Sepulang dari bertemu Elisa. Sherly menyempatkan diri mampir ke pusat perbelanjaan. Dia butuh membeli beberapa bahan dan stok makanan ringan untuk dia simpan kulkas.
Bertemu dan berbincang lama dengan Elisa benar-benar obat yang ampuh untuknya. Sebenarnya dia juga ingin ikut Sherly berbelanja sekaligus mengobati rasa rindu pada Ibu kota namun, sang suami memintanya untuk ditemani fitnes. Akhirnya dia berjanji akan menemani Sherly lain kali.
Wanita itu segera menuju ke kasir sebelum antrian penuh. Rencananya setelah ini dia akan menemui pengacaranya untuk persiapan sidang perceraian.
“Mitha! Ini benar kamu.”
Suara yang sangat Sherly kenal dan membuatnya malas menanggapi. Siapa lagi kalau bukan iparnya yang julid, Ambar. Kurang beruntung nasibnya hari ini, tadi pagi ketemu sama Ardi, sekarang malah kakaknya Ardi.
Sherly hanya mengangguk malas. “Berapa semuanya, Mbak?” tanya dia pada kasir.
“Eh sombong kamu sekarang ya! Dapat duit dari mana bisa belanja sebanyak itu?” tanya Ambar.
“Bukan urusan, Mbak,” jawab Sherly ketus.
“Oh sudah berani kamu sekarang ya?” tanya Ambar. Tangannya terulur hendak menarik rambut Sherly namun tertahan, Sherly lebih dulu menangkapnya.
“Jangan berani-berani menyentuhku. Aku bukan lagi Mitha!” hardik Sherly sambil memelintir tangan kakak iparnya.
“Aduh sakit, lepas!” pekik Ambar.
Percekcokan mereka menarik perhatian pelanggan di sana. Mereka saling berbisik melihat kedua wanita itu.
Sherly pun melepas cengkeramannya dan sedikit mendorong Ambar hingga menjauh.
“Awas kamu ya, dasar mandul,” balas Ambar sengit. Tak terima diperlakukan buruk oleh adik iparnya.
“Hati-hati loh, Mbak. Ucapan buruk bisa kembali ke diri sendiri,” sindir Sherly.
“Kamu nyumpahin aku, hah?” tantang Ambar.
“Nggak usah aku sumpahin juga pasti Mbak kena karmanya. Perbuatan jahat pasti ada balasannya,” cetus Sherly dengan tatapan tajam.
“Sembarangan! Ngomong aja kalau kamu iri ‘kan sama Shasi? Kasihan deh, Ardi lebih milih Shasi dari pada kamu.” Ambar masih menantang perkara.
Sherly tertawa mendengar hal itu. Entah apa salahnya, sejak dulu Ambar tidak pernah menyukainya dan selalu cari gara-gara.
“Ngapain iri, Mbak. Aku lebih bersyukur lepas dari pria semena-mena macam Mas Ardi. Lagian ‘kan aku sendiri yang minta ditalak. Sampah memang seharusnya dibuang ke tempatnya,” balas Sherly dengan santai.
Ambar merasakan dadanya bergemuruh mendapatkan balasan menohok. Dia pikir Mitha cinta mati sama adiknya.
“Kurang ajar kamu ya.” Ambar maju selangkah hendak menampar Sherly namun segera dilerai oleh petugas.
“Maaf, Mbak. Jangan buat keributan di sini.” seorang pria berbaju rapi tengah menghampiri mereka.
“Dia duluan yang mulai, Mas,” sela Ambar membela diri.
“Ih, semua orang juga tahu kali kalau situ duluan yang nyamperin Mbak cantik ini dan mancing-mancing,” seloroh salah satu ibu-ibu yang memakai konde.
Sherly melempar senyum ke arah ibu itu dan menangkupkan tangannya ke d**a. Dia memang sangat cantik hari ini. Ambar tak ada apa-apanya dibanding Sherly. Dia hanya menang make up tebal. Hal itu membuatnya semakin kesal.
Dari mana dia bisa mendapat uang sebanyak itu sehingga bisa make over dirinya. Bahkan penampilannya sangat rapi dan berkelas. Berbeda dengan Mitha yang buluk dan dekil. Pikir Ambar.
Sejurus kemudian terdengar teriakan “huu” serentak dari pengunjung yang antri untuk membayar, karena perdebatan yang dimulai Ambar membuat mereka menunggu.
“Awas kamu, baru segini aja sudah sombong,” gerutu Ambar yang masih bisa didengar oleh Sherly.
“Berapa, Mbak, semuanya?” tanya Sherly tak ingin berlama-lama.
Sang kasir menyebutkan total harga yang harus dibayar. Sherly membuka dompetnya tepat di depan Ambar. Menyerahkan uang merah berlembar-lembar dengan santai.
Ambar melongo melihat dompet tebal yang dipegang oleh Sherly. Dia tak percaya adik iparnya mendapat banyak uang dalam waktu yang singkat.
“Dasar murahan, kamu pasti jual diri ‘kan karena sakit hati setelah dicampakkan Ardi?” tebak Ambar langsung.
“Hati-hati kalau ngomong, Mbak. Kalau tidak terbukti Mbak bisa dijerat undang-undang, ini namanya pencemaran nama baik lo,” balas Sherly masih santai. Wajah Ambar seketika merah padam.
Sherly kembali mengulitinya. “Oh ya, Mbak. Swalayan sebesar ini pasti ada CCTV, kan?” tanya dia pada kasir.
“Ada, Mbak, setiap sudut terpasang CCTV,” jawab kasir itu.
“Saya boleh minta rekamannya ya, Mbak. Mau melaporkan orang ini atas tuduhan pencemaran nama baik,” lanjut Sherly sembari menunjuk Ambar.
Dilihatnya wajah Ambar bertambah emosi. Tapi dia tidak bisa membantah. Diam tak berkutik. Tentu saja Sherly tak benar-benar serius dengan ucapannya. Dia hanya menggertak.
“Boleh, silahkan. Terima kasih, ini bill-nya,” jawab kasir itu ramah sambil menyerahkan belanjaan Sherly satu kantung penuh.
Sherly menatap lekat Kakak iparnya yang masih memperhatikannya. “Kepo bener sama kehidupan orang, Mbak. Saya aja udah nggak peduli lo sama kehidupan situ. Dah ah, saya mau ambil rekaman CCTV dulu sebagai barang bukti.”
Sherly melangkah menjauh setelah mengatakan hal itu. Sedangkan Ambar hanya merasakan hawa panas menjalar di tubuhnya. Kesal bercampur malu.
***
“Bu!” teriak Ardi saat dia sudah pulang.
“Ada apa sih teriak-teriak begitu,” balas Ema yang baru saja keluar dari kamarnya.
“Ini kenapa rumah kok kotor begini?” tanya Ardi kesal.
Pulang ke rumah bukannya makanan tersedia di meja. Ardi mendapati meja makan kosong melompong. Dan kondisi rumah berantakan. Membuat pikirannya semakin semrawut.
“Memangnya kamu pikir kenapa? Ya nggak ada yang beresinlah, kamu lupa di kulkas juga tidak ada bahan untuk dimasak?” timpal Ema emosi.
“Ya Ibu yang bersihinlah, kalau nggak ada bahan masakan ya belanja ke pasar,” sungut Ardi kesal. Perutnya sudah keroncongan sejak pagi.
“Kamu berani sekarang ya nyuruh-nyuruh Ibu? Kamu pikir ibumu ini pembantu? Bersihin sendiri!” hardik Ema. “Kalau kamu nggak sanggup, suruh istrimu yang manja itu, dan ingat ya Ardi, ini sudah tanggal tua, uang Ibu habis. Kasih Ibu uang kalau mau dimasakin,” ketusnya.
“Aku capek, Bu, habis kerja. Kok malah disuruh bersihin rumah sih, lagipula Ibu ‘kan nggak ngapa-ngapain di rumah.” Ardi memelankan suaranya. “Terus Ardi ini mau makan apa, Bu?”
“Makanya cepet cari pembantu, jangan bohongi ibumu, dasar durhaka! Kalau lapar beli aja, sekalian beliin Ibu makanan, tega kamu ibumu ini kelaparan,” sungut Ema.
“Nggak bisa, Bu. Kita harus hemat mulai sekarang, karena Ardi baru saja turun jabatan, aku ketahuan menyelewengkan dana perusahaan,” keluh Ardi dengan lemas.
“Apa!” pekik Ema tak percaya. “Terus gimana nasib Ibu, Di. Ibu nggak mau ya jatah bulanan Ibu dikurangi, jangan itung-itungan kamu sama Ibu. Ingat, dulu Ibu ngurusin kamu sama Mbakmu habis biaya banyak!” serunya.
Ardi mengacak-acak rambutnya. Merasa frustasi kalau sang ibu kembali mengungkit-ungkit jasanya.
“Udah, Bu, ya. Jangan ngomel terus. Ardi pusing. Nanti deh Ardi pikirin gimana caranya biar keuangan Ardi tetap stabil,” jawabnya.
“Huh, terus sekarang bagaimana? Ibu lapar nih,” keluh Ema memintir perutnya.
“Ngutang dulu aja, Bu, ke Yu Wati, besok Ardi bayar, atau pinjam uang Mbak Ambar dulu,” balas Ardi.
Ema terdiam sejenak. Apa kata orang kalau dia berhutang. Selama ini dia tidak pernah terlihat kesusahan.
“Nanti Ardi ngomong ke Shasi, biar dia yang bersih-bersih. Ibu yang masak, gitu ‘kan enak saling membantu,” rayu pria itu pada ibunya.
“Ck, terserah.” Ema melenggang pergi dengan kesal. Padahal selama ini dia tahunya tinggal beres. Sekarang baru terasa rumahnya berantakan tak ada yang mengurus.
Dia berangkat menuju warung Yu Wati dan mendapati beberapa ibu-ibu yang sedang menggosipkan Mitha, menantunya.
“Tahu nggak sih, Bu. Itu si Mitha, pisah sama Ardi malah kelihatan cuantik, glowing loh, katanya malah semakin bahagia,” cetus salah satu dari mereka.
Ema terhenyak mendengar penuturan tetangganya. “Tidak mungkin!” serunya.
Bersambung…