Maaf

1241 Kata
Mas Haikal masih terdiam duduk di tepi tempat tidur sambil menatap Pasya, yang sudah terlelap. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan karena aku mendengar helaan napasnya yang sering terdengar. Aku tetap berdiri di sisi tempat tidur yang tak jauh darinya, menunggu sesaat apa yang akan dia lakukan. Lima menit...sepuluh menit, mas Haikal bergeming. Dia diam saja di tempatnya, yang membuat aku memutuskan untuk menegurnya. “Mas, ingat pesan papa tadi. Kalau Pasya sudah tidur, Mas segera keluar dari kamar ini. Nggak baik berada di dalam kamar ini terlalu lama, karena kita sudah bukan suami istri lagi,” ucapku mengulang pesan papaku tadi. Mas Haikal menoleh seraya berkata, “Iya, aku akan segera keluar dari sini setelah kamu jawab beberapa pertanyaanku, Manda.” “Pertanyaan apa? Katakan saja, insya Allah akan aku jawab,” sahutku kalem. “Setelah kita resmi bercerai, kamu nggak mau menerima uangku. Padahal aku sudah bertekad akan memberimu nafkah sampai kamu menikah lagi. Walaupun aku memang berharap kamu nggak akan menikah lagi, karena aku masih mengharapkan kita rujuk. Terus kamu juga nggak mau menempati rumah kita. Padahal saat itu kamu sedang hamil anakku. Seharusnya kamu menerima yang aku beri, ya paling nggak untuk biaya Pasya. Terus apa yang kamu lakukan untuk biaya hidup kamu dan anak kita?” ucap mas Haikal menatap lekat ke arahku. Sekarang giliran aku yang menghela napas panjang. Mas Haikal rupanya masih penasaran tentang biaya hidupku. “Aku nggak mau menerima uang kamu karena selain nggak mau punya urusan lagi dengan kamu, aku juga nggak mau kamu tahu kalau aku sedang hamil. Kalau kamu penasaran tentang biaya hidupku, aku mendirikan toko online. Kamu tahu sendiri kan kalau aku punya tabungan lumayan banyak selama jadi istri kamu. Nah, itu aku jadikan modal. Alhamdulillah, hasilnya cukup untuk biaya hidupku dan Pasya. Aku nggak membebani keluargaku untuk nafkah hidupku. Biaya melahirkan juga aku yang tanggung sendiri. Aku nggak minta bantuan ke siapa pun. Jadi berhenti untuk cari tahu soal biaya hidupku, karena aku baik-baik saja. Sekarang pertanyaan kamu sudah aku jawab. Jadi pulanglah, Mas. Istri dan anak kamu menunggu di rumah. Mereka pasti merindukan kamu setelah beberapa hari nggak ketemu,” ucapku yang membuat mas Haikal kembali menghela napas panjang. “Apa jenis usaha kamu? Maksud aku, produk apa yang kamu pasarkan?” tanyanya yang masih saja penasaran. “Aku menjual mpek-mpek. Mas kan tahu kalau keluargaku berasal dari Palembang. Jadi mahir membuat makanan itu, dan banyak orang yang suka dengan mpek-mpek. Tanteku yang membuatnya, lalu aku membeli peralatan seperti frezer dan alat untuk pengemasannya. Adel juga membantuku di sela kesibukannya kuliah. Banyak teman Adel yang menjadi pelangganku selain pelanggan secara online. Dalam waktu tiga bulan usahaku maju pesat sampai sekarang, alhamdulillah.” Mas Haikal tersenyum mendengar penjelasanku. “Boleh aku melihat usaha kamu?” “Boleh, ayo ke garasi! Aku menaruh frezer dan peralatan lainnya di sana. Makanya mobil ditaruh di luar garasi dan papa memasang kanopi untuk melindungi mobilnya,” sahutku yang lagi-lagi membuat mas Haikal tersenyum. Kami lalu keluar dari dalam kamar menuju ke garasi. Setibanya di garasi, aku menunjukkan usahaku pada mas Haikal. Dia manggut-manggut. Senyumnya tak pernah hilang dari bibirnya. Sorot kekaguman juga terpancar jelas di matanya. “Kamu hebat, Manda. Saranku supaya kamu menjual mpek-mpek ini secara offline juga, pasti laris. Aku akan bantu untuk tempatnya, bagaimana?” ucap mas Haikal yang membuatku terkejut. “Nggak deh, Mas. Berjualan online sudah cukup menurutku. Aku bisa menjalankan usaha sekaligus momong anak. Kalau offline, pasti sulit untuk momong anak,” sahutku beralasan. “Kamu nggak harus setiap saat ada di rumah makan, Manda. Kamu akan memantau karyawan kamu sesekali saja. Aku yakin kalau saat ini kamu sudah punya karyawan, iya kan? Nggak mungkin kalau hanya kamu dan Adel saja yang menangani. Terus yang buat mpek-mpek bukan hanya tante. Pasti ada karyawan yang memprosesnya, tante hanya mengawasi dan mengajari cara membuatnya,” cetus mas Haikal panjang lebar. Aku terdiam, karena semua yang mantan suamiku itu katakan adalah benar adanya. “Pikirkan baik-baik saranku ini, Manda. Kamu sukses menjalankan bisnis ini. Alangkah baiknya, melebarkan sayap supaya bisnis ini semakin sukses. Di dekat sini kan ada ruko, nah aku akan coba tanya apa ada ruko kosong. Kalau ada, aku akan menyewanya untuk usaha kamu. Mau ya, Manda,” ucap mas Haikal terus berusaha membujuk. “Aku pikirkan dulu deh, Mas. Sekarang sebaiknya Mas pulang karena hari sudah semakin malam. Maaf kalau kesannya aku ini mengusir. Tapi, ini demi kebaikan bersama,” sahutku yang diangguki olehnya. “Ok, aku akan pulang. Tapi, besok aku akan kemari lagi untuk menengok Pasya. Selain itu, aku juga akan menyerahkan buku tabungan dan ATM padamu.” Mas Haikal melangkah mendekatiku. “Maafkan atas segala kesalahan aku, Manda. Percaya lah padaku kalau aku nggak pernah berpikir untuk berkhianat. Apa yang aku ceritakan padamu dan papa adalah sebuah kebenaran. Maafkan aku.” Aku terdiam mendengarnya berkata lirih dan raut wajahnya yang sendu. “Aku maafkan, tapi bukan berarti aku melupakan semuanya, Mas. Aku sangat kecewa dengan kamu, yang diam-diam punya simpanan. Sampai hamil pula.” “Manda, tolong percaya padaku. Aku nggak menyimpan Meta. Kejadian itu hanya sekali. Itu juga di luar kendali aku. Makanya aku sampai sekarang menyesal. Andaikan aku nggak mampir, pasti aku nggak akan minum kopi buatannya. Tapi kalau nggak mampir, aku merasa nggak enak. Meta kan masih saudara jauhku. Jadi jangan bilang kalau aku punya simpanan, itu nggak benar. Aku menikahi Meta hanya karena rasa tanggung jawab saja, bukan karena aku suka atau cinta sama dia,” papar mas Haikal dengan wajah serius. “Ya sudah lah, semua sudah terjadi dan sudah berlalu juga. Oh ya, tadi Mas bilang kalau mau kasih aku buku tabungan dan ATM. Apa itu maksudnya?” ucapku dengan mata yang memicing padanya. “Aku telah menjual rumah kita, karena kamu nggak mau menempati. Aku lalu membuat rekening untuk menyimpan uang hasil penjualan rumah itu. Bagaimana pun kamu berhak atas harta yang aku miliki, Manda. Tujuh tahun kamu menjadi istriku, maka berhak atas harta gono gini saat kita bercerai. Jadi terima ya uang hasil penjualan rumah kita. Kalau kamu nggak mau, simpan untuk Pasya,” ucapnya yang lagi-lagi membawa Pasya dalam usahanya untuk membujukku. Aku memilih untuk diam. Hingga akhirnya mas Haikal pamit setelah menunggu jawabanku, tapi tak kunjung ada jawaban dariku. *** Keesokan harinya sekitar jam sepuluh pagi, ketika aku sedang mengawasi beberapa anak buahku yang sedang mengemas mpek-mpek, mas Haikal datang. “Wah, banyak ini orderannya.” Mas Haikal berkata sambil melangkah mendekatiku. “Alhamdulillah, aku kan semalam sudah bilang kalau usahaku ini laris manis,” sahutku dengan senyuman. Ada perasaan bangga saat mengatakan kalau usahaku laris manis. “Iya, alhamdulillah,” sahut mas Haikal. Dia lalu memperhatikan anak buahku yang sedang sibuk mengemas orderan. Di saat itulah muncul Pasya di ambang pintu garasi. Anakku yang sudah bisa berjalan walaupun masih tertatih, memekik senang melihat kedatangan papanya. “Pa...Pa...Pa.” Mas Haikal sontak menoleh dan tersenyum pada Pasya. Dia lalu melangkah ke arah anaknya dan menggendong serta menciumnya. “Anak Papa sedang apa di dalam tadi?” sapa mas Haikal. Pasya lalu membuka mulutnya sebagai jawaban kalau dia sedang makan roti. Mas Haikal dan aku sontak tertawa melihat ulah anak kami. Mas Haikal menoleh padaku dan menyerahkan amplop putih yang bentuknya memanjang. “Ini buku tabungan dan kartu ATM. Pin ATM itu, tanggal dan bulan serta tahun kelahiran kamu. Tahunnya dua angka dari belakang, ya.” Aku tertegun mendengar penuturannya, yang masih ingat hari kelahiranku. Aku saja sudah lupa kapan dia dilahirkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN