Fero memutus sambungan telepon. Dia terkejut begitu menyadari kehadiran Sherly yang berdiri tak jauh darinya.
“Sherly? Sejak kapan kamu di situ? Kok diam saja? Sini duduk,” ucapnya memberondong seolah tak ada apa-apa.
Pria ini pandai sekali menetralisir keadaan. Padahal bisa saja Sherly mendengar semua percakapannya dengan seseorang di telepon tadi.
“Kamu bicara dengan siapa, Fero? Keluarga siapa yang akan kamu jebak?” tanya Sherly terang-terangan.
Akan tetapi bukan Fero namanya jika tidak bisa berkilah. Pria itu tersenyum lebar dan membenahi lengan bajunya dengan santai.
“Oh itu tadi asisten pribadi Papa. Ada klien Papa yang curang dengan memanipulasi saham, jadi terpaksa aku yang bergerak untuk menjebak mereka demi mendapat barang bukti,” jelas Fero.
Sherly menghela napas lega. Dia pikir ucapan Oma ada benarnya juga. Dia harus berhati-hati dengan siapa pun namun, mendengar penjelasan Fero, dia yakin pria ini sebenarnya baik.
“Em, aku pikir kamu akan melakukan hal licik,” sahut Sherly.
Wanita itu mendaratkan bobotnya di sofa. Rupanya Sumira juga sudah membuatkan minuman pada temannya ini.
“Ah, tidak mungkinlah. Kamu mengenalku dengan baik, Sher. Bahkan meskipun sudah puluhan tahun kita tidak bertemu, tapi kamu tetap sahabatku dari kecil,” terang Fero mengingatkan.
Sherly tersenyum simpul. Dia ingat Fero adalah anak yang sangat berambisi sejak kecil, pun kehadiran dia membuat Sherly merasa nyaman.
“Oh ya, ngomong-ngomong, kapan kamu mengurus perceraianmu ke pengadilan?” tanya dia.
“Secepatnya, aku tidak mau Mas Ardi menerorku terus menerus,” jawab Sherly.
“Lelaki b******k! Bodoh! Bisa-bisanya menyia-nyiakan wanita cantik dan baik hati sepertimu,” umpat Fero kesal.
Sherly menggeleng pelan. “Itu ‘kan menurutmu. Menurut Ardi, aku ini wanita mandul dan dekil. Wajar dia melirik wanita lain.”
“Huh, itu hanya alasan dia saja. Menarik atau tidak penampilan wanita itu tergantung lelakinya. Kalau mau cantik dan terawat, ya modalin dong. Kalau cuma nuntut mana ada hasilnya,” sanggah Fero disertai anggukan oleh Sherly.
“Sayangnya Mas Ardi tidak bisa berpikir sepertimu,” ujar Sherly kesal.
“Tidak apa-apa, kamu membuat keputusan yang tepat,” tukas Fero. “Lagipula, kamu masih muda dan cantik, banyak pria yang tertarik padamu, termasuk ak-”
“Maaf, Non Sherly.” Sumira muncul dengan membawa senampan bubur hangat.
Fero yang belum sempat menyelesaikan ucapannya pun terlihat geram. Sejak tadi pembantu ini selalu menggagalkan aksinya.
“Waktunya Oma makan, beliau ingin anda yang menyuapainya,” lanjut Sumira.
Sherly melirik Fero sekilas. Dia tidak enak seolah Bik Sum mengusirnya dengan halus namun, dengan cepat pria itu memberi anggukan.
“Tidak masalah, Oma mungkin rindu dan ingin menghabiskan waktu berdua denganmu. Aku akan pulang dulu, lain kali aku mampir lagi,” sela Fero dengan kecewa.
“Baiklah, terima kasih atas bantuannya hari ini, Fer,” ucap Sherly.
“No problem.” Fero melangkah pergi dan melambaikan tangannya.
Setelah punggungnya menghilang dibalik pintu, Sherly langsung meminta penjelasan pada Sumira.
“Kok aku ngerasa Bibi sengaja muncul dan ngusir temanku ya?” tanya dia lembut.
Bagaimanapun, Sumira-lah yang menemani dan merawat Sherly sejak dia diungsikan ke panti. Wanita paruh baya itu begitu telaten, sehingga Sherly sudah menganggapnya seperti ibunya sendiri. Tidak pernah dia meninggalkan Sherly sedikitpun.
“Bibi hanya menjalankan perintah Oma, Non. Maafkan Bibi.” Sumira menunduk. “Lagipula, saya punya perasaan tidak enak tentang teman Non tadi.”
Sherly menepuk pundak Sumira dengan pelan. “Tidak apa-apa, Bi. Aku akan tanya Oma sendiri. Dan perihal perasaan Bibi, jangan khawatir. Fero itu orang baik, percaya sama aku.”
Sumira hanya menghela napas panjang. Dia hanya tersenyum simpul menanggapi ucapan anak majikannya.
“Sini buburnya biar aku bawa ke Oma.” Sherly meraih nampak yang dibawa oleh Sumira dan melangkah kembali ke kamar sang nenek.
Sedangkan di luar, Fero mengemudikan mobilnya dengan pelan. Berbicara melalui sambungan telepon. Dia menyadari ada tatapan kecurigaan padanya.
“Halo, sepertinya aku harus mencari cara untuk mengenyahkan dulu pembantu itu, dia penghambat terbesar kita.”
Setelah mengatakannya, dia lekas memutus sambungan telepon. Sherly, wanita yang sangat dia cintai sejak dulu. Kini sudah ada di depan mata, tidak mungkin Fero melepasnya begitu saja.
***
“Ardi!” teriak Ema pagi-pagi buta.
“Ya, Bu. Ada apa sih pagi-pagi sudah berisik,” sungut Ardi kelimpungan. Dia baru saja bangun tidur.
“Mana Shasi? Suruh dia masak, Ibu lapar, nggak ada makanan sama sekali di meja.” Ema berkacak pinggang.
Ardi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana caranya dia menyuruh Shasi, sedangkan istri barunya itu tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah. Ah seandainya masih ada Mitha. Pasti dia tidak akan kerepotan seperti ini.
“I-iya sebentar, Bu,” jawab Ardi bingung.
Dia segera kembali ke kamar untuk memanggil Shasi namun, dia terkejut melihat istrinya sudah berpakaian rapi.
“Em, Sayang. Kamu nggak masak dulu? Itu kasihan Ibu kelaparan belum ada makanan,” bujuk Ardi lembut. Berbeda sekali saat dia menyuruh Mitha dengan intonasi yang tinggi.
“Apa? Masak, Mas? Kamu nggak salah? Aku nggak mau, suruh saja Ibu beli kalau dia lapar. Beres, ‘kan?” jawab Shasi sambil terus merias wajahnya.
“Tapi ‘kan memasak itu tugas istri, Sayang. Kamu sempatkanlah masak sebentar, Mas juga pengen banget ini ngerasain masakan kamu,” balas Ardi memohon.
“Ngapain cari yang ribet sih, Mas, kalau ada yang simple. Aku nggak mau bajuku kotor. Aku udah rapi, mau berangkat,” timpal Shasi kekeh.
“Ini baru jam enam loh, Sayang. Kantor, kan biasanya masuk jam tujuh, kamu masih ada waktu untuk beres-beres rumah. Mitha biasanya juga begitu, pagi-pagi semuanya sudah beres. Makanan sudah terhidang di meja makan.” Ardi masih terus mencoba merayu Shasi.
Sontak istri barunya itu menatapnya sinis. “Jangan samakan aku dengan mantan istrimu, dia itu spek babu, sedangkan aku spek majikan. Aku istrimu, bukan pembokat keluargamu.” Shasi memberi penekanan.
Tubuh Ardi seketika membeku mendengar penuturan Shasi. Dia memang terlalu cinta dan terbius dengan pesona istrinya. Kalau sudah begini bisa repot urusannya.
“Dah, aku mau berangkat, minggir!” seru Shasi melewati Ardi.
“Sayang, kamu belum sarapan loh, kenapa nggak bareng aku aja berangkatnya?” tanya Ardi. Bisa-bisa dia tidak diberi jatah kalau sampai Shasi ngambek.
“Aku sarapan di luar. Taksiku sudah menunggu di depan,” jawab dia ketus.
“Loh, kamu naik taksi? Kan mahal, bareng aku aja, kamu jangan boros dong, lebih baik menabung untuk biaya lahiran kamu,” sela Ardi tak terima.
“Terus kamu gunanya jadi suami apa, Mas? Enak aja bebanin biaya lahiran. Kamu-lah yang bayar. Uang istri itu milik istri, tapi uang suami boleh jadi milik istrinya,” jelas Shasi dengan tegas.
Ardi menggeleng tak percaya. Shasi yang dia kenal sangat lembut berubah 180 derajat, padahal dia tidak pernah meninggikan suaranya selama mereka pacaran.
“Sudah taksiku datang, kalau aku telat terus gajiku dipotong, kamu yang aku salahin,” lanjutnya sambil berlalu.
Ardi pun mengacak-acak rambutnya dengan kasar. Dia frustasi dengan sikap istri barunya. Baru dua hari menikah belangnya sudah terbuka.
“Mau kemana kamu pagi-pagi begini? Masak dulu!” seru Ema menghadang Shasi.
Ardi yang mendengar suara ibunya bergegas bangkit dan hendak melerai.
“Kerja-lah, Bu. Nggak lihat aku sudah rapi begini,” jawab Shasi sewot. Dia melangkah pergi meninggalkan Ema yang mematung dengan ekspresi kesal.
Ardi dan Ema hanya menatap kepergian Shasi dengan tatapan datar. Terlebih lagi, Shasi terlihat tanpa beban dan semaunya sendiri.
“Kamu lihat, Ardi, kelakuan istri barumu. Kalau bukan karena kamu menghamili dia lebih dulu, Ibu nggak mau nikahin kamu sama dia,” sungut Ema kesal.
“Ya mau gimana lagi, Bu. Shasi itu anak orang kaya, dia mana mau berkutat di dapur seperti Mitha,” jawab Ardi.
“Nah, bagus sekarang kamu baru ingat Mitha. Coba kamu dengerin Ibu kemarin, jangan ceraikan dia. Pasti dia masih di sini.” Ema terus berbicara tanpa jeda.
“Sudahlah, Bu. Tidak perlu membahas Mitha lagi. Percuma saja, dia tidak ada di sini,” sela Ardi.
Dia sendiri juga sebenarnya pusing. Baru juga ditinggal Mitha dua hari namun, kehidupannya sudah berantakan.
“Sekarang cepat cari dia sampai ketemu, kamu urungkan rencana cerai itu sebelum dia menggugatmu di pengadilan,” tambah Ema bersikeras.
“Ya sudahlah nanti Ardi hubungi dia. Ibu tenang saja, Ardi berangkat kerja dulu.” Ardi pun berlalu meninggalkan sang ibu untuk bersiap-siap.
“Apa mungkin Mitha masih mau kembali ke rumah ini setelah apa yang aku lakukan padanya,” gumam Ardi.
Bersambung ...
Nah baru nyesel kan si Ardi, dulu Mitha adaalah disia-siakan ..