“Maaf, kalau boleh tahu kenapa kalian bercerai? Bukankah kalian ini pasangan serasi? Dari masih jaman kuliah dan setelah menikah, kalian tampak adem ayem.” Andi bertanya sambil menatapku lekat. Sorot matanya menunjukkan rasa keingintahuan yang begitu besar, membuatku menarik napas panjang.
“Intinya sudah nggak ada kecocokan saja di antara kami. Buat apa diteruskan kalau sudah nggak cocok,” jawabku diplomatis.
Jawabanku rupanya kurang memuaskan bagi Andi, hingga dia berusaha untuk menebak-nebak.
“Apa...ada orang ketiga?” tebaknya yang membuatku tersenyum kecut.
Aku memang sakit hati pada mas Haikal. Tapi, dia adalah mantan suamiku dan ayah anakku. Aku pernah mencintainya begitu dalam. Mas Haikal juga baik padaku, meskipun pada akhirnya dia menorehkan luka di hatiku. Tapi, itu bukan berarti aku harus membuka aibnya di depan orang lain. Tidak, aku bukan orang yang seperti itu. Biarlah aku, mas Haikal dan keluarga kami saja yang tahu penyebab perceraian kami. Orang lain termasuk Andi biarlah berada di luar pagar dan tak perlu tahu.
“Oh ya, kamu mau pesan apa? Kamu pasti sudah lapar, iya kan?” tanyaku mengalihkan perhatian.
Andi tersenyum dan paham kalau aku tak mau membahas soal masalah rumah tanggaku dengan mas Haikal.
“Aku pesan mpek-mpek saja deh. Aku pesan yang kapal selam dan yang lenjer ya, Manda. Terus minumnya es teh manis saja. Oh ya, aku pesan tekwan juga deh,” sahut Andi yang langsung aku angguki.
“Ok, tunggu sebentar. Karyawanku akan menyiapkan pesanan kamu,” sahutku dengan senyuman. Aku lalu melambaikan tangan ke arah salah seorang karyawanku, untuk memberitahu pesanan Andi. Setelah pesanan Andi sedang disiapkan, aku beringsut dari kursi. Aku berniat akan ke meja kasir. Namun, tiba-tiba tangan Andi mencekalku.
“Mau ke mana? Kita kan sudah lama nggak ketemu. Bisa kan kita ngobrol dulu, Manda. Kalau kamu keberatan aku tanya soal rumah tangga kamu, aku janji nggak akan bertanya lagi. Kita bicara yang lain saja,” ucapnya dengan senyuman, yang akhirnya aku angguki setelah dia berjanji tak ingin tahu soal penyebab perceraianku.
Di saat yang sama, anakku datang bersama dengan Adel.
“Ma!” panggil anakku ceria.
Aku menoleh dan langsung menghampiri Pasya. Kugendong anakku dan membawanya ke kursi yang tadi aku tempati.
“Wah, Haikal junior ini. Mirip banget sama papanya,” ucap Andi ketika aku sudah duduk di hadapannya.
“Iya, memang mirip. Kalau mas Haikal bilang, anaknya ini Haikal versi mini.” Aku tersenyum sambil mengecup pipi gembil Pasya.
“Umur berapa anak kamu, Manda?” tanya Andi.
“Minggu depan genap satu tahun,” jawabku kalem. Aku melihat kalau Andi terkejut mendengar jawabanku. Mungkin dia sedang menghitung lamanya aku berpisah dari mas Haikal. Biar saja itu hak dia, yang penting aku tak cerita padanya. Biarlah dia menebak-nebak sendiri.
“Dirayakan pastinya dong,” sahut Andi dengan senyuman, yang entah kenapa aku merasa kalau senyuman itu menyimpan suatu maksud.
“Iya, mas Haikal tadinya mau merayakannya dengan meriah. Tapi, aku keberatan. Jadinya akan kami rayakan di rumah orang tuaku saja, karena aku dan Pasya tinggal di sana pasca aku bercerai,” paparku yang membuat Andi menganggukkan kepalanya.
“Aku boleh datang nggak, Manda?” tanyanya dengan raut wajah memohon padaku.
“Boleh saja, sekalian kamu datang bersama dengan anak dan istrimu. Mungkin anakmu dan anakku bisa main bersama nanti. Terus aku bisa ngobrol sama istri kamu. Supaya bisa lebih mengenalnya,” sahutku yang membuat wajah Andi tampak sendu. Melihat perubahan wajahnya, aku jadi heran dan mulai menebak-nebak.
Aku memang belum terlalu kenal dengan istri Andi. Karena saat dia menikah, aku dan mas Haikal sedang berlibur ke Lombok. Setelah menikah, Andi langsung memboyong istrinya ke Sukabumi di mana dia bertugas kala itu sebagai dokter di RSUD. Jadi kami belum sempat bertemu secara langsung. Aku dan mas Haikal hanya mengucapkan selamat pada mereka melalui sambungan video call kala itu.
“Aku nggak bisa datang bersama mereka, karena mereka sudah tiada. Istriku meninggal dunia setelah melahirkan anak kami, dan anakku juga sudah nggak bisa diselamatkan lagi,” ucap Andi dengan tatapan sendu padaku.
“Oh, maaf.” Aku jadi merasa tak enak hati karena perkataanku tadi membuat Andi berubah sendu.
“Nggak apa-apa, Manda. Semua memang sudah menjadi suratan takdir. Mereka pergi secara bersamaan meninggalkan aku,” sahut Andi yang kini berusaha untuk tersenyum kembali.
Tak lama, pesanan Andi datang. Karyawanku meletakkan satu piring mpek-mpek dan satu mangkuk tekwan di atas meja.
“Selamat menikmati, semoga suka. Aku tinggal dulu ya, Ndi,” sahutku yang diangguki olehnya.
“Oh, ya. Kapan pastinya anakmu ulang tahun? Terus di mana alamat rumah orang tua kamu?” tanya Andi sebelum aku beranjak dari kursi.
Aku lalu menyebutkan tanggal pesta ulang tahun Pasya, dan alamat rumah orang tuaku. Setelah itu, aku beranjak dari kursi dan meninggalkan Andi yang mulai menikmati mpek-mpek.
***
Pesta ulang tahun Pasya berlangsung cukup meriah. Tamu undangan yang hadir selain kerabatku, juga anak balita di sekitar rumah orang tuaku. Pasya terlihat sangat senang dengan pesta ulang tahunnya yang pertama. Apalagi ada mas Haikal yang selalu bersamanya.
Tepat ketika acara potong kue akan berlangsung, Andi tiba di rumah orang tuaku. Hal itu membuat mas Haikal sontak terkejut. Dia lalu menoleh padaku dan berbisik di telingaku dengan sorot mata menyelidik.
“Kenapa dia datang? Kamu mengundangnya?” tanya mas Haikal tampak tak suka.
Aku baru saja akan menjawab, tapi Andi sudah ada di depan kami dan tersenyum pada Pasya.
“Selamat ulang tahun ya, Pasya. Semoga berkah usianya dan jadi anak yang saleh kebanggaan orang tua,” ucap Andi yang langsung aku aminkan. Begitu juga dengan mas Haikal, mengucapkan kata yang sama walaupun tanpa senyum di wajahnya.
“Aamiin.”
Andi lalu menyalami Pasya dan menyerahkan kado pada anakku itu. Aku membantu Pasya menerima kado dari Andi yang cukup besar ukurannya, entah apa isinya.
Setelah bersalaman dengan Pasya, Andi duduk di sebuah kursi di samping papaku. Dia tampak memperkenalkan dirinya pada orang tuaku. Kemudian acara potong kue pun dilanjutkan kembali. Setelah acara potong kue, dan membagikan kue ulang tahun pada anak-anak yang hadir, aku melangkah ke ruang tengah. Aku akan memberitahu saudaraku untuk mempersiapkan goody bag, yang akan diserahkan pada anak-anak sebelum mereka pulang. Aku tak tahu kalau mas Haikal mengikutiku. Aku pikir, dia bergabung bersama dengan Andi.
“Amanda, tunggu!”
“Ada apa?”
“Kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Kenapa Andi datang kemari? Apa kamu mengundangnya?” tanya mas Haikal lagi yang masih penasaran dengan jawabanku.
“Sebenarnya aku nggak mengundangnya, Mas. Dia kebetulan datang ke rumah makanku, dan berniat makan mpek-mpek. Dia nggak tahu kalau aku pemilik rumah makan itu. Terus saat ngobrol, datang Pasya. Dia tanya usia Pasya. Terus dia tanya juga kapan ulang tahunnya. Setelah aku jawab, dia tanya boleh datang atau nggak. Tentu saja aku jawab boleh. Memangnya kamu keberatan, Mas?” ucapku.
“Iya!”
Aku mengerutkan kening. “Kenapa?”
“Dia itu mau dekati kamu, karena kebetulan sekarang ini dia sudah jadi duda. Aku bertemu dia beberapa bulan yang lalu, dan dia cerita tentang istrinya yang meninggal saat melahirkan. Pasti dia mau mendekati kamu lah setelah tahu kamu sudah jadi janda juga,” sahut mas Haikal ketus.
“Kok dia bisa tahu?” tanyaku pura-pura karena ingin mendengar jawaban mas Haikal tentang Andi.
“Ya tahu, karena aku cerita juga sama dia kalau aku dan kamu sudah bercerai. Sungguh, aku nggak rela kalau dia mendekati kamu!” sahut mas Haikal yang membuat aku terkejut.
Tentu saja aku terkejut. Itu karena Andi ternyata sudah tahu tentang hancurnya rumah tanggaku dengan mas Haikal. Jadi dia hanya pura-pura tak tahu ketika berada di rumah makanku. Tapi, buat apa dia pura-pura tak tahu di depanku? Lalu kenapa mas Haikal langsung menebak kalau Andi akan mendekatiku, dan dia tak rela kalau hal itu terjadi? Ah, dasar laki-laki.