Mas Haikal terus memandangiku dengan tatapan sendu. Bahkan dia menggeser posisi duduknya, hingga hanya berjarak sekitar beberapa inci saja dari tempatku duduk.
“Manda, aku sudah berulang kali bilang sama kamu saat kita masih menjadi suami istri. Aku nggak pernah berniat untuk berbuat zina dengan Meta. Setelah minum kopi buatannya, aku langsung merasa ada yang aneh pada tubuhku. Aku merasa sangat ingin memeluk dirimu dan melakukan hubungan badan denganmu, tapi justru yang ada di hadapanku saat itu adalah Meta. Aku sudah nggak bisa lagi mengendalikan diriku, hingga akhirnya terjadilah perbuatan terlarang itu. Aku sudah katakan hal ini berulang kali padamu dulu, agar kamu mencabut gugatan ceraimu. Tapi, kamu nggak percaya padaku dan lebih memilih untuk berpisah. Andaikan kamu percaya dan mencabut gugatan itu, tentu aku akan ada saat kamu hamil dan melahirkan anakku,” sahutnya lirih.
“Perlu kamu tahu ya, Mas. Andaikan aku percaya semua kata-katamu, aku tetap memilih untuk berpisah dengan kamu. Mana ada seorang istri yang mau dimadu? Lagi pula kamu sudah mengkhianati aku, dan aku nggak terima itu. Aku nggak terima kamu yang sudah menusukku dari belakang, dan membuat jalang itu sampai hamil. Andai aku tahu lebih awal perbuatan kamu dan jalang itu, tentu aku nggak akan mau kamu sentuh lagi. Sayangnya, aku tahu setelah kamu memberi aku nafkah batin. Itu yang membuat aku semakin membencimu, Mas. Kamu licik sekali! Kamu menipuku! Kamu berperilaku sebagai seorang suami yang baik, tapi di luar rumah ternyata memiliki jalang yang kamu simpan rapat-rapat. Aku jijik sama kamu! Sekarang keluar dari sini!” kataku dengan suara lantang, yang membuat Mas Haikal terkejut dan Pasya sontak menangis.
Mas Haikal spontan menyentuh punggung Pasya untuk menenangkannya. Namun, aku yang sudah muak dengannya segera kutepis tangannya dari punggung anakku.
“Lepaskan tanganmu dari punggung anakku!” sentakku yang membuat Pasya semakin menangis kencang karena terkejut. Tapi, entah lah mungkin juga dia menangis karena aku menghardik ayahnya.
“Pelan-pelan ngomongnya, Manda. Kamu membuat anakku menangis,” ujar Mas Haikal lembut, tapi justru suaranya yang lembut itu semakin membuat aku kesal padanya. Suaranya itu mengingatkan aku kalau dia sedang merayuku dulu, kalau aku sedang merajuk padanya. Bisa jadi dia juga melakukan hal yang sama terhadap Meta, si pelakor itu.
“Cih! Jangan kamu sebut Pasya sebagai anakmu, karena dia bukan anak kamu! Sekarang keluar dari sini dan jangan kamu ganggu hidup kami! Biarkan kami hidup tenang tanpa kehadiran kamu, maupun bayang-bayang kamu, Mas. Kamu sudah punya keluarga yang bahagia sekarang. Jadi hiduplah yang nyaman dengan anak dan istri kamu. Jangan kamu usik dan dekati kami lagi. Ini adalah pertama dan terakhir kalinya kamu mendekati aku maupun anakku,” sahutku dengan tatapan tajam padanya.
“Anak kita, Amanda. Pasya Prayuda anak laki-laki dari seorang Haikal Prayuda. Jangan kamu sembunyikan fakta itu. Kamu bisa menyuruhku pergi sekarang, tapi kamu nggak bisa melarang aku untuk datang lagi. Aku ingin ikut andil dalam membesarkan anak kita. Aku akan mengajaknya jalan-jalan keliling kota Jakarta dengan naik motor gede, kalau dia sudah berusia dua atau tiga tahun. Aku akan merancang tempat duduk untuk Pasya di motorku, sehingga dia merasa nyaman nantinya.” Mas Haikal berkata dengan tatapan yang menerawang, seolah dia sedang membayangkan saat itu akan tiba. Senyumnya pun mengembang ketika menatap Pasya yang masih menangis, meskipun tak sekencang tadi. Tangan Mas Haikal kembali mengusap lembut punggung Pasya, tak peduli aku yang melotot ke arahnya. Dalam beberapa detik, tangisan Pasya pun terhenti. Hanya isakannya saja yang masih terdengar. Hal itu membuat Mas Haikal tersenyum semringah, merasa bangga telah berhasil menghentikan tangisan anaknya. Sedang aku hanya bisa menghela napas panjang. Mungkin inilah yang namanya ikatan batin antara ayah dan anak.
“Pasya sudah berhenti menangis. Sekarang pergilah, Mas! Aku juga mau istirahat, capek habis jalan-jalan. Tolong jangan ganggu aku, karena kalau kamu ganggu aku maka akan kulaporkan pada suamiku,” ucapku berbohong agar membuat Mas Haikal ragu kalau Pasya adalah anaknya, walaupun kemungkinan itu sangat lah kecil karena adanya kemiripan mereka berdua.
Mas Haikal sontak tertawa mendengar penuturanku barusan. Dia tertawa geli sampai tubuhnya terguncang pelan.
“Amanda...Amanda, aku dari tadi sudah bilang kalau kamu ini nggak bisa bohongi aku. Sudah jelas kalau Pasya adalah duplikat aku. Haikal versi mini, istilah lainnya. Lagi pula aku juga tahu kok, kalau kamu belum menikah,” ucap Mas Haikal di sela tawanya. Dia lalu mendekatiku hingga aku refleks bergeser mundur. “Kamu tahu, kalau aku tahu kamu sedang hamil saat proses cerai kita, nggak bakalan aku setuju dengan gugatan kamu itu. Saat itu, aku setuju karena aku melihat kamu yang sudah nggak bisa lagi menerimaku. Kamu lebih bahagia kalau berpisah denganku. Jadi aku memilih melepasmu agar kamu bahagia, Manda. Walaupun kita sudah pisah, tapi kamu masih ada di hatiku sampai sekarang. Aku tetap menganggap kamu sebagai istriku. Apalagi sekarang aku tahu kalau kamu sudah melahirkan anakku. Jadi sampai kapan pun kamu tetaplah istriku.”
Aku terhenyak mendengar ucapannya. Seketika aku menjadi panik, tapi aku berusaha mengendalikan diri agar kepanikanku tak terlihat oleh Mas Haikal. Aku tak mau dia memanfaatkan situasi ini untuk mendekatiku atau Pasya.
“Cih! Mau menipuku, iya? Aku nggak bakalan termakan oleh mulut manismu, Mas. Hakim sudah ketok palu dan pernikahan kita sudah berakhir, ingat itu. Kita hanyalah mantan sekarang. Jadi pergilah dan jangan mengaku lagi kalau aku adalah istrimu! Bisa mundur nanti kalau ada pria yang mau mendekatiku,” sahutku ketus.
“Nah, ngaku kan kalau kamu sebenarnya belum menikah.” Mas Haikal terkekeh dan menatapku dengan tatapan penuh kemenangan, karena berhasil membuatku mengaku kalau sebenarnya aku belum menikah.
‘Asyem bener dia. Aku nggak sadar sudah masuk dalam jebakannya. Ah, sial memang. Kenapa juga sih harus berurusan dengan mantan?’ ucapku dalam hati.
Aku yang merasa malu dan kesal padanya, segera meraih tasku yang sudah Mas Haikal letakkan kembali di meja. Aku langsung melemparkannya untuk kedua kali ke arah mantan suamiku itu. Sementara di belakangku, Adel tertawa pelan dari tadi menyaksikan interaksi aku dan Mas Haikal.
Bugh!
Mas Haikal yang sengaja tak mau mengelak langsung menangkap tasku itu. Tanpa aku duga, dia mengeluarkan dompetnya dan mengambil seluruh uang yang ada di sana. Dia lalu menaruh semua uangnya itu di dalam tasku. Aku pun melongo melihat ulahnya itu.
“Ini uang untuk keperluan Pasya. Aku akan memberikan lagi nanti. Tolong hubungi aku dan ceritakan tentang perkembangan Pasya. Aku ingin ikut andil dalam membesarkan dia. Ijinkan aku untuk menemuinya setiap hari. Atau kalau kamu keberatan, tiga atau empat kali dalam seminggu aku akan menemuinya. Please, Manda. Oh ya, kalau kamu nggak mau menghubungiku untuk bercerita tentang perkembangan anakku, kamu rekam saja aktivitas dia dan kirimkan padaku,” ucap Mas Haikal dengan tatapan memohon.
“Aku sudah hapus nomor kamu, Mas,” sahutku acuh.
Mas Haikal lantas membuka lagi tasku dan mengambil ponselku. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Adel. “Adel, ini ponsel Amanda. Aku akan miss call. Kamu tolong simpan nomorku. Supaya Amanda bisa mengirimkan video Pasya nantinya.”
Adelia tak langsung menerima. Dia menatapku untuk minta persetujuanku. Hingga setelah berpikir agak lama, akhirnya aku menganggukkan kepala. Memberi ijin pada Adel untuk menyimpan nomor telepon mantan suamiku itu. Aku berpikir bahwa Mas Haikal perlu juga tahu tentang perkembangan Pasya. Walaupun membenci pria itu, tapi dia tetaplah ayah anakku. Apalagi dia katakan tadi kalau ingin ikut andil dalam membesarkan Pasya, anak kami.
“Terima kasih, Manda. Kalau bisa setiap saat kamu kirimkan video Pasya, ok.” Mas Haikal tersenyum dan menutup resleting tasku dan meletakkannya di atas meja.
“Insya Allah, kalau aku nggak repot,” sahutku tanpa menatapnya. Aku fokus menatap Pasya yang kini tengah menatapku.
“Baiklah, aku akan keluar sekarang dari kamar ini. Tapi sebelum keluar, aku ingin menggendong anakku dulu. Berikan aku ijin untuk menggendongnya, Manda,” pinta Mas Haikal dengan nada memelas.
Aku menghela napas panjang. Tiba-tiba saja, Pasya menoleh ke arah Mas Haikal dan tersenyum pada ayahnya. Ah, situasi seperti ini yang tak aku inginkan. Di saat aku sudah nyaman hidup berdua dengan anakku, tiba-tiba harus bertemu lagi dengan mantan suami yang sudah menorehkan luka di hatiku.