Sherly sampai di pelataran rumahnya yang megah. Dia merasakan hawa-hawa kebebasan. Rumah yang selalu dia rindukan. Rumah yang selama ini dia sembunyikan dari keluarga suaminya.
Kini langkahnya menapaki rumah megah itu dengan senang hati. Walaupun pernikahan Ardi dan Shasi membuatnya kecewa, juga tersakiti namun, Sherly tidak akan terpuruk lebih lama.
“Nona, anda pulang. Oma sangat merindukan anda,” sapa seorang wanita paruh baya—Sumira.
“Bik Sum.” Sherly segera menghambur ke pelukan wanita yang sangat dirindukannya itu.
Dialah selama ini yang merawat dan menjaga Sherly saat kedua orang tuanya harus bersembunyi sementara waktu.
Terjadi hal mengerikan pada keluarganya saat dia masih berusia sepuluh tahun. Terpaksa Sherly dan pembantunya diungsikan ke panti asuhan sementara untuk keamanannya.
Karena itulah, Ardi tidak tahu jika Sherly memiliki keluarga yang utuh. Di saat Sherly memutuskan menikah dengan Ardi, Bik Sum tinggal sementara di sana hingga keadaan membaik.
Barulah dua bulan yang lalu dia mendapat kabar jika sang Oma yang selama ini tinggal di luar negeri telah kembali dan membeli rumah mewah di pusat kota Jakarta.
Namun, karena Sherly belum siap mengungkap identitas sesungguhnya, maka dia meminta Bik Sum untuk tinggal lebih dulu merawat Oma. Jadi, yang Ardi tahu, Bik Sum adalah keluarga satu-satunya.
“Oma sekarang di mana, Bik?” tanya Sherly.
“Ada di kamar atas, Nona. Beliau sedang istirahat.” Bik Sum tampak menelisik Fero yang masih berdiri di belakang Sherly.
“Oh kenalin ini teman Sherly, Bik. Namanya Fero,” jelas wanita itu.
Tampak tatapan Sumira sedikit berbeda. Wajahnya tak bersahabat namun, wanita paruh baya itu memaksakan untuk tersenyum.
“Duduk dulu, Fer. Aku buatin minum ya?” tawar Sherly.
“Nggak usah repot-repot, Sher. Kita ngobrol-ngobrol santai aja di sini,” jawab Fero sudah mendaratkan bobotnya di sofa empuk.
Membuat tatapan Sumira semakin tajam namun, pria itu tidak menyadarinya. Dia menepuk-nepuk ruang kosong di sampingnya memberi isyarat agar Sherly ikut duduk.
“Aku mau tengok Oma dulu, Fer. Kamu tunggu sini. Nanti aku turun lagi,” jawab Sherly.
“Boleh aku ikut ke atas lihat Oma kamu? Mungkin beliau masih ingat sama aku.” Fero menepuk dadanya sambil nyengir.
“Boleh-”
“Maaf, Nona. Oma sedang istirahat. Lebih baik jangan diganggu dulu. Mungkin kalau anda ingin melihatnya saja bisa.” Bik Sum langsung menimpali sebelum Sherly selesai bicara.
Wajah Fero langsung berubah masam. Dia menyadari ucapan Sumira secara tidak langsung mencegahnya untuk mengikuti Sherly.
“Saya permisi dulu, biar saya yang buatkan minum Den Fero,” tambah wanita paruh baya itu.
Sherly mengerti dibalik sanggahan Sumira pasti ada alasan kuat. Karena selama ini keluarganya penuh dengan rahasia. Dan dia tidak bisa jujur pada sembarang orang.
“Maaf ya, Fer. Kamu tunggu di sini dulu,” ucap Sherly tak enak hati.
“It's oke.” Fero mengangguk dan tersenyum lebar namun, dalam hatinya dia semakin penasaran dengan kehidupan Sherly.
Wanita itupun segera naik ke atas menuju ke kamar sang oma. Rasa rindunya sangat membuncah. Hingga dia berlari kecil dan langsung membuka pintu yang tidak terkunci.
“Oma!” pekik Sherly.
Wanita tua yang tidur di pembaringan mewah itu menoleh dengan senyum lebar. Binar wajahnya menunjukkan kebahagiaan.
“Cucu durhaka! Oma sudah dua bulan di sini, kamu baru datang, hah?” tanya Hindun—oma Sherly, dengan suara lantang.
Wanita itu segera menghambur ke pelukan sang nenek dan tenggelam dalam kehangatan rengkuhannya. Entah kapan terakhir kali dia merasakan kenyamanan seperti ini.
“Maafkan aku, Oma.” Sherly tiba-tiba saja tergugu. Dia terisak pelan saat tangan keriput Hindun membelainya.
“Sudah, cucuku sayang. Oma bercanda, kenapa kamu menangis seperti ini? Siapa yang berani menyakiti cucuku?” tanya Hindun melembutkan suaranya.
Sherly menggeleng keras. “Tidak, Oma. Harusnya aku lekas kemari begitu tahu Oma kembali.”
“Ah, tidak apa-apa. Kamu sedang menyembunyikan identitasmu dari suami dan keluargamu yang tidak tahu diri itu, ‘kan?” tanya Hindun seolah sudah mengerti kehidupan yang dijalani cucunya.
Sherly mengangkat kepalanya dan menatap sang nenek lekat. “Bagaimana Oma bisa tahu?” tanya dia.
Hindun tersenyum tulus. “Aku tahu segalanya tentangmu, Sayang. Tidak mungkin Oma tak peduli pada cucuku yang cantik ini.”
“Oma hanya menunggu waktu, aku biarkan kamu menjalani kehidupan yang kamu inginkan, tapi aku punya mata-mata jika saja suatu saat kamu menyerah. Nyatanya kamu datang dengan sendirinya. Oma sangat bersyukur, Sherly.” Hindun berkaca-kaca.
Selama ini dia menahan agar tak memberi pelajaran pada keluarga yang telah mempermainkan cucunya namun, mendengar berita Sherly akan segera pulang dari Sumira, dia sungguh bahagia.
“Tapi Oma kecewa, kenapa kamu tidak minta bantuan, Oma. Aku pasti akan langsung menjemputmu,” lanjutnya.
“Aku khawatir dengan kesehatan Oma. Lagi pula, aku ingat terakhir kali kata Bik Sum, musuh kita masih mengincar,” bisik Sherly memelankan suaranya.
Walaupun tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua dan seorang perawat yang khusus untuk merawat Hindun.
“Kamu benar, Sayang. Kita harus tetap berhati-hati ya? Maaf kalau karena ulah orang tuamu, kamu jadi merasakan akibatnya,” itu Hindun bersedih.
“Ah, aku sama sekali tidak keberatan, Oma. Kita ‘kan keluarga, sudah sepatutnya saling bantu. Lagi pula, ini juga demi keselamatan Mama dan Papa.” Sherly mengecup punggung tangan sang nenek.
Hindun tersenyum hangat. Walaupun sejak kecil hidup di panti asuhan tidak membuat Sherly membenci keluarganya. Justru sebaliknya, dia berhati lembut dan berjiwa besar.
“Oh ya, Oma lupa nanya. Kamu ke sini diantar siapa? Kata Bik Sum, kamu minta tolong ke temanmu, ya?” tanya Hindun lagi.
“Iya, Oma. Aku diantar Fero. Dia ada di bawah sekarang.” Sherly melihat ada perubahan di mimik wajah sang nenek.
“Fe-Fero? teman kamu waktu kecil itu?” tebak Hindun dengan suara berat.
“Betul, Oma. Memangnya kenapa? Wajah Oma langsung berubah saat mendengar nama dia. Sama seperti Bik Sum tadi.” Sherly meminta penjelasan.
Hindun menggeleng pelan. Bagaimana cara dia menjelaskan pada Sherly? Wanita tua itu menghela napas panjang.
“Berhati-hatilah berteman dengan siapa pun, Sayang. Oma tidak mau cucu kesayanganku terluka,” pinta Hindun.
“Tapi, ‘kan, Oma, Fero itu temanku sejak kecil. Dia juga selalu baik padaku. Tidak mungkin dia berbahaya,” sanggah Sherly tak percaya.
“Sejak kapan kamu bertemu dengan dia? Bukankah kamu sudah terpisah dengannya sejak tinggal di panti?” tanya Hindun memberondong.
“Memang kami sudah terpisah lama sejak kejadian itu, Oma. Tapi, tiba-tiba saja takdir kembali mempertemukan kami-”
Sherly mengingat hari di mana mereka bertemu.
“Aku bertemu dengan dia saat menjadi peserta dalam workshop kewirausahaan, dia adalah pemateri yang hebat, Oma,” sanggahnya.
Hindun kembali tersenyum tipis. “Walaupun begitu, Oma tetap minta kamu harus hati-hati. Terkadang kita tidak sadar jika sedang dimanfaatkan. Aku sudah tua, aku takut tidak bisa memenuhi janjiku pada ibumu, Sayang.”
“Oma ngomong apa sih? Oma pasti sehat, pasti sembuh,” jawab Sherly meyakinkan. “Jangan khawatir padaku, aku bisa menjaga diri. Aku pasti waspada terhadap siapa pun.”
Wanita tua itu kembali mengangguk. “Iya, Oma percaya padamu.”
“Yasudah Oma istirahat dulu ya, aku mau ke bawah nemenin Fero,” pungkas Sherly.
Lagi-lagi Hindun hanya mengangguk. Sherly memang penurut, tetapi dia juga mewarisi sikap keras kelapa ayahnya yang mana jika meyakini sesuatu tidak bisa dibantah.
Saat Sherly sudah pergi dari hadapannya. Dia segera meminta pada Sumira agar berjaga-jaga. Mengawasi gerak gerik pria bernama Fero itu.
Sherly pun segera menemui Fero di bawah namun, dia terkejut mendapati pria memunggunginya. Dia sedang bicara dengan seseorang melalui ponselnya.
“Baik, Bapa. Secepatnya aku akan menjebak dia dan keluarganya. Bersabarlah, sedikit lagi aku berhasil,” ujarnya.
Jantung Sherly langsung berdentum keras mendengarnya. Benarkah dia harus berhati-hati pada teman masa kecilnya ini?
Bersambung ....