Bab 11. Bertemu Mas Bisma

1173 Kata
“Kenapa? Kok kamu kaget begitu?” tanya Elisa terkekeh melihat ekspresi Sherly berubah. “Kak Bisma yang gendut dan cupu itu, ‘kan?” tanya Sherly tak percaya. Apa iya Bisma yang dia temui dua kali kemarin adalah kakaknya Elisa. “Itu ‘kan dulu, sayang. Sekarang dia sudah gagah, ganteng lagi,” puji Elisa. Memang dulu Bisma adalah si kutu buku yang mana setiap harinya tenggelam dengan pengetahuan dari buku-buku science dan hukum. Dia sangat tertarik dengan dua hal itu. “Pantesan mataku kok berkedut terus, rupanya ada yang ghibahin aku.” Sontak Elisa dan Sherly menoleh ke sumber suara yang ada di samping mereka. Pria itu mengenakan celana jins sobek-sobek dipadukan dengan sweater lengan panjang. Walaupun begitu tidak menutupi jika badannya benar-benar berisi. “Mas Bisma!” seru Elisa berdiri dan menggandeng lengan kakaknya, kamudian mendudukkannya di samping Sherly. “Jadi, kamu sudah ingat sekarang denganku, Sherly?” tanya Bisma. Wajah Sherly tampak kikuk. Bagaimana bisa dia tidak mengenali Kakak sahabatnya. Padahal dulu mereka bertiga kerap bermain bersama saat masih kecil. Orang tua Sherly dan Elisa bersahabat, karena itulah anak-anaknya juga dekat. “I-iya, Mas. Maafin Sherly,” jawabnya sambil menahan malu. “Habisnya wajah Mas Bisma jauh berbeda dengan dulu.” “Oh jadi maksud kamu aku dulu jelek gendut, begitu?” tanya Bisma dengan wajah garang. “Eh, enggak kok.” Sherly salah tingkah. “Apa sih, Mas. Jutek amat sama cewek. Pantesan nggak dapat-dapat jodoh. Belum kenalan, cewek-cewek pada lari lihat elu,” sela Elisa menengahi. Elisa tahu sejak dulu sang Kakak selalu usil terhadap Sherly. Hingga pernah Bisma mengerjainya sampai menangis. Mendengar itu, Bisma hanya cuek dan tidak berkomentar. Dia memandang Sherly lekat-lekat sampai wanita itu merasa risih. Dia kelihatan jauh lebih cantik dan segar dari pada saat masih menjadi istri Ardi. “Nah begini dong terawat, pantas saja suamimu selingkuh kalau kamu tidak pandai merawat diri, Sher,” celetuk Bisma tiba-tiba. Wajah Sherly mendadak merah padam. Cara bicara Bisma tidak berubah. Selalu ceplas ceplos dan tidak memikirkan perasaan orang lain. Dia tidak masalah jika Elisa yang bicara seperti itu. “Hush, Mas Bisma kalau ngomong nggak ada filternya. Jangan asal bicara dong! Jaga perasaan Sherly. Dia masih bersedih.” Elisa lagi-lagi menghardiknya. “Nggak apa-apa, El. Wajar kok, karena Mas Bisma kemarin mungkin lihat aku lebih mirip inem sih waktu di rumah Mas Ardi,” jawab Sherly tertawa sumbang. “Nah, kan. Kamu denger sendiri, El. Kamu nggak lihat sih penampilan temanmu ini kemarin,” seloroh Bisma tanpa rasa bersalah. Elisa hanya memijit pelipisnya. Percuma saja memberi tahu manusia es macam kakaknya ini. Dia tidak ada empatinya kalau sama perempuan. Pertemuannya dengan Sherly justru membuatnya tak enak hati. “Udah nggak apa-apa, El. Santai aja,” balas Sherly menetralkan rasa kesal. “Lagian Mas Bisma ngapain sih di sini?” tanya Elisa. Tiba-tiba saja sang kakak muncul tanpa diundang. “Aku mau ada meeting sama klien. Nggak sengaja lihat kalian, makanya aku samperin ke sini, eh ternyata kalian gosipin aku,” jelas Bisma dengan santainya. “Ih, ge’er, siapa juga yang ngomongin situ. Cuma nyebut nama doang kok,” balas Elisa sewot. “Udah udah, jangan berantem. Mulai deh kayak Tom and Jerry,” timpal Sherly. Walaupun sikap Bisma memang menyebalkan namun dia adalah kakak yang baik. Dia selalu menjaga Elisa dan Sherly dari anak-anak nakal yang dulu sering merecoki mereka. “Jadi, apa rencana kamu selanjutnya, Sher? Kamu sudah tidak tinggal di rumah Ardi lagi sekarang?” tanya Bisma menelisik. “Em, itu-” Sherly masih mempertimbangkan untuk tidak memberitahu namun, karena kata Fero, Bisma adalah orang yang berbahaya. Tetapi kalau dipikir-pikir mana mungkin Bisma punya niat jahat padanya, karena dia adalah teman baik adiknya. “Sebenarnya Mas Ardi tidak tahu siapa aku sebenarnya, yang dia tahu aku cuma anak panti asuhan yang bernama Mitha,” jelas Sherly. “Oh, karena itu kamu menghindar waktu kupanggil Sherly?” tanya Bisma lagi. Mendengar Bisma berbicara normal seperti ini, membuat Sherly nyaman. Karena dia biasanya bicara dengan nada yang pedas. “Iya.” Sherly mengangguk. “Aku hanya ingin tahu sampai sejauh mana Mas Ardi mencintaiku, ternyata dugaanku aku salah. Dia berkhianat dan lebih memilih menikahi selingkuhannya.” Bisma menghela napas panjang. Menyayangkan hal ini terjadi pada Sherly. Dia mengepalkan tangannya erat. Sejak awal Bisma sudah curiga dengan sikap Ardi yang terlampau kasar pada istrinya. “Aku sudah menduganya sejak awal.” Bisma kembali bersuara. “Kamu temannya dia ‘kan, Mas?” tanya Sherly. “Aku mohon jangan katakan apa pun padanya.” “Ck, kamu pikir aku pria ember!” sungut Bisma. Sherly tertawa pelan. Sejak dulu sikapnya tidak pernah berubah. Tapi dia tetaplah Bisma yang mengayomi. “Aku ketemu Ardi juga baru beberapa kali. Itupun karena dikenalkan teman. Jadi, kami tidak dekat. Aku diundang ke rumahnya, hanya untuk merayakan proyek besar yang kita menangkan,” jelas Bisma. “Proyek apa, Mas?” tanya Sherly. “Ardi nggak cerita ya sama kamu? Proyek kerja sama dengan perusahaan luar supaya mereka mau memasok bahan-bahan kualitas premium,” terang Bisma lagi. “Tapi tidak ada proposal masuk ke perusahaan seperti yang Mas Bisma katakan.” Sherly mengernyit. “Ah, aku mendapat satu lagi bukti kuat untuk menjerat dia kalau macam-macam padaku.” Wanita itu tersenyum lebar seperti tengah mendapat rezeki nomplok. Sampai lupa jika sang sahabat Elisa sejak tadi dikacangin. “Ehm, kok aku ngerasa jadi nyamuk ya di sini,” sela dia. Sherly tertawa lepas. “I am sorry, Honey.” “Iya deh nggak apa-apa, yang penting es kutub ini bisa mencair,” balas Elisa sambil melirik kakaknya. “Enak aja klo ngomong,” timpal Bisma sambil menoyor jidat sang adik. “Mas Bisma bisa ‘kan bantu aku, aku butuh bukti dokumen kerja sama itu untuk menjerat Mas Ardi. Dia pasti memakai uangnya untuk hura-hura,” pinta Sherly. Bisma tampak berpikir. “Em, bisa sih. Tapi nggak gratis ya. Udah dulu, klienku datang.” Setelah mengatakan hal itu dia nyelonong pergi tanpa berpamitan. Membuat Sherly dan Elisa geleng-geleng kepala. “Huh, dasar manusia jahiliyah,” sungut Elisa. “Maaf ya, Sher. Tapi aku yakin kok Mas Bisma mau bantuin kamu.” Sherly mengangguk. “Iya, nggak apa-apa, El. Pasti Mas Bisma juga sibuk, kan?” “Saking sibuknya sampai nggak nikah-nikah. Sampai Papa sama Mama curiga, jangan-jangan dia nggak normal.” Elisa berspekulasi. “Hus, ngawur kamu,” timpal Sherly. “Ya habisnya gimana nggak curiga. Cewek yang ngejar-ngejar dia banyak, tapi nggak ada satupun yang dilirik atau dikenalin ke kita. Apa coba itu namanya? Sampai dikatain perjaka tua juga nggak ngaruh ke dia,” beber Elisa. Elisa memang sudah menikah dua tahun yang lalu. Dia terpaksa melangkahi kakaknya karena sudah dilamar kekasihnya. Namun pernikahannya sangat bahagia, berbeda dengan Sherly. “Terus alasannya apa kok belum mau nikah sampai sekarang?” tanya Sherly ingin tahu. “Yah, katanya sih dia mau mastiin perempuan yang dia suka bahagia dulu, baru setelah itu mau nikah. Alasan klasik, kan.” Elisa menghabiskan minumannya. “Perempuan yang dia suka? Siapa ya?” batin Sherly tiba-tiba penasaran. Bersambung….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN