“Pasya mau ya digendong sama Papa.” Mas Haikal berkata sambil mengarahkan kedua tangannya pada Pasya. Anakku itu langsung memekik senang. Dia juga memajukan tubuhnya ke arah Mas Haikal. Menunjukkan kalau dia juga ingin digendong oleh ayahnya.
“Hati-hati gendongnya!” ucapku yang segera diangguki oleh Mas Haikal.
Setelah tubuh Pasya berada dalam dekapan Mas Haikal. Tampak Mas Haikal meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Dia lalu berselfie dengan Pasya.
“Pasya, coba lihat ke sini!” titah Mas Haikal, yang sontak membuat Pasya menoleh ke arah layar ponsel ayahnya. Kemudian...
Klik!
Aku takjub melihat interaksi ayah dan anak yang ada di hadapanku ini. Pasya terlihat senang sekali berada dalam dekapan ayahnya, membuatku begitu terharu. Mungkin dia rindu kasih sayang ayahnya, karena selama ini dia hanya mendapat kasih sayang dariku saja. Pria yang selama ini ada di dekat anakku, hanyalah kakek dan om nya.
“Manda, bisa kita foto bertiga?” tanya Mas Haikal tiba-tiba, yang membuatku terkejut.
“Apa?! Foto bertiga? Yang benar saja, Mas. Aku nggak mau! Kalian saja foto berdua. Jangan melibatkan aku!” ucapku tegas.
Mas Haikal menghela napas panjang. Dari sorot matanya aku melihat kekecewaan. Tapi, aku tak peduli. Aku dan dia kan sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi.
“Ok, nggak masalah kalau kamu nggak mau. Aku selfie berdua saja dengan anakku ini.” Mas Haikal lantas berpose dan menampilkan senyumannya yang manis. Begitu juga dengan Pasya yang tersenyum ceria, menampilkan deretan giginya yang baru tumbuh bagian atas dan bawah.
“Sudah cukup ya berfotonya. Pasya sekarang bobo siang dulu, ok,” ucapku lembut. Aku langsung meraih tubuh anakku dari dekapan Mas Haikal, ke dalam gendonganku.
Tanpa aku dan Mas Haikal duga, Pasya menangis kencang ketika tubuhnya kini berpindah. Hal itu membuatku refleks menoleh ke arah Mas Haikal. Kami berdua saling pandang satu sama lain. Di saat itulah Mas Haikal mengedipkan sebelah matanya ke arahku. Aku sontak melotot padanya.
“Jangan ambil kesempatan deh kamu, Mas,” ucapku kesal. Aku langsung menimang anakku yang masih menangis. “Lebih baik kamu keluar dari kamar ini. Pasya menangis mungkin karena dia yang sudah mengantuk.”
“Jadi menurut kamu, Pasya menangis karena mengantuk, iya?” tanya Mas Haikal dengan senyumnya.
“Iya lah, memang apa lagi?” sahutku balas bertanya padanya.
“Mungkin saja Pasya nggak mau berpisah sama papanya. Jadinya dia sedih dan menangis deh,” celetuk Mas Haikal yang membuatku terkesiap.
“Ah, itu sih bisa-bisanya kamu saja. Sudah cepetan sana kamu keluar, aku sama Pasya mau istirahat!” sahutku ketus.
“Ok, aku keluar sekarang.” Sebelum melangkah ke arah pintu, ayah anakku itu mengecup kening Pasya beberapa detik lamanya. “Papa keluar dulu ya, Sayang. Nanti Papa ke sini lagi.”
Kedua bola mataku sontak membulat mendengar ucapan Mas Haikal. “Jangan mulai deh, Mas. Sudah dikasih hati minta jantung lagi. Kami di sini mau berlibur. Jadi jangan diganggu. Kamu sendiri tadi bilang kalau di sini sedang bekerja, karena mau mendirikan cottage. Jadi bekerjalah yang baik. Jangan mengganggu orang lain!”
“Apa?! Orang lain? Tega banget sih kamu bilang begitu, Manda. Aku ini papanya Pasya, anakmu, anak kita!” ucap Mas Haikal dengan nada agak tinggi, dan dengan tatapan tak suka karena perkataanku tadi.
Aku malas menanggapi. Aku langsung membalikkan tubuhku, melangkah menuju ke tempat tidur.
“Adel, tolong pintunya dikunci apabila dia sudah keluar kamar!” titahku pada adik sepupuku itu.
“Iya, Mbak.”
Tak lama aku mendengar langkah Mas Haikal yang keluar dari dalam kamar. Kemudian Adel mengunci pintu sesuai dengan perintahku tadi. Ah, peduli amat kalau Mas Haikal tersinggung. Justru bagus malah. Dia tak lagi datang dan mengganggu liburanku.
***
Setelah Pasya tidur, aku meraih tasku dan menghitung uang yang Mas Haikal taruh di dalam tas. Aku tersenyum saat selesai menghitung uang itu, yang berjumlah sebanyak sembilan juta. Aku tak akan menggunakan uang itu sepeser pun. Uang pemberian Mas Haikal itu akan aku gunakan untuk keperluan Pasya, seratus persen.
"Berapa totalnya, Mbak?" tanya Adel yang rupanya memperhatikan dari tadi saat aku menghitung uang.
"Sembilan juta, Del. Lumayan juga untuk keperluannya si Pasya," jawabku kalem.
"Iya, biar saja. Pasya kan anaknya, jadi sudah kewajiban dia untuk kasih nafkah ke anaknya. Kalau sampai nggak kasih, bisa kualat dia. Lagi pula masih kurang itu. Uang Mas Haikal kan banyak, secara dia pengusaha."
Aku tersenyum mendengar penuturan Adel, yang terkesan mengompori aku.
"Dia tadi bilang, mau kasih lagi uang ke Pasya. Aku yakin, dia akan menepati janjinya. Entah akan kasih uang tunai atau transfer. Biar saja, suka-suka dia saja," sahutku yang diangguki oleh Adel.
"Terus, rencana kita liburan di sini tetap seperti semula? Nggak masalah kalau ada Mas Haikal?" tanya Adel yang sukses membuat aku tertegun.
"Maksudnya gimana, Del?" ucapku balas bertanya.
"Maksud aku, misalnya nanti Mas Haikal ikutan gabung sama kita, gimana? Apa Mbak Manda nggak masalah? Soalnya dia kan sudah tahu kalau Pasya adalah anaknya. Mungkin saja dia mau dekat dengan anaknya. Selama ini kan dia nggak andil dalam tumbuh kembang si Pasya," sahut Adel serius.
"Iya sih, tapi dia di sini kan ada urusan pekerjaan. Jadi kemungkinan kecil kalau dia ikutan gabung sama kita, Del," jawabku yakin.
"Tapi, kan Mas Haikal nggak seratus persen ada di lokasi yang mau dibuat cottage itu, Mbak. Paling dia hanya datang sebentar untuk mengecek sejauh mana pembangunan cottage itu. Selebihnya bisa saja dia ikut gabung sama kita, dengan alasan mau liburan sama Pasya supaya lebih dekat dengan anaknya. Kalau begitu alasannya, apa yang Mbak Manda lakukan?"
Aku terdiam. Tak terpikir olehku kalau kemungkinan Mas Haikal akan bergabung dengan kami. Aku tak sangka kalau pikiran adik sepupuku ini bisa sejauh itu.
"Benar juga ya, Del. Apa kita percepat saja ya liburan kita? Nggak enak juga sih kalau sampai ada yang tahu Mas Haikal di sini sama kita. Nanti dikira aku menggoda Mas Haikal. Bisa jadi aku bakal dicap pelakor. Masak aku pisah sama Mas Haikal gara-gara ada pelakor, terus sekarang aku jadi pelakor juga. Apa kata dunia?" ucapku yang membuat Adel menganggukkan kepalanya.
"Itu yang jadi pikiran aku, Mbak."
"Terus apa rencana kamu? Kalau kita balik ke Jakarta lebih cepat, sayang dong. Liburan kita di sini tinggal sehari saja kok.” Aku menatap lekat wajah Adel, berharap dia punya solusi terbaik.
"Iya sih, Mbak. Bagaimana kalau kita pindah hotel saja? Setuju nggak?" sahut Adel.
"Boleh juga. Terus kapan mau pindah hotelnya?" tanyaku antusias.
"Sebentar, aku cek dulu." Adel lalu mencari tahu dengan cara browsing hotel di Denpasar yang masih ada kamar kosong. Aku hanya menunggu sambil melangkah ke lemari, dan meletakkan tas di sana.
"Mbak, ada ini kamar kosong. Letak hotelnya nggak jauh dari sini. Apa mau sore ini kita check out dari sini dan pindah ke sana?"
"Boleh deh, tapi tunggu Pasya bangun tidur dulu. Setelah itu, aku mandikan dia dulu," sahutku senang karena bisa terbebas dari Mas Haikal selama liburan di sini. Walaupun nantinya dia akan datang ke rumah orang tuaku untuk menemui Pasya, nggak masalah. Yang penting jangan sampai aku dan dia bersama-sama selama ada di Bali.
Sore harinya, kami bertiga sudah siap di lobi hotel untuk check out. Tiba-tiba saja terdengar suara yang tak asing lagi di telingaku.
"Manda, mau ke mana? Mau pulang ke Jakarta sekarang?"
Aku dan Adel sontak saling pandang, ketika Mas Haikal sudah berdiri di belakangku.