Curahan Hati

1139 Kata
Pov Haikal. Aku mantan suami Amanda Iskandar Prayuda. Ya, biarpun kami sudah resmi bercerai, tapi aku tetap menganggap dirinya sebagai istriku. Aku tetap menyematkan namaku di belakang namanya. Andaikan Manda tahu, dia pasti akan marah besar dan meminta aku supaya tak menyematkan nama Prayuda di belakang namanya. Namun, kenyataannya justru dia yang memberikan nama Prayuda di belakang nama Pasya, anak kami. Ah, senangnya mengetahui kenyataan itu. Walaupun aku tahu kalau Manda melakukan itu, bukan karena dia masih memiliki perasaan padaku. Tapi, karena memang Pasya berhak atas nama itu karena dia adalah anak kandungku. Oh ya, mengenai perasaan Manda padaku. Aku kurang yakin juga kalau dia sudah tak memiliki perasaan cinta padaku. Meskipun dia sangat membenciku, tapi benci dan cinta itu kan beda tipis. Oleh karena itu, boleh kan aku berharap agar kami bisa bersatu kembali. Lagi pula Amanda pernah menjanjikan padaku kalau kemungkinan rujuk itu selalu ada. Jadi sepertinya tinggal tunggu waktu saja. Apalagi ada Pasya yang bisa membuat kami bersatu kembali, menjadi suatu keluarga yang utuh. Kini aku sudah mengantarkan Manda dan Pasya ke rumah mantan mertuaku. Sedih juga rasanya ketika masuk ke dalam rumah itu dengan status sebagai mantan menantu. Padahal dulu aku merupakan menantu kesayangan, tapi semua itu jadi berantakan gara-gara jebakan Meta dan ibuku sendiri. “Assalamualaikum,” ucapku ketika memasuki rumah mantan mertuaku. “Wa’ alaikumsalam,” sahut mantan ibu mertuaku, yang terkejut melihat kedatanganku di rumahnya. “Haikal.” “Iya, Ma.” Aku langsung menyalami wanita paruh baya itu dan mencium punggung tangannya dengan takzim. Aku lalu menatapnya sambil tersenyum semringah. “Mama sehat?” “Alhamdulillah, Mama sehat. Kamu kok bisa sama Manda? Ketemu di mana?” tanya mantan ibu mertuaku itu dengan kening yang berkerut. Beliau lalu menatap Pasya yang anteng di pelukanku. “Kami ketemu di Bali, Ma. Kebetulan kami satu hotel di sana,” jawabku kalem. “Oh, ayo duduk dulu!” ucapnya ramah. Aku duduk di sofa ruang tamu. Amanda serta Adel sudah masuk ke dalam rumah, diikuti oleh mantan ibu mertuaku. Tak lama, muncul mantan ayah mertuaku. Aku pun lantas beranjak dari sofa untuk menyalaminya. “Apa kabar, Pa?” sapaku. “Alhamdulillah, baik.” Mantan ayah mertuaku itu lalu menatap Pasya dan tersenyum pada anakku. “Pasya anteng banget sama papanya. Kangen ya sama papa, Nak.” “Sepertinya begitu, Pa. Mungkin karena ikatan batin, Pasya langsung lengket sama aku,” sahutku yang membuat mantan ayah mertuaku tersenyum. “Pasya semakin besar, semakin mirip dengan kamu. Alhamdulillah, jadi tidak menimbulkan fitnah karena Manda hamil di saat proses cerai berlangsung,” ucap mantan ayah mertuaku. “Andaikan aku tahu kalau Manda hamil, tentu aku tak akan setuju bercerai dengannya. Lagi pula aku memang tak ingin berpisah dengan Manda, Pa. Sampai sekarang saja aku masih menganggap dia sebagai istriku,” sahutku lirih. Aku lalu memandang anakku yang anteng di atas pangkuanku. “Jangan begitu, Haikal. Kalian sudah resmi bercerai dan kamu juga sudah menikah. Jadi hilangkan perasaan kamu itu. Hubungan kamu dan Manda hanya sebatas orang tua Pasya,” cetus ayah Amanda. “Tapi, aku tak menginginkan pernikahan itu, Pa. Aku tak bahagia hidup dengan perempuan itu. Kebahagiaan hidup berumah tangga hanya aku dapatkan ketika bersama dengan Amanda,” sahutku jujur dan tiba-tiba saja hatiku terasa plong ketika sudah mencurahkan isi hatiku. Selama ini aku hanya memendam perasaan ini seorang diri, dan itu yang membuatku semakin merindukan Amanda. Mantan ayah mertuaku itu menghela napas panjang dan menatap lekat. “Kalau kamu tak merasa nyaman dengan perempuan itu, kenapa dia sampai hamil? Itu yang Amanda tak terima hingga dia memilih untuk berpisah dengan kamu. Dia terluka dengan pengkhianatan kamu, Haikal,” ucap mantan mertuaku dengan tenang. Tapi, aku tahu di balik suara tenangnya itu menyimpan sebuah kekecewaan yang teramat dalam. “Aku dijebak, Pa. Entah apa yang ada dalam kopi buatan Meta. Setelah meminum kopi itu, aku merasa ada keanehan dalam diriku. Amanda sudah tahu juga tentang hal ini, karena aku sudah katakan berulang-ulang padanya. Kalau Papa tanya, kenapa aku bisa bersamanya? Itu karena ibuku yang minta aku untuk mengantar Meta pulang. Saat itu, aku ditelepon ibuku untuk ke rumahnya. Di sana rupanya sudah ada Meta. Aku bersedia mengantar Meta pulang, karena aku pikir sekalian aku pulang ke rumah. Tapi, ternyata Meta minta aku mampir dulu untuk sekedar minum kopi di apartemennya. Aku yang ingin menghargainya, lalu menerima tawarannya itu. Aku pikir, nggak masalah mampir hanya sebentar saja. Tapi, justru itulah awal mulanya petaka rumah tanggaku dengan Amanda. Sekarang tinggal penyesalan karena aku harus kehilangan istri yang sangat aku cintai,” jelasku dengan perasaan yang campur aduk. Apalagi aku melihat Amanda yang berdiri di samping dinding ruang tamu, sambil membawa nampan berisi dua gelas minuman. Amanda lalu melangkah mendekati meja, dan meletakkan dua gelas minuman di atas meja. Tatapannya kemudian tertuju pada anakku yang tampak anteng. Namun, setelah diperhatikan lagi ternyata Pasya mengantuk. Ah, anakku ini bikin aku malas untuk pulang. “Sebaiknya Pasya aku bawa ke kamar sekarang, Mas. Dia sudah ngantuk dan mungkin juga capek setelah melakukan perjalanan jauh,” ucap Amanda. Aku menganggukkan kepala, dan membiarkan Amanda meraih tubuh Pasya. Namun, Pasya menangis saat Amanda akan menggendongnya. Akhirnya aku memutuskan untuk menggendong anakku hingga ke dalam kamar. “Pa, aku permisi dulu untuk membawa Pasya ke kamar,” ucapku pada mantan ayah mertuaku, karena bagaimanapun sebagai mantan menantu, aku harus ijin dulu sebelum masuk ke kamar. Apalagi masuk ke dalam kamar Amanda. “Silakan! Kalau Pasya sudah nyaman di kasur, sebaiknya kamu keluar dari dalam kamar. Tak pantas kalau kalian berduaan di dalam kamar. Kalian bukan lagi pasangan suami istri,” sahut mantan ayah mertuaku tegas, yang spontan aku anggukkan kepala. Aku lalu melangkah ke kamar Amanda sambil menggendong anakku. Sementara Amanda mengikutiku dari belakang. Aku yang sudah hapal luar kepala dengan seluk beluk rumah ini, tak perlu tanya lagi untuk menemukan kamar mantan istriku. Aku segera membuka pintu kamar yang berada di samping ruang tengah, dan melangkah ke arah tempat tidur. “Pasya bobo ya, Sayang. Sudah malam sekarang. Besok kita main lagi, ya,” bisikku di telinga anakku. Pasya memejamkan matanya. Aku lalu memiringkan tubuh anakku, dan memasangkan guling kecil untuk Pasya peluk. Tanganku terus mengusap lembut punggung Pasya, hingga akhirnya anakku itu tertidur pulas. Aku lupa akan pesan ayah Amanda tadi. Aku tetap duduk di tepi tempat tidur, dan memandang anakku yang tidur nyenyak. Ada perasaan heran di diri ini ketika menemani Pasya tidur. Rasa yang enggan untuk beranjak dan terus ingin memeluknya dengan erat. Padahal aku tak pernah seperti ini kalau di rumahku. Aku tak pernah menemani Darel-anakku dengan Meta, kalau anak itu hendak tidur. Aku hanya melihatnya saja ketika anak itu sudah tertidur. Yang lebih heran lagi, tidak ada kemiripan antara aku dan Darel. Berbeda dengan Pasya, yang sangat mirip denganku. Kini banyak pertanyaan hinggap di kepalaku. Kenapa Darel tak ada kemiripan denganku? Ini yang harus aku cari tahu jawabannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN