Masa Lalu

1442 Kata
Aku merasakan jantungku berdegup kencang. Aku sungguh tak menyangka bahwa akan bertemu Mas Haikal di saat akan menghindarinya. Aku berpikir keras untuk menjawab pertanyaan mantan suamiku itu. Kuperhatikan dirinya yang juga sepertinya akan check out dari hotel ini. Hatiku berdesir ketika melihat koper kecil di sebelahnya. Koper itu dulu aku yang membeli untuknya, dan selalu dia pakai untuk bepergian tugas ke luar kota. Aku tak menyangka Mas Haikal masih menggunakannya. “Manda, kok malah bengong?” tanya Mas Haikal yang sudah berada di dekatku. Dia meraih tubuh Pasya dari gendonganku, karena tubuh anakku terjulur ke arah Mas Haikal. Ya, anakku itu ingin digendong oleh papanya. Aku refleks menganggukkan kepala. Hal itu membuat Adel membulatkan matanya. “Mbak, kenapa mengangguk sih? Kita kan nggak pulang sekarang,” bisik Adel di telingaku. “Ya Tuhan, aku spontanitas saja tadi karena aku gugup, Del,” jawabku dengan berbisik juga. “Kalau mau balik ke Jakarta sekarang, bareng saja sama aku. Nanti aku antar sampai rumah papa,” sahut Mas Haikal yang kembali membuat hatiku berdesir. Dia bilang apa tadi? Papa? Dia masih memanggil mantan mertuanya dengan sebutan papa. Sama sekali tak kusangka. “Nggak usah, Mas. Kita sudah pesan tiket pesawat kok untuk baliknya,” tolakku secara halus. “Jangan menolak dong, Manda. Nanti aku ganti deh biaya tiket pesawatnya. Kamu sebutkan saja berapa biayanya,” sahut Mas Haikal kalem. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada seorang pria, yang aku tahu adalah asisten Mas Haikal. “Rud, tolong bawa koper Bu Amanda ke mobil!” “Baik, Pak,” sahut Rudi. Pria itu menatapku dan tersenyum serta mengangguk sopan. “Apa kabar, Bu Amanda?” “Alhamdulillah, baik,” jawabku dengan senyuman padanya. “Rud, anakku ganteng, ya. Namanya, Pasya Prayuda,” celetuk Mas Haikal pada asistennya yang langsung menganggukkan kepala. “Iya, ganteng banget. Mirip sama Pak Haikal,” sahut Rudi jujur. Aku menghela napas mendengar percakapan mereka berdua. Di saat yang sama, Mas Haikal pun membayar biaya kamar hotel yang aku tempati. Selanjutnya, dia mengajak aku dan Adel menuju mobil yang sudah menunggu di depan lobi hotel. Akhirnya, aku pulang ke Jakarta bersama dengan mantan suamiku. Awalnya berniat untuk menghindar, tapi malah justru pulang bersamanya. *** Kini kami sudah berada di pesawat pribadi milik keluarga Mas Haikal. Berada di pesawat pribadi ini mengingatkan aku pada masa lalu, di mana aku dan Mas Haikal pernah duduk berdampingan di kursi pesawat sebagai pasangan suami istri. Saat belum ada orang ketiga dan ibu mertua yang ikut campur dalam rumah tangga kami. Ya, ibu mertua ikut campur dalam rumah tangga kami, karena aku belum kunjung hamil juga di tahun ke tujuh pernikahan kami. Saat ini ingatanku berada ketika aku dan Mas Haikal sedang melakukan perjalanan ke Paris. Kami dulu memang sering berlibur dan menikmati kebersamaan. Hingga rasa gundahku karena belum bisa memberikan keturunan untuk suami, sirna karena perlakuan manis Mas Haikal padaku. Mas Haikal memang tak menuntut soal anak padaku. Dia berpikir, bahwa kami memang belum diberi keturunan saja oleh Tuhan. “Kalau ngantuk tidur saja dulu, Sayang. Perjalanan masih jauh,” bisik Mas Haikal ketika kami tengah dalam perjalanan ke Paris kala itu. Dia melihat aku menguap. Dia memasangkan selimut di tubuhku hingga sebatas d**a. “Aku tidur dulu ya, Mas. Kamu kalau mengantuk tidur saja,” ucapku balas berbisik padanya. “Aku belum mengantuk. Aku sepertinya nggak bisa tidur, karena dengan memandang wajahmu membuat aku selalu terjaga,” ucapnya mulai menggombal. Aku seketika tertawa dan mengelus rahang kokohnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Setelah itu, aku pun terlelap dan masuk ke alam mimpi. Liburan ke Paris adalah salah satu liburan dari sekian banyak tempat di dunia yang kami kunjungi. Mas Haikal sangat memanjakan aku, begitu juga sebaliknya. Kami saling mencintai satu sama lain. Cinta kami tumbuh ketika masih sama-sama menjadi mahasiswa di salah satu kampus ternama di Jakarta. Mas Haikal adalah kakak tingkatku, dua tingkat di atasku. Tiga tahun menjalin hubungan, kami memutuskan untuk menikah. Pernikahan kami diselenggarakan dengan meriah. Bagaimana tidak meriah, kalau Mas Haikal adalah putra tunggal dari seorang pengusaha sukses. Dia adalah pewaris tunggal kerajaan bisnis keluarganya. Aku yang seorang putri bungsu dari dua bersaudara berasal dari keluarga menengah, merasa beruntung memiliki suami seperti Mas Haikal. Rumah tangga kami pun adem ayem tanpa gangguan yang berarti. Walaupun ada pertengkaran kecil, itu wajar saja dalam kehidupan berumah tangga. Namun, kebahagiaan kami terusik ketika memasuki tahun ke tujuh pernikahan kami. “Haikal, kok Amanda belum hamil juga sih? Kamu perlu seorang keturunan lho. Masak sudah tujuh tahun menikah, tapi belum ada tanda-tanda kehamilan,” ucap ibu mertuaku suatu hari ketika berkunjung ke rumah kami. “Sabar dong, Bu. Ujian rumah tangga kan macam-macam bentuknya. Nah, giliran aku diuji dengan belum dikaruniai anak oleh Tuhan,” sahut Mas Haikal kalem. “Ya jelas saja belum dikaruniai anak. Menurut dokter Bambang, rahim Amanda bermasalah kan,” celetuk ibu Mas Haikal. “Iya, itu menurut dokter Bambang. Tapi, kalau Tuhan berkehendak lain dan suatu hari memberi anak pada kami. Jadi Ibu sabar saja dulu. Nanti kalau sudah waktunya punya cucu, Ibu akan bisa menggendong cucu Ibu kok,” sahut Mas Haikal kala itu dengan sabar menghadapi ibunya. “Iya, tapi sampai kapan? Awalnya juga Ibu sabar dan berdiam diri. Tapi, ini sudah tujuh tahun lho,” ucap ibu Mas Haikal yang tiba-tiba membuat jantungku berdegup kencang. Entahlah, dari nada suaranya aku seperti menangkap ada ancaman. “Ada pasangan suami istri yang belum memiliki anak hingga sepuluh tahun lebih. Mereka sabar dan akhirnya punya anak juga. Jadi nggak usah dihitung berapa lamanya, Bu. Aku mohon Ibu supaya bantu doa saja. Selebihnya kita serahkan pada Tuhan, ok,” sahut Mas Haikal yang membuat aku sedikit bernapas lega. “Bagaimana kalau kamu menikah lagi supaya mendapat keturunan, Haikal?” tanya ibu Mas Haikal yang membuat kami berdua terkejut. “Apa?! Menikah lagi? Nggak ada sedikit pun untuk niat itu terlintas di kepalaku, Bu. Jadi tolong Ibu tarik kembali saran Ibu itu,” sahut Mas Haikal tegas. Sedang aku, hanya bisa menggigit bibir bawahku sambil memilin jemari karena rasa cemas mulai melanda. Telapak kakiku juga mulai terasa dingin. “Amanda tetap istri kamu. Istri kedua hanya untuk mendapatkan anak saja. Kamu tahu Meta kan, Nak? Dia seorang gadis yang baik lho. Dia masih saudara jauh kita. Buyutnya sepupu buyut kamu. Sepertinya dia cocok juga jadi istri kamu,” ucap ibu Mas Haikal berusaha merayu. Perutku terasa mulas mendengar ucapan ibu mertuaku kala itu. Aku tahu siapa Meta. Aku tahu juga kalau diam-diam dia suka memperhatikan Mas Haikal. Ah, apa ini suatu konspirasi agar bisa menyingkirkan aku secara halus, dengan alasan aku yang belum kunjung hamil. Tentu saja ibu Mas Haikal menyodorkan Meta, karena gadis itu adalah saudara jauh dari pihaknya. “Nggak, Bu. Sekali aku bilang nggak, tetap nggak. Amanda adalah istri aku satu-satunya, dan aku sabar menunggu hingga dia hamil anakku,” tegas Mas Haikal kala itu. Aku yang kala itu bernapas lega, tapi akhirnya harus kecewa yang teramat dalam. Kekecewaan itu terjadi di saat kami baru saja melakukan hubungan suami istri, dan Mas Haikal mengatakan sesuatu yang menohok hatiku. “Sayang, ijinkan aku untuk menikahi Meta. Aku janji akan adil pada kalian berdua. Waktuku akan lebih banyak untukmu,” ucap Mas Haikal yang membuat tubuhku terasa lemas. “Apa, Mas? Kamu mau menikah lagi? Tapi, kenapa?” tanyaku dengan kelopak mata yang mulai berair. “Kamu sudah bilang sama ibu kalau nggak mau menikah lagi. Tapi, kenapa sekarang berubah pikiran?” “Itu karena...karena Meta sudah hamil enam minggu. Dia hamil anakku, Manda,” sahut Mas Haikal lirih. Deg. Duniaku terasa runtuh ketika mendengar pengakuannya. Aku menangis sejadi-jadinya. Kutepis tangan Mas Haikal yang berusaha menenangkan aku. Tak sudi lagi diri ini disentuh olehnya. “Baik, nikahi dia dan ceraikan aku!” ucapku setelah tangisku reda. “Nggak. Aku nggak mau berpisah sama kamu. Aku mencintai kamu, Sayang,” sahut Mas Haikal lembut. “Stop! Jangan bilang cinta lagi, Mas! Kamu sudah mendua dan berkhianat. Kalau kamu nggak mau menceraikan aku, biar aku yang menggugat cerai,” sahutku lantang yang membuatnya terkejut. Semenjak itu, aku menghindarinya dengan pisah kamar. Aku juga menghubungi pengacaraku untuk mengurus perceraianku dengan Mas Haikal. Awalnya Mas Haikal menolak, tapi dia akhirnya setuju setelah aku membujuknya dengan mengatakan kalau ada kemungkinan rujuk. Tentu saja itu hanya trik dariku. Mana sudi aku rujuk dengannya yang sudah jelas menyakiti hatiku. Di saat proses cerai berlangsung, aku merasakan kelainan dalam diriku. Aku periksakan diriku ke dokter, dan hasilnya aku positif hamil tiga minggu. Rupanya hubungan badan kami di malam itu membuahkan hasil. Namun, aku bertekad dalam hati bahwa aku akan membesarkan anakku seorang diri. Mas Haikal tak akan aku beritahu perihal kehamilanku ini. Anak dalam kandunganku ini, biarlah menjadi milikku seorang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN