medina, “Kamu sibuk nggak?” Tanya Dewa kepada Medina.
“Enggak juga sih.”
Dewa mengalihkan pandangannya ke arah camera, “Kita ke rumah lo sekarang.”
“Siap ditunggu ya, awas lo berdua nggak datang.”
“Siap men,” Dewa lalu mematikan sambungan telfonannya.
***
“Aku ke sini tadi karena udah menduga banyak client, nanya soal dekor dan buket gitu, kebetulan yang hadir orang-orang berpengaruh di sini. Jadi mau nggak mau gue turun tangan juga.”
“Iya sih, kamu emang harusnya datang. Aku tahu betul circle nya Bimo kayak apa. Banyak banget dari orang-orang hebat berteman dengannya. Apalagi circle Anya yang dari kalangan selebriti, ini menjadi salah satu moment penting kamu.”
“Kamu mau ke tempat Liam nggak?”
“Hemm boleh deh, tapi ke Senayan dulu ya, aku mau kasih Liam buket sekalian beliin hampers gitu buat babynya,” ucap Medina.
“Aku juga mau beli sesuatu buat baby nya Liam.”
Medina kembali teringat, “Anaknya udah dibabtis nggak sih?” Ia menyelipkan rambut yang jatuh ke telinga.
Dewa mengedikan bahu, “Enggak tau, mungkin babtis di Jakarta sama oma opa nya, biasa sih kayak gitu. Enggak mungkin di New York.”
“Iya sih. Aku urus di bawah dulu ya, aku mau liat tim aku kerja gimana, takut masih ada client yang nanya soal dekor, dan buket.”
“Kayaknya acara udah selesai,” ucap Dewa.
Dewa memasukan ponsel ke saku celananya, ia menatap Medina, “Udah sepi juga,”
Dewa kembali memandang Medina, Ia menyerahkan katalog kepada wanita itu, “Aku tunggu di teras,”
Medina mengambil katalog itu dari tangan Dewa, “Iya,” ia lalu bergegas turun ke bawah,
Dewa memandang punggung Medina dari belakang, wanita itu menuruni tangga. Dialah wanita yang ia cintai dalam diam. Kini ia membiarkan dia seperti bumi, menopang meski diinjak, memberi meski dihujani, diam meski dipanasi. Sampai dia sadar bahwa dirinya sangat berarti. Ia diam bukan tidak memperhatikan. Ia yakin dia sama saja tidak bisa menjauhkan mimpi, imaji dan kenangan yang ia sematkan bersama rindu. Ia tahu wanita itu memilih diam, menyeka hujan di sudut gelap.
***
Beberapa menit kemudian,
“Bagaimana?” Tanya Medina kepada Lia asistenya.
“Udah bu, pesanan buket dan décor lumayan banyak.”
“Tadi mba Anya bilang habis acara dekornya boleh di lepas.”
“Yaudah kalau gitu, kamu udah makan?” Tanya Medina, karena ia takut asistennya belum makan.
“Sudah bu, tadi yang lain juga udah makan.”
“Untuk bunga mawar yang masih bisa dipakai, buatin buket, tadi soalnya mba Anya bilang. Mawarnya jangan dibuang, karena dia suka, sayang gitu masih seger-seger,” ucap Medina.
“Iya bu.”
“Sip deh kalau gitu, nanti Lia bawa mobil ya sekalian. Aku mau ke rumah temen, liat istri temen melahirkan,” Medina menyerahkan kunci mobil kepada asistenya.
“Iya bu.”
“Kalau ada apa-apa kamu langsung telfon aja ya.”
“Iya bu.”
“Terima kasih Lia.”
Medina mengalihkan pandangan ke arah Anya di sana, wanita itu sedang duduk di sofa bersama Bimo. Di sana juga terdapat orang tua Anya dan Bimo. Medina melangkah mendekati keluarga kecil itu berpamitan untuk pulang. Karena tidak sopan rasanya jika lalu menyelonong pulang kepada pemilik acara.
“Medina,” ucap Bimo memandang wanita cantik itu.
“Mau pamit pulang dulu,” ucap Medina sopan, ia menatap orang tua Bimo yang tersenyum kepadanya. Medina membalas senyuman itu.
“Ini yang punya dekor ma, namanya Medina. Dia biasa nangani acara-acara besar.”
“Owh, yang kata kamu temen SMA nya Dewa.”
“Iya.”
“Owh ternyata ini. Kemarin yang dekor acara tunangan Dewa juga,” Mama Dewa memandang wanita cantik mengenakan dress biru.
“Iya ma,” Bimo tersenyum, ia melihat mama Dewa berdiri mendekati nakas mengambil paperbag berwarna coktal.
“Dekornya cantik banget ma, kayak orangnya,” sahut Anya lalu tersenyum memandang Medina.
“Temen-temen mama juga bilang gitu, cantik banget dekornya sambil nanya-nanya gitu,” ucap Mama Dewa, sementara Medina hanya tersenyum.
Medina melihat mama Dewa menyerahkan paperbag kepada Medina, “Ini untuk kamu.”
“Ah, tante nggak usah repot-repot,” Medina merasa tidak enak.
“Enggak apa-apa cantik. Di bawa ya, ini emang disiapin untuk kamu, makanan, kue, dan cake.”
Medina mengambil paperbag itu kepada “Makasih tante.”
“Iya.”
“Medina pamit pulang ya tante,” ucap Medina.
“Iya hati-hati.”
“Mari, mas Bimo, Anya, om. Aku pulang dulu.”
Medina lalu meninggalkan area ruang tengah. Rumah besar ini terasa lengang, hanya ada beberapa orang asisten rumah tangga dan crew nya yang sudah siap membersihkan rumah. Medina menuju pintu utama. Ia memandang Dewa di sana, pria itu sudah berada di dekat pintu pagar. Dia menatapnya dari kejauhan. Ia menatap sambil mendekati pria itu. Ia tidak mungkin berkata cinta kepadanya lebih dulu. Ia hanya menunggu isyarat darinya, menunggu pertanda suatu saat pasti menjadi nyata. Walau itu hanya ada di dalam mimpinya.
***
Note : Liam & Dian - Judul "Kenangan"