Sesampainya di kantor, Ardi menyugar rambutnya yang masih klemis. Bagaimanapun penampilan yang utama baginya. Dia segera masuk ke ruangannya.
Ardi bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang properti. Dia didapuk menjadi manager keuangan. Hal itu membuatnya besar hati hingga lupa diri. Sehingga nafsu dunia telah menguasai pikirannya. Sampai dia berani menikahi Shasi karena percaya bisa menghidupi dua istri sekaligus.
Malang tak dapat dihindari. Rupanya Mitha lebih memilih bercerai dari pada dimadu. Di tengah lamunannya memikirkan bagaimana cara meminta Mitha kembali pulang. Tiba-tiba salah satu bawahan memberitahunya jika dia dipanggil oleh direktur namun, sebelum itu dia menyempatkan mengirim pesan pada Mitha.
Ardi: Mitha, pulanglah. Mas rindu, jangan dimasukkan hati perkataan Ibu, Mbak Ambar, dan juga Mas. Mas minta maaf, Sayang. Pulang ya? Mas tunggu.
Send. Setelah itu dia melangkah dengan santai ke ruangan direktur. Pasti dia akan dapat pesangon lagi, kalau tidak begitu kenaikan jabatan. Prestasinya lumayan gemilang.
Ardi mengetuk pintu pelan. Sesaat kemudian terdengar perintah dari atasannya agar dia masuk.
“Permisi, Pak.”
“Ya, silahkan masuk Pak Ardi,” jawab seorang pria berkaca mata sekitar usia 50 tahunan—Martin.
Dia menjabat sebagai direktur di perusahaan. Orangnya sangat humble dan baik hati. Bukan hanya itu, dia juga dekat dengan para karyawannya.
“Ada perlu apa ya, Pak Martin memanggil saya?” tanya Ardi setelah mendaratkan bobotnya.
“Jadi, begini Pak Ardi, sebelumnya apa Anda sudah menerima sp hingga dua kali?” tanya balik Pak Martin langsung to the point.
Jantung Ardi serasa terhenti beberapa detik sebelum dia kembali menghirup napas dalam-dalam. Bagaimana bos besar bisa tahu, padahal dia sudah menyuap bagian audit agar tutup mulut.
Memang dirinya sudah dua kali menerima surat peringatan atas kelalaian dan tanggung jawabnya yang semakin kendor namun, Ardi hanya menganggap itu hanya angin lalu. Mengingat keberlangsungan finansial perusahaan tergantung padanya.
“Pak Ardi!" seru pak Martin mengeraskan suara menyadarkan Ardi yang melamun.
“Eh, i-iya, Pak,” jawabnya tergagap. “Itu nganu-”
“Apa benar Anda sudah dua kali mendapat sp?” ulang pak Martin bertanya.
“Be-benar, Pak.” Ardi tertunduk lesu.
“Dan Anda mengakui beberapa kesalahan fatal yang anda lakukan hingga mengakibatkan perusahaan mengalami kerugian,” lanjut pak Martin kembali mencecar.
“Kerugian, Pak?” tanya Ardi dengan wajah bingung. Karena menurut dia perusahaan tidak pernah sampai pada titik minus.
“Anda tidak sadar, kesalahan yang Anda timbulkan, lama-lama bisa membuat perusahaan ini bangkrut. Lihat ini!” seru pak Martin dengan sorot tajam.
Baru kali ini Ardi melihat kemarahan terhambat jelas di wajahnya. Biasanya bos-nya ini murah senyum dan kerap memberi bonus.
Dengan ragu Ardi meraih map berisikan bukti-bukti penyelewengan dana yang dia lakukan selama ini. Bahkan dalam lembar itu tertulis detail kemana saja aliran dana perusahaan termasuk beberapa kali masuk ke kantong pribadinya dalam jumlah yang besar. Juga rekening dengan nama anonim.
“Pak, saya bisa jelaskan ini. Saya tidak mungkin melakukan hal seburuk ini, pasti ada yang salah,” jelas Ardi mencoba membela.
“Salah bagaimana? Bukti ini sangat kuat dan akurat, bahkan bisa menyeret Anda ke kantor polisi jika saya mau,” tegas pak Martin tak mau kalah.
Ardi menelan saliva-nya dengan susah payah. Keringat mengucur deras di keningnya. Mendengar kata polisi membuat nyalinya semakin menciut.
“Dan satu lagi, anda juga telah menyuap tim audit perusahaan yaitu Pak Wisnu.”
Netra Ardi membeliak mendengar nama partnernya disebut. Selama ini memang dia sering kongkalikong dengan Wisnu jika menyangkut urusan keuangan. Ardi melakukan itu bukan tanpa alasan. Demi memenuhi kemauan ibu dan kakaknya juga Shasi yang selalu haus akan belanja.
“Pak Wisnu sudah kami mutasi ke perusahaan cabang. Itu sebagai hukuman pada beliau agar tidak mengulangi kesalahan.” pak Martin bersidekap.
“Maafkan saya, Pak. Saya mengaku salah, tapi saya janji bakal bekerja lebih giat lagi demi memperbaiki kinerja saya,” jelas Ardi meyakinkan.
Pak Martin menggeleng cepat. “Tidak, Pak Ardi. Suatu kesalahan yang besar tidak bisa ditebus hanya dengan kata maaf. Terpaksa anda harus kami turunkan jabatannya menjadi karyawan biasa.”
“A-apa?” Ardi langsung terkejut.
“Kami rasa itu adalah sangsi yang pantas anda terima,” lanjut Pak Martin.
“Tapi ‘kan, Pak, itu adalah bawahan. Apa kata orang nanti jika saya tiba-tiba jadi karyawan biasa?” tanya Ardi memelas.
“Ck, sudah berbuat kesalahan, masih saja mementingkan gengsi,” sindir pak Martin mulai kesal.
“Lalu Anda mau diturunkan jabatannya jadi apa? Ob?” tanya pak Martin dengan nada mengejek.
“Ja-jangan, Pak. Baiklah saya mau kembali menjadi karyawan biasa,” tukas Ardi sedikit kesal.
“Memang Anda harus menerima. Karena pemilik perusahaan ini sudah berbaik hati tidak mau melaporkan Anda ke polisi, sudah bagus jadi karyawan dari pada dipecat,” tegas pak Martin penuh penekanan.
Ardi mengangkat kepalanya memandang bosnya dengan perasaan takut. “Maksud Bapak, pemilik perusahaan?”
“Iya, pemilik perusahaan ini. Saya sebagai pimpinan di sini hanya menjalankan saja. Kalau beliau sudah siap mengambil alih, maka perusahaan ini akan dipimpin olehnya. Bahkan beliau tahu Anda melakukan kecurangan ini sejak lama, hanya saja beliau masih berbaik hati menyembunyikannya. Tapi, kali ini Anda tidak bisa berkutik lagi, kinerja Anda akan diawasi penuh,” jelas pak Martin panjang lebar.
Ardi melongo mendengar penjelasan atasannya ini. Kalau bukan pak Martin yang memiliki perusahaan ini, lantas siapa? Selama ini dia lancar-lancar saja walaupun melakukan sedikit kecurangan. Mengapa sekarang tiba-tiba terbongkar? Dan bebarengan dengan Mitha yang pergi dari rumah.
Apa jangan-jangan semua ini ada sangkut pautnya dengan Mitha? Ah, tidak mungkin. Mana tahu perempuan udik itu tentang perusahaan. Apalagi dia cuma anak panti, apa kuasanya?
“Baik, silahkan Anda kembali ke ruangan. Saya sibuk, masih perlu menandatangani rencana kerja sama dengan PT lain,” ujar pak Martin.
“Baik, Pak. Terima kasih, sekali lagi saya mohon maaf,” jawab Ardi sambil melangkah gontai.
Wajahnya terlihat lesu. Dia menyapu pandangan ke sekeliling. Jabatannya sudah turun. Bagaimana jika dia ditertawakan teman-temanya, padahal selama ini selalu disegani. Saat tengah berpikir, tiba-tiba dia melihat wanita sangat cantik, dia mirip sekali dengan Mitha.
Ardi bergegas mengejarnya. Wanita itu memakai kaca mata hitam. Penampilannya sungguh elegan. Namun dia kembali menghentikan langkahnya.
“Mitha‘kan yatim piatu, mana mungkin dia ada di sini ,” gumamnya.
Akhirnya dia kembali ke ruangannya untuk segera mengemasi barang-barangnya. Melangkah dengan berat ke ruangannya yang baru.
Sedangkan di sisi lain. Seorang wanita berkaca mata hitam tersenyum puas. Dia bersembunyi dibalik ruang kosong. Tak dapat diungkapkan bagaimana dia melihat Ardi dengan wajah pias saat Martin mengungkap kecurangannya.
“Rasakan kamu, ini belum seberapa,” gumam wanita itu.
Bersambung...