Bab 3 : Awal yang baik

1116 Kata
“Lo gapapa Ga?” tanya Dinda saat melihat ekspresi Vega yang menyedihkan. Gadis itu melipat tangannya di atas meja. Lalu menelungkupkan wajahnya. Kakinya menendang-nendang kecil kaki meja. Pertanyaan Dinda hanya dijawab rengekan oleh Vega. Dinda hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Vega. “Udahlah Ga. Jangan sedih terus. Belajarnya lebih giat lagi. Biar bisa ngerjain ujiannya,” hibur Dinda mengelus kepala sahabatnya itu. “Kalo sampai bokap gue tau nilai gue jelek pasti habis gue, Din,” jawab Vega sendu. Dinda menghela nafas melihat tingkah Vega. Gadis itu pun menarik tangan Vega. “Pulang yuk! Udah sepi nih sekolah. Udah siang juga,” ujarnya. Vega pun bangkit dengan malas-malasan. Gadis itu membiarkan tangannya ditarik Dinda. Lalu Vega pun mengikuti arah Dinda berjalan. Mereka menuju ke tempat parkir sekolah. “Mampus deh gue,” gumam Vega lemah. Wajahnya begitu lesu dan muram. Dia khawatir nanti pada apa yang terjadi saat papanya tau nilai ujiannya yang buruk. Dinda mengelus pelan punggung Vega, mencoba menghiburnya. “Kita coba deh minta belajar bareng sama temen kita yang pinter. Barangkali nanti kita bisa lebih paham kalo belajar bareng.” Vega mengerutkan dahinya. “Emang mau belajar sama siapa? Yang pinter di kelas kan cuma Evara. Terus lo mau belajar bareng dia gitu? Dih.. Kalo gue sih ogah. Tuh anak kan songongnya minta ampun!” balas Vega. Dinda meringis kecil. “Iya juga sih. Kalo belajar sama Evara juga gue ogah,” ujarnya. Gadis itu terlihat berpikir. Dia ingin mengatakan sesuatu pada Vega namun ragu. “Kalo ada temen lain yang bisa dimintain tolong sih gue mau, Din.” Dinda menggigit bibir bawahnya pelan. “Sebenernya ada sih temen kita yang pinter. Bahkan dia lebih pinter dari Evara. Tapi ya gitu...” ujarnya lirih. “Ya gitu gimana?” Dinda meringis. “Dia itu... gimana ya gue bilangnya?” Vega mengerutkan dahinya. Matanya yang cantik menyipit, menatap sahabatnya curiga. “Lo nyembunyiin apa sih, Din?” Dinda sontak menggeleng cepat. “Ng-nggak! Bukan apa-apa, kok!” “Masa? Biasanya lo nggak gini deh. Ada yang lain. Lo kayaknya lagi nyembunyiin sesuatu dari gue. Iya kan?” tebaknya. Dinda lagi-lagi menggeleng. Ekspresi gugupnya makin membuat Vega curiga. “Nggak, kok. Beneran deh! Gue nggak nyembunyiin apa-apa dari elo!” balasnya cepat. Vega mendesah pelan. “Terus yang tadi gimana? Katanya ada temen kita yang bisa ngajarin itu siapa?” Dinda tersenyum tipis pada Vega. “Elo mungkin nggak kenal dia, sih. Karena dia itu pendiem banget. Tapi dia pinter banget, Ga. Sumpah gue nggak bohong!” “Beneran?” Dinda mengangguk cepat. “Dia berkali-kali menang olimpiade. Dia juga jadi juara umum tiap tahun.” Vega terdiam sejenak. Gadis itu memutar otak, berusaha mencerna penjelasan Dinda. Sepertinya Vega tau orang itu. Apa mungkin... “Siapa namanya?” "Heh? Siapa?” “Nama temen kita yang lo bilang itu. Namanya siapa?” desak Vega. Dinda kembali menggigit bibirnya. Raut ragu terlihat jelas di wajah cantik gadis itu. Meski begitu, Dinda tetap mengatakannya juga. “Namanya... Lian. *** “Bang Lian! Ada yang nyariin tuh!” ujar Adit saat Lian melipat sajadah dan melepas kopyah yang dipakainya setelah sholat. Lian mengernyit. Dahinya mengkerut bingung. Bukannya tadi Silla sudah menitip pesan pada Bang Restu, tetangga Lian kalau dia tidak jadi belajar bersama? Kenapa sekarang tiba-tiba datang, pikir Lian. “Suruh Kak Silla tunggu sebentar ya, Dit!” ujarnya lalu melepas sarung dan melipatnya. Adit menggeleng pelan. “Bukan Kak Silla, Bang.” Lian menaruh sarung yang tadi dipakainya sholat ke atas kasur. Lalu beranjak mendekati Adit. “Terus siapa?” tanyanya. Adit mengendikkan bahu. “Nggak tau, Bang. Kayaknya sih temen Abang.” Lian pun hanya mengangguk lalu tersenyum tipis pada Adit. Mengusap punggungnya lembut. “Ya udah. Kamu belajar gih sana sama adik-adik!” Adit hanya mengangguk lalu menuruti ucapan Lian dan segera menuju ruang tengah dimana tempat anak-anak lain sedang belajar. Lian pun dengan segera keluar dari kamar dan beranjak menuju kamar depan. Sesaat kemudian dia melihat seorang gadis yang sedang berdiri membelakanginya. Gadis itu sepertinya sedang asyik melihat-lihat suasana di sekitar panti asuhan tempat Lian tinggal. Lian menatapnya lekat, mencoba mengenali pemilik punggung itu. Namun tidak tidak juga mengetahuinya. Lian pun akhirnya membuka suara, “Maaf. Siapa ya?” tanyanya. Sepertinya gadis itu terkejut mendengar suara Lian yang tiba- tiba. Gadis itu pun membalikkan tubuhnya sambil memegangi dadanya yang masih berdebaran. “Vega?” kata Lian kaget. Gadis itu yang tadinya melotot karena terkejut, kini berubah menjadi tersenyum tipis pada Lian. “Hai!” sapanya. “K-kamu ngapain disini?” Lidah Lian mendadak kelu saat menyadari Vega lah orang yang ada di depannya. Dan selanjutnya gadis yang muncul di belakang Vega makin menambah keterkejutan Lian. “Dinda?” Dinda melambaikan tangannya. “Hai, Li!” sapanya. “Kalian ngapain kesini?” tanya Lian bingung. “Kita mau belajar, Li. Bolehkan?” Lian terdiam untuk beberapa lama. Dia terlihat tidak setuju namun pemuda itu merasa tidak enak untuk menolak. Dinda yang seolah tau pemikiran Lian pun membuka suaranya. “Boleh ya, Li? Kan kamu udah janji mau belajar bareng aku. Boleh ya? Please...” pinta Dinda memelas. Lian menggeleng pelan. “Tapi kamu bilang sendiri. Aku nggak tau kalau kamu bawa... Maksudku kamu harusnya bilang dulu, Din.” Dinda berdecak kecewa akan jawaban Lian. Pun dengan Vega yang terlihat sedih mendengarnya. Gadis itu merasa begitu sedih akan penolakan Lian saat ini. Dia yang tadinya sudah sedih saat tau kedekatan Lian dan Dinda, kini makin bertambah sedih. Padahal Vega harusnya sudah mengira-ngira jika Dinda mengenal Lian. Mereka satu organisasi. Keduanya sama-sama menjadi anggota OSIS meski kini sudah kurang aktif karena mereka sudah naik kelas tiga dan akan menghadapi ujian. Jadi mereka sudah tidak begitu aktif dengan kegiatan OSIS. “Ayolah, Li... Please... Vega juga kan temen kita. Dan dia pengen belajar bareng. Boleh ya?” Lian tidak menjawab. Dia hanya menghela nafas panjang. Sulit baginya untuk mengatakan iya. Sulit karena itu Vega. Seandainya itu teman yang lain, pasti Lian akan terima. Tapi kalau Vega... “Aku mohon, Li. Tolonglah... Kata kamu kan ilmu itu harus dimanfaatkan. Jadi kamu nggak akan rugi kalau manfaatin ilmu kamu buat ngajarin kita. Iya nggak, Ga?” Vega hanya mengangguk pelan saat lengannya disikut oleh Dinda. Gadis itu tidak sadar jika sejak tadi dia hanya diam sembari memandangi Lian saja. “Boleh ya, Li Bolehkan?” Lian mendesah pelan. Dia memang tidak punya pilihan. Karena dia sudah berjanji pada Dinda akan belajar bersama. Dan kalau dia hanya mengajari Dinda sementara ada Vega juga, itu tidak adil. “Li...” panggil Dinda dengan wajah memelasnya. Akhirnya Lian pun mengangguk setuju dan membuat Dinda bersorak senang seketika. Vega tersenyum lega. Mungkin ini adalah awal baru atas membaiknya hubungannya dengan Lian. _Altair&Vega_
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN