Bab 9. Ini Kamu, Mitha?

1208 Kata
Sherly terkekeh melihat ekspresi pria yang sebentar lagi menjadi mantan suami itu. Dia baru saja memasukkan berkas perceraian ke pengadilan agama. Dia berharap tidak butuh waktu lama untuk mendapat panggilan. Semalam sang Oma sudah mewanti-wanti untuk mulai belajar seluk beluk perusahaan. Sherly sudah tahu jika selama ini Ardi bekerja di perusahaan milik keluarganya bahkan dia bisa sampai naik jabatan juga berkat Sherly. Kecurangan yang dilakukan Ardi berkali-kali, bukan karena Sherly tidak tahu. Dia memilih diam dan melihat sejauh mana pria itu menguasai lapangan. Dan kali ini sikapnya sudah keterlaluan, bukan hanya menggasak uang perusahaan dalam jumlah banyak tapi juga menghamili wanita lain sebelum akad berlangsung. “Nona Sherly, selamat datang. Bu Hindun sudah memberitahu kami, bahwa secepatnya kepemilikan perusahaan akan dialihkan pada Anda,” ujar Pak Haikal—tangan kanan sang Oma. “Terima kasih, Pak Haikal. Saya akan belajar terlebih dahulu sebelum benar-benar memimpin, saya masih butuh waktu. Saya sangat menghargai kerja keras Anda selama ini,” balas Sherly. Pak Haikal adalah pria berusia matang yang sangat kompeten di bidang bisnis. Dia sudah berpuluh tahun bekerja pada Hindun dan berprinsip tegas. “Saya rasa Anda sudah cukup bagus kinerjanya, Nona. Mengingat selama ini Anda juga ikut memantau perusahaan dari jauh," balas pak Haikal. Ya. Walaupun menjadi istri Ardi dan hanya di rumah saja, diam-diam wanita cantik ini juga belajar banyak hal dan mengetahui progres perusahaan milik papanya yang sementara dalam kendali sang nenek. “Itu masih jauh dari kata bagus, Pak Haikal.” Sherly merendah. “Sekarang, boleh saya minta tolong Anda panggilkan Pak Martin, saya perlu bicara juga dengan beliau.” “Baik, siap laksanakan, Bu Bos.” Pak Haikal memberikan sikap hormat. Tingkahnya yang humoris mengundang tawa Sherly. Sedetik kemudian dia memanggil pak Martin melalui interkom. Tidak menunggu waktu lama, pak Martin muncul dengan wajah gembira. “Bu Sherly, saya sangat antusias menyambut Anda,” ucapnya. “Selamat pagi, Pak Martin. Maaf jika saya sering merepotkan Bapak,” jawab Sherly. “Oh sama sekali tidak, Bu. Pak Haikal sudah memberi tahu saya apa saja yang perlu saya handle termasuk menurunkan jabatan suami Anda barusan,” jelas Pak Martin. “Ralat, Pak. Mas Ardi sebentar lagi akan menjadi mantan suami saya. Tinggal menunggu proses sidang,” ujar Sherly tak mau mendengar embel-embel suami. Apa bagusnya bersuami jika semua dia kerjakan sendiri. Bahkan dari awal rumah tangga Sherly merasa berjuang sendiri. Dia heran dengan dirinya yang buta karena cinta selama ini. Mendengar perkataan Sherly, Haikal dan Martin saling pandang. Kini mereka mengerti come back Sherly bertujuan untuk apa, juga penurunan jabatan suaminya. Mereka berdua adalah orang kepercayaan sang nenek. Hindun lebih memilih orang lain dari pada saudaranya sendiri. Karena dia harus mengamankan semua aset Satrio—ayah Sherly, sebelum berpindah tangan pada cucunya. “Ehm, memang kalau wanita patah hati itu bisa melakukan gebrakan baru yang bisa membuat kaum pria menangis tujuh hari tujuh malam,” cetus pak Martin membuat Sherly dan pak Haikal tertawa bersamaan. “Anda bisa berkata lebay seperti generasi milenial zaman sekarang, ya,” balas Sherly. “Wah Anda belum tahu saja kalau Pak Martin ini sebenarnya adalah pujangga,” kelakar Pak Haikal. Refleks Sherly tertawa kembali. Dia merasa tenaganya terisi penuh. Ternyata bergaul dengan orang-orang yang satu circle dengannya memberi dampak positif. Dia semakin percaya diri. “Pak Haikal ini paling pandai membuat saya malu,” timpal Martin. “Baik kita kembali ke pokok masalah ya, Pak. Jadi, untuk sementara, saya akan bekerja di balik layar sampai tiba masanya serah terima jabatan,” sela Sherly menengahi. “Kenapa tidak secepatnya saja, Bu Sherly. Saya merasa tidak enak, juga tidak pantas kalau menjabat direktur utama sedangkan pemilik aslinya sudah datang,” usul pak Martin. Bukan tanpa sebab, dia berhutang banyak pada keluarga Hindun. Karena itu dia akan membantu sekuat tenaga untuk kemajuan perusahaan. “Belum waktunya, Pak. Saya harus mempersiapkan diri dengan matang,” jawab Sherly. “Baiklah jika itu mau Anda, saya akan memberi tahu pada Anda segala hal tentang perusahaan ini.” pak Martin meyakinkan. “Terima kasih banyak sebelumnya, Pak Martin.” Sherly berucap tulus. Pandangannya beralih ke arah Haikal. “Oh ya, Pak Haikal. Tetap awasi kinerja Mas Ardi, karena sekali dia berbuat curang, pasti banyak sekali akal bulusnya,” lanjut dia. “Anda jangan khawatir, Bu. Saya pastikan dia tidak bisa berkutik setelah ini, tapi kenapa tidak langsung dipecat saja Pak Ardi? Bukankah lebih memudahkan kinerja kita,” tawar Haikal. “Benar, Bu Sherly. Sebenarnya bukti-bukti dia melakukan kecurangan dan penyelewengan sangat akurat. Kami sudah lama mengetahuinya, cuma kami menunggu perintah dari Anda,” jelas Martin menambahkan. Sherly menggeleng pelan. “Tidak, Pak. Kalau kita pecat dia sekarang juga, itu justru menimbulkan kecurigaan. Lagi pula saya masih perlu memberi dia pelajaran.” Sakit rasanya hati Sherly dibohongi terus menerus. Dia tahu ke mana larinya semua uang yang dicuri Ardi dari perusahaan. Sudah cukup selama tiga tahun dia bungkam. Sekarang waktunya dia tahu, siapa sebenarnya istrinya. Tentunya Sherly akan menunjukkan dirinya di saat yang tepat. “Ide bagus sepertinya. Saya mendukung keputusan apa pun yang Anda ambil,” balas pak Haikal. “Saya juga, Bu.” pak Martin ikut menimpali. Sherly mengangguk senang. Setidaknya kini tidak akan sulit mengawasi perusahaan. Dia percaya Haikal dan Martin adalah orang kompeten di bidangnya. Sang nenek tidak pernah salah pilih. Dia juga sudah memindahkan tim audit ke perusahaan cabang karena telah menerima suap dari Ardi. Setelah perbincangan yang panjang, mereka kembali ke ruangan masing-masing. Tersisa Sherly yang masih terdiam di ruang rahasia. Dia harus hati-hati agar Ardi tidak mengetahui keberadaannya hari ini. Tiba-tiba saja ponselnya berdering. Menampilkan nama sang sahabat yang telah lama dia rindukan. Gegas Sherly mengangkatnya. “Halo, Sherly! Apa kabar, aku sudah landing di Jakarta nih, kapan kita ketemu? Kangen banget tau,” cerocos gadis itu sebelum Sherly menyapanya. “Hei, aku juga kangen banget. Kapan kamu tiba di Jakarta?” tanya Sherly antusias. “Kemarin sore, aku lagi free sekarang, ayo ketemuan kalau kamu nggak sibuk,” ajaknya. “Oke, di mana kita ketemu, aku juga butuh cuci mata nih,” jawab Sherly. “Di cafe daerah Kuningan bagaimana? Biar kita sama-sama deket?” tawar wanita itu. “Boleh, ya sudah aku langsung cus ke sana,” tukas Sherly. Panggilan terputus. Sherly bergegas keluar dari ruangannya. Dia memakai kaca mata hitam dan tudung di kepala. Berjalan dengan tergesa-gesa. Tak disangka dia berpapasan dengan Ardi saat di pintu keluar. Rupanya pria itu baru saja menuju resepsionis. Pandangannya langsung tertuju pada Sherly namun, wanita itu bersikap biasa saja. Seolah tak mengenalnya. “Kenapa dia mirip sekali dengan Mitha?” batin Ardi. “Tidak mungkin dia Mitha istriku yang dekil itu.” Karena penasaran Ardi pun mengikutinya. Sesampainya di pelataran parkir, Sherly membuka kaca mata hitamnya dan memasuki mobil miliknya. “Sial, itu memang Mitha!” pekik Ardi tak percaya. Gegas dia berlari sebelum mobil itu menjauh dari pandangan. Bagaimana bisa istrinya yang dekil dan kampungan berubah penampilannya 180 derajat. Bahkan dia mengendarai mobil sendiri. Apa dia menyembunyikan sesuatu darinya? Ardi harus meminta kejelasan. “Mitha!” seru Ardi setengah berlari. Sontak saja wanita itu terkejut ternyata Ardi yang menyapanya, namun dia berusaha untuk tetap tenang. “Ini beneran kamu, Mitha?” tanya Ardi dengan napas terengah-engah saat Sherly hendak menutup pintu mobil. Bersambung… Wah kira-kira apa yang bakal Ardi lakukan ya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN