Bab 13. Keluarga Ardi Syok

1293 Kata
Kumpulan para ibu-ibu itupun refleks menoleh ke sumber suara. Di sana Ema sudah berkacak pinggang. Melangkahkan kakinya dengan tergesa. Dan membaur dengan para tetangganya. “Tidak mungkin Mitha berubah begitu cepat, saya tahu persis dia bagaimana. Dia itu cinta mati sama anak saya, lihat aja, pasti nanti akhirnya dia kembali ke sini, ngemis-ngemis minta balikan,” jelas Ema dengan jumawa. “Ah, yang benar? Tadi saya lihat kok Mbak Mitha ke mall jalan-jalan dengan tampilan lebih modis, cantik lagi, saya sampai pangling,” tutur Astuti. “Halah, paling kamu salah lihat, Tuti,” sangkal Ema lagi. “Mana mungkin dia punya duit buat ke mall. Apalagi dia cuma anak panti, miskin lagi. Kalau bukan karena anak saya, mana ada yang mau nikahin dia.” “Eh, Bu Ema. Jangan suka ngeremehin orang, terkadang kita tidak tahu lo, yang kita remehin justru lebih berada dibanding kita,” sela Yu Wati, pemilik warung. “Em, nggak percaya ya sudah. Wong yang tahu luar dalamnya Mitha itu saya, Bu Ibu. Jangankan untuk ke mall, buat beli baju aja dia musti minta Ardi dulu,” sanggah Ema lagi. “Oh pantesan ya Mbak Mitha lebih milih pergi dan minta talak dari pada bertahan sama Mas Ardi. Nggak ada faedahnya sih emang, apalagi mertuanya modelan Bu Ema gini yang suka jelek-jelekin menantunya,” ujar bu Tuti memelankan suaranya. “Eh, Bu Tuti. Jangan sembarangan ngomong ya situ. Kalau nggak tahu apa-apa, mending diem deh. Situ nggak tahu aja kelakuan si Mitha kalau di rumah. Kurang baik apa saya mau menampung menantu yang tidak tahu diri macam dia,” sungut Ema tak terima. Wati yang mendengar hal itu sampai geleng-geleng kepala. Padahal sudah jelas kalau yang diucapkan oleh Ema itu adalah dusta. Dia hanya menahan diri untuk tidak berkomentar terlalu jauh. “Halah, Bu Ema. Semua warga sini juga sudah tahu kali gimana tabiat asli situ. Apalagi suaranya situ kenceng banget kek toa masjid. Pasti semua juga sudah dengarlah kalau situ bentak-bentak Mitha,” sanggah Tuti. “Itu karena kerjaan dia nggak becus, Tuti. Makanya saya marah-marah. Gimana mau jadi istri idaman kalau penampilan aja buluk, nggak diurusin,” elak Ema tidak mau disalahkan. “Aduh, sudah-sudah, Bu Ema, Bu Tuti. Ini kok jadi ribut di warung saya sih,” lerai yu Wati. “Kalau nggak niat belanja, mending pulang aja gih.” Para ibu-ibu pun pada bubar dengan membawa belanjaan masing-masing. “Ya sudah saya balik dulu ya, Yu Wati. Besok kita lanjut lagi gosipnya,” ujar Tuti dengan pandangan mengejek ke arah Ema. Wanita itu hanya mencebik kesal melihat kelakuan tetangganya itu. Tuti memang tergolong keluarga berada, tetapi dia suka membantu orang yang membutuhkan. “Eh, saya mau belanja, Yu Wati. Jangan main usir aja,” ucap Ema. Beruntung suasana warung sudah sepi, jadi dia leluasa untuk memilih-milih. Dan untung semua ibu-ibu sudah kembali ke rumah masing-masing. Kalau dia ketahuan ngutang pasti diolok-olok. Tangan Wati gesit membungkus bahan makanan yang diminta oleh Ema. Sejurus kemudian semua sudah masuk dalam kantung plastik. Wati menghitung total belanjaannya. “Ini, Bu. Semuanya total 200 ribu,” ujarnya. “Hah,mahal amat, Yu. Apa nggak salah hitung?” tanya Ema. “Salah dari mananya? Ya emang semua harga naik, Bu. Tuh lihat belanjaannya banyak banget,” jawab Wati kesal. “Em, ya sudah saya ngutang dulu deh, nanti kalau anak saya gajian langsung bayar. Tenang aja, Ardi itu banyak duit kok, apalagi Ambar juga mau buka usaha katanya,” balas Ema malah pamer. “Ngutang? Saya nggak salah denger, Bu. Mending jual aja itu emas-emasan.” Wati melihat banyak gelang emas yang melingkar di tangan Ema, belum lagi kalungnya. “Kalau bisa flexing, ngapain pakai hutang segala.” “Aduh Yu Wati nggak usah ribet deh, lagian ‘kan saya nggak pernah hutang. Baru kali ini, kenapa musti dipermasalahin?” tanya Ema sewot. “Mitha aja sering ngutang di sini dibolehin.” Wati seketika mendelik. “Mitha tidak pernah ngutang, Bu Ema. Berapa pun belanjaannya selalu dibayar cash,” bela wanita itu. Ema seketika terdiam. “Ah, jangan bohong. Dia selalu belanja banyak kok, padahal Ardi jarang memberinya uang. Terus dari mana dia dapat duit buat belanja?” “Makanya Bu Ema jangan suka ngeremih orang. Siapa tahu dia punya usaha sendiri yang Ibu tidak tahu, atau punya banyak tabungan,” seloroh Wati gemas. Ema mengernyit. Setahu dia memang Mitha sering memainkan ponselnya di waktu luang. Tapi dia tidak tahu apa saja yang dilakukan menantunya itu. “Ah, sudahlah, yang penting saya ngutang dulu. Lusa pasti saya bayar, Yu.” Setelah mengatakan hal itu Ema bergegas pulang. Wati hanya menggeleng heran melihat kelakuan tetangganya. Ema setengah berlari. Dia harus memberi tahu Ardi. Pikirannya menerka-nerka, apa benar Mitha punya banyak tabungan? Kalau sampai iya, jangan sampai menantunya itu lepas dari anaknya. “Ardi, sini kamu,” panggil Ema. “Apalagi sih, Bu? Sudah belanjanya? Masak dulu Ardi lapar banget,” pintanya. “Udah masaknya nanti aja, ada yang lebih penting dari masak,” balas Ema tak sabar. Bebarengan dengan itu, Ambar pulang dengan dengan wajah ditekuk. Tanpa salam dia langsung nyelonong masuk dan duduk di samping ibunya namun, Ema mengabaikannya begitu saja. “Eh, Di. Apa bener, si Mitha itu punya usaha sendiri? kamu sering kasih duit ke dia?” tanya Ema. “Setahu Ardi sih nggak ada, Bu. Ardi juga jarang banget kok kasih duit.” Pria itu mencoba mengingat-ingat. “Kalau tabungan?” Ema bertanya dengan antusias. “Nah kalau itu Ardi kurang tahu, Bu. Selama ini ‘kan aku kasih uang seminggu sekali, itupun sedikit. Mana mungkin dia punya tabungan,” balas Ardi. “Duh, kamu ini jadi suami mbok ya yang cerdas dikit,” sungut Ema. “Emangnya kenapa sih, Bu?” tanya Ardi penasaran. Sang ibu tiba-tiba saja membicarakan Mitha. “Tadi ‘kan Ibu belanja di warung Yu Wati, masak kata Bu Tuti, si Mitha sekarang makin cantik dan glowing. Dia jalan-jalan ke mall loh, Di.” Ema menggeleng tak percaya. “Eh kok sama, Bu. Tadi aku juga ketemu sama dia di swalayan. Kesel deh, aku dipermalukan di depan banyak orang,” sela Ambar ikut nimbrung. “Anehnya lagi, dia bayar semua belanjaan dengan uang cash, dompetnya tebal, penampilannya udah kayak bos aja.” “Yang bener kamu, Mbar? Apa kamu nggak salah lihat?” tanya Ema. “Suer, Bu. Aku nggak mungkin salah, wong kita berhadapan. Malah dia balik nyerang aku waktu mau kutampar wajahnya.” Kali ini Ardi yang terperanjat mendengar cerita Ambar. “Kalian nggak percaya ‘kan? aku sendiri juga bingung kenapa dia bisa berubah secepat itu.” “Loh, emangnya kamu ketemu dia juga, Di?” tanya Ambar. “Iya, Mbak. Dia tiba-tiba aja ada di perusahaan, awalnya aku nggak ngenalin karena penampilannya jauh berbeda. Tapi pas aku ikutin, ternyata bener itu Mitha. Malah dia naik mobil sport dan nyetir sendiri,” terang Ardi dengan ekspresi penuh penyesalan. “Apa!” pekik Ema dan Ambar bebarengan. “Di, ini pasti ada sesuatu hal yang tidak kita tahu, kamu harus bisa bujuk dia kembali ke rumah ini. Bisa jadi, Mitha punya harta yang disembunyikan,” pinta Ema. “Ibu bener, Di. Sayang ‘kan kalau kita tidak bisa ikut menikmati, nanti Mbak bakal baik-baikin dia deh,” tambah Ambar. Ardi menggeleng lemah. “Aku nggak yakin, Bu, Mbak, kalau Mitha mau diajak kembali ke sini.” “Loh, kenapa? Bukannya dia itu cinta mati sama kamu, bujuklah baik-baik. Ibu yakin Mitha nggak akan mudah ngelupain kamu,” timpal Ema. “Kata siapa, Bu? Dia malah sudah memasukkan berkas ke pengadilan agama. Dia bilang ingin bercerai dariku, dan menggugat lebih dulu jika aku mempersulit dia.” Ardi tertunduk lemas. “Ya ampun, Ardi!” pekik Ema dan Ambar bebarengan. Keduanya langsung lemas seketika. Bersambung... Gimana? Nyesel kan sekarang sudah ngeremehin Mitha alias Sherly.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN