“Ayolah, terima ini! Uang hasil penjualan rumah kita adalah hak kamu, Manda,” ucap mas Haikal setelah aku tak juga menerima amplop dari tangannya.
Tanpa disangka, Pasya dengan antusias meraih amplop dari tangan papanya. Hal itu membuat mas Haikal dan aku terkejut.
“Manda, kamu lihat sendiri kalau Pasya menginginkan uang ini. Jadi ambillah dan simpan, ya,” ucap mas Haikal sekali lagi.
Aku akhirnya menuruti kata-katanya. Kuanggukkan kepalaku yang sontak membuat mas Haikal tersenyum semringah.
“Baiklah, aku terima. Terima kasih, Mas. Uang ini akan aku gunakan untuk keperluan Pasya,” sahutku yang disambut oleh gelengan kepala mas Haikal.
“Nggak. Itu murni untuk kamu. Aku kan dari tadi sudah bilang, kalau uang hasil penjualan rumah kita adalah hak kamu. Kalau Pasya biar jadi urusanku. Dia kan anakku, jadi aku wajib membiayainya. Aku akan transfer uang ke rekening itu setiap bulannya untuk Pasya. Hari ini aku sudah transfer uang untuk Pasya. Kamu bisa cek saldonya nanti,” cetus mas Haikal yang membuatku mengerutkan kening.
“Hah? Kamu transfer uang lagi? Saat di Bali kan kamu sudah kasih uang tunai sembilan juta, Mas. Kenapa transfer lagi sih?” ucapku yang membuat dia tersenyum.
“Anggap saja yang di Bali itu aku lupa. Lagi pula nggak apa-apa kan kalau aku kasih uang ke anak sendiri,” sahut mas Haikal kalem.
“Iya sih, tapi aku nggak mau kalau nantinya istri kamu marah dan melabrak aku.” Aku berkata sambil tersenyum kecut. Entah kenapa aku tiba-tiba merasa nyeri hati ini. Mungkin karena posisiku sekarang yang telah tersingkir oleh Meta, si pelakor itu. Si perusak rumah tanggaku, huh!
“Kalau dia sampai marah dan melabrak kamu, biar aku yang akan tangani dia. Lagi pula dia nggak punya hak untuk melarangku memberi uang pada anak kandungku,” tegas mas Haikal.
Setelah itu, aku melangkah masuk ke dalam kamarku untuk menyimpan buku tabungan dan kartu ATM. Setelahnya, aku kembali ke garasi untuk mengawasi anak buahku bekerja. Aku melirik ke arah mas Haikal yang sedang menggendong Pasya sambil melihat-lihat isi frezer.
“Di dalam frezer ini selalu habis setiap harinya?” tanya mas Haikal.
“Nggak sih, paling dua hari sekali. Tapi, pernah dalam sehari habis saat Ramadan. Orang banyak order untuk buka puasa,” sahutku kalem.
Mas Haikal kembali mendekatiku dan berbisik, “Aku sudah melihat-lihat ruko di depan kompleks ini, Manda. Ada ruko yang kosong. Aku langsung kasih DP karena aku lihat tempatnya yang strategis. Cocok untuk usaha kuliner kamu ini. Jadi kamu bisa berjualan secara online maupun offline.”
“Eh, kok kamu langsung kasih DP saja sih? Aku kan sudah bilang semalam, kalau aku mau jualan online saja. Jualan online saja sudah untung banyak kok,” kataku dengan tatapan penuh selidik pada mantan suamiku itu. Aku mencium gelagat kalau ada rencana yang tengah disiapkan oleh ayah anakku itu.
“Aku tadi melihat ruko itu bagus dan strategis, jadi jiwa bisnisku meronta ingin segera membelinya. Makanya aku langsung menemui pihak terkait dan langsung kasih DP. Setelah ini, aku akan lunasi supaya kamu bisa langsung buka usaha di situ.” Mas Haikal menatapku sambil tersenyum.
Aku menghela napas panjang. “Kalau sudah terlanjur kasih DP, ya sudah lah. Tapi, biar aku yang melunasinya nanti. Aku kan barusan kamu kasih uang. Jadi uang itu bisa aku gunakan untuk membeli ruko itu.”
“Nggak usah, Manda. Urusan ruko biar jadi urusanku saja. Kamu persiapkan saja perlengkapan lainnya, misal meja dan kursi serta yang lainnya,” sahut mas Haikal dengan senyumannya yang khas.
Aku akhirnya hanya bisa mengangguk. “Ok, kalau begitu. Tapi, nanti aku akan membayar ke kamu, Mas. Aku nggak mau istri kamu marah karena kamu mengeluarkan uang untukku.”
Mas Haikal hanya tersenyum menanggapi ucapanku.
***
Satu bulan kemudian.
Aku berhasil mendirikan rumah makan dengan menu makanan khas masakan Palembang. Tidak hanya mpek-mpek saja yang aku jual. Ada tekwan, laksan, mie celor dan pindang ikan patin yang aku sediakan selain mpek-mpek. Aku senang karena rumah makanku tak pernah sepi. Ada saja pengunjung yang datang untuk menikmati hidangan di rumah makanku.
Aku diam-diam mengakui kalau naluri bisnis mas Haikal begitu kuat. Lokasi ruko yang strategis, menjadi salah satu penyebab banyaknya pengunjung yang datang. Tentu saja dengan rasa masakan yang menggugah selera dan pas di lidah, menjadi penyebab banyaknya pengunjung yang datang. Oh ya, mengenai ruko itu ternyata mas Haikal sudah membuatkan surat kepemilikan atas namaku. Aku pun segera mengganti uangnya dengan cara mentransfer ke rekeningnya, yang rupanya masih tersimpan di telepon genggamku. Tapi, dia juga mentransfer kembali uang itu ke rekeningku. Hal itu terus berlangsung selama empat kali. Hingga akhirnya aku pun menyerah, karena berapa kali aku transfer uang ke rekeningnya, maka dia pun akan segera mentransfer kembali uangku.
“Manda!” panggil seseorang ketika aku sedang datang berkunjung ke rumah makanku, dan memperhatikan anak buahku bekerja.
Aku menoleh ke sumber suara, dan mengerutkan keningku ketika menatap seorang pria tampan berpostur sama seperti mantan suamiku.
“Maaf, Anda siapa? Apa kita pernah saling kenal?” tanyaku.
“Masak lupa sama aku sih, Manda. Aku teman lama kamu, Andi. Kita satu kampus dulu, tapi beda fakultas. Aku juga temannya Haikal, suami kamu,” sahut pria itu yang membuatku terperanjat.
“Oh, Andi Wirawan, iya?” tanyaku memastikan.
“Betul. Aku kenal sama kamu saat di kampus dulu. Haikal yang memperkenalkan, karena kami satu SMA. Cuma saat kuliah, aku di fakultas kedokteran. Sedangkan Haikal dan kamu, di fakultas ekonomi. Setelah lama nggak ketemu, senang bisa ketemu kamu lagi. Ini juga gara-gara aku penasaran sama rasa mpek-mpek di sini. Setiap hari aku lewat di dekat sini, selalu saja ramai pengunjung. Makanya aku mau coba makan mpek-mpek hari ini,” sahut Andi dengan senyuman dan matanya yang berbinar. Aku pun balas tersenyum padanya.
“Terima kasih sudah mau mampir kemari. Semoga suka dan menjadi pelanggan di rumah makan ini,” sahutku dengan ucapan khas seorang pemilik rumah makan.
“Kayaknya sih bakalan suka, Manda. Oh ya, bagaimana kabar Haikal? Terus kalian sudah punya anak berapa sekarang?” tanya Andi yang membuatku menjadi gugup karena menyinggung soal mas Haikal yang sudah menjadi mantanku.
“Emm...anak kami satu, laki-laki. Beberapa hari lagi akan genap berusia satu tahun. Kabar mas Haikal juga baik,” sahutku lirih dan aku berusaha untuk menghindari tatapan Andi, karena entah kenapa aku menjadi sedih kala menjawab pertanyaannya.
“Manda, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat sedih. Ada apa? Apa Haikal sehat?” cecarnya lagi yang membuat aku segera meraih tisu, untuk menghapus sudut mataku yang mulai berair.
“Aku...aku dan mas Haikal sudah bercerai, Andi,” sahutku dengan suara tercekat, berusaha menahan tangisanku.
“Oh, maaf. Aku nggak tahu, Manda,” sahut Andi dengan suara pelan.
Aku yang awalnya menatap ke arah lain, seketika kembali menatapnya. Di saat itulah, aku melihat kedua sudut bibir Andi sedikit terangkat membentuk senyuman.
‘Kenapa Andi tersenyum? Apa maksud dari senyumannya itu? Apa dia senang mendengar kabar perceraian aku dan mas Haikal?’ tanyaku dalam hati.