Bell sekolah pun berbunyi. Tanda ujian jam kedua telah usai. Semua siswa langsung berhamburan keluar kelas. Seorang siswi keluar kelas dengan wajah lesu. Wajahnya ditekuk. Bibirnya manyun dia sangat kesal karena semua materi yang dia pelajari semalam sia-sia. Karena nyatanya dia tidak bisa mengerjakan soal ujian dengan baik.
Gadis itu menghentak-hentakkan kakinya di lantai. Beberapa saat kemudian, seorang siswi lain menghampirinya.
“Muka lo kenapa Ga?” tanya Dinda, sahabatnya.
Gadis itu merengut kesal. “Sebel gue!” gerutunya.
Dinda menautkan dahinya melihat ekspresi lesu Vega. “Sebel kenapa?” tanyanya.
Vega menghela nafas berat. Lalu mendongak menatap sahabatnya yang terlihat bingung.
"Masa gue udah belajar semaleman. Hafalin semua rumus. Tapi pas ngerjain soal ujian gue sama sekali ngga bisa,” desahnya kecewa.
Dinda menepuk pundak Vega yang menunduk lesu. “Gue juga sama kayak lo Ga. Dari soal kimia dua puluh pilihan ganda, cuma gue jawab sepuluh doang. Terus sepuluh essai cuma gue kerjain lima. Sumpah! Parah banget.”
Mereka berdua bersandar lemas di dinding luar kelas. Melihat para siswa yang berjalan keluar kelas menuju gerbang. Dari kejauhan, Vega melihat sosok seorang pria berkaca mata yang sedang celingukan di tempat parkir. Pemuda itu terlihat kebingungan.
Diam-diam Vega beranjak menuju tempat pemuda itu berdiri. Vega bersembunyi di balik pohon besar disana. Vega mengintip pemuda itu dari balik tempatnya bersembunyi. Tidak beberapa lama kemudian Pak Madji, satpam di sekolahnya terlihat menghampirinya.
“Sepedanya kenapa, Li?” tanyanya.
Lian menoleh pada Pak Madji yang kini sudah ada di hadapannya. “Ini Pak, bannya kempes.” Lian menunjuk pada ban sepedanya.
Pak Madji berjongkok memeriksa ban sepeda Lian yang kempes tersebut. “Ini sih robek Li. Lah ini kan ada bekas sayatan di bannya. Pasti kerjaan anak iseng lagi!” ujarnya.
Lian menghela nafas panjang. Dibully dan dikerjai oleh teman sekolahnya sudah biasa dia terima. Entahlah apa salahnya Lian pun tidak tau. Mungkin karena penampilannya yang culun dan udik. “Ya udahlah Pak. Saya pulang aja,” ucap Lian bersiap menuntun sepedanya.
Namun satpam itu menahan langkahnya.
"Tunggu Li! Sepedanya kamu tinggal aja deh. Ntar bapak benerin di rumah.”
Selain bekerja sebagai satpam, Pak Madji juga seorang tukang tambal ban. Pria itu berganti profesi membuka jasa tambal ban di pinggir jalan sepulang dari sekolah elit itu.
“Beneran Pak? Gapapa sepedanya saya tinggal?” tanya Lian ragu-ragu.
Satpam itu mengangguk mengiyakan. “Gapapa Li. Ini ban harus diganti soalnya. Udah robek gini. Nggak bisa kalo di tambal. Ntar biar Bapak benerin di rumah!”
“Tapi saya nggak ada uang Pak. Belum gajian. Kalo bayarnya belakangan aja gimana?” tanya Lian pada satpam itu.
Satpam tersebut mengibaskan tangannya di depan Lian."Udah. Ngga usah dipikirin itu. Kapan-kapan bisa.”
Lian tersenyum senang. “Beneran pak?” tanyanya.
Satpam itu mengangguk. “Iya."
“Alhamdulillah. Ya udah deh Pak. Saya pulang dulu,” pamit Lian yang dijawab dengan anggukan oleh Pak Madji.
Lian bergegas keluar sekolah buru-buru. Sudah pukul setengahdua belas, Anisa pasti sudah menunggunya. Dengan berlari-lari kecil, Lian pergi ke sekolah Anisa. Dia tidak ingin adiknya menunggu terlalu lama.
Sepeninggal Lian dan satpam itu, Vega keluar dari balik pohon tempatnya bersembunyi tadi. Gadis itu memandang punggung Lian yang menjauh penuh arti. Sungguh dia merasa prihatin dengan apa yang dialami Lian. Bukan sekali dua kali dia mengetahui Lian dikerjai teman-temannya.
Sebuah tepukan di bahunya mengagetkan Vega dari lamunannya tentang Lian. Gadis itu terlonjak kaget saat seseorang berdiri di sampingnya.
“Astaga! Dinda! Lo ngagetin aja sih. Kalo gue jantungan terus mati disini gimana?” serunya pada Dinda.
Dinda hanya terkekeh mendengar Vega mengomel tanpa henti seperti kereta api. Sementara itu Vega memandangnya tajam.
“Ketawa mulu ih. Nyebelin tau nggak!” ucap Vega sebal.
“Ya elah. Jangan marah dong. Gitu doang marah. Ntar cantiknya ilang loh!” rayu Dinda mengedip-ngedipkan matanya lucu.
Vega mendengus kesal lalu berlalu begitu saja meninggalkan dinda di tempat parkir. Dinda jadi bingung sendiri melihat tingkah Vega.
***
“Nisa!” panggil Lian saat melihat gadis kecil berkuncir kuda sedang berdiri bersandar di gerbang sekolah.
“Bang Lian!” serunya senang sambil melambaikan tangannya antusias ke arah Lian.
Gadis kecil itu langsung berhambur memeluk Lian. Lian tertawa kecil dan membalas pelukannya. “Lama ya nunggunya? Maaf ya Nis.”
Anisa langsung melepaskan pelukannya dan memukul kecil lengan Lian. “Iya nih. Bang Lian lama banget. Hampir aja tadi aku pulang sendiri,” balasnya jutek.
Lian tertawa kecil. Lalu mendekat ke arah gadis kecil itu. “ Tadi sepeda Bang Lian bannya bocor. Jadi Bang Lian tinggal di sekolah. Terus kesini jalan kaki,” jelasnya.
Anisa menoleh ke arah Lian. Lalu memandangnya penuh selidik. Melihat Lian dari atas hingga bawah. Terlihat titik-titik keringat memenuhi dahinya. Lalu matanya mencari-cari sesuatu. Anisa menyipitkan mata menatap Lian. “Beneran sepeda Bang Lian bannya bocor?” tanyanya penuh curiga.
Lian mengangguk. “Beneran. Makanya Bang Lian jalan kaki kesini. Tuh liat ada sepeda Bang Lian nggak?”
Anisa menghela nafas pelan. “Ya udah deh. Ayo pulang! Huuh... Padahal aku kan pengen pulang naik sepeda!” gerutunya.
Lian menatap sendu pada gadis kecil itu. Seandainya ban sepedanya baik-baik saja, pasti Anisa tidak akan kecewa seperti ini. Sedih rasanya melihat gadis kecil yang biasanya ceria itu mendadak lesu.
Lian menahan tangan Nisa. Lalu berjongkok di hadapannya, “Naik Nis. Bang Lian gendong sampai rumah!” ucap Lian seraya menepuk bahunya.
Anisa menatap Lian tak percaya. “Bang Lian mau gendong nisa?” tanyanya.
Lian mengangguk. “Iya. Ayo naik!” suruhnya.
“Gapapa Bang? Ngga berat ya?” tanya gadis kecil itu ragu.
Lian mengangguk mantap. Gadis kecil itu langsung bersorak bahagia. Dengan cepat dia naik ke punggung Lian dan memeluk leher pemuda tampan itu. Mereka pun pulang bersama. Sepanjang perjalanan mereka bercanda ria. Tanpa mereka tau seorang pria mengawasi mereka.
Pria itu memandangi badan kurus Lian dari kejauhan dengan wajah sendunya. Rasa sedih dan sesal memenuhi hatinya. Sebenarnya dia sangat ingin menghampiri pemuda yang sedang tertawa-tawa bersama gadis kecil itu. Dia ingin menghampirinya dan mengatakan bahwa dia adalah papanya dan mengajak Lian pulang bersamanya.
Namun rupanya rasa malu dan gengsi mencegahnya melakukan itu. Dia tidak bisa mengajak putranya pulang meski dia sangat ingin, meski istrinya sangat butuh putra mereka.
Nasi sudah menjadi bubur. Meski dia menyesal telah membuang putranya, namun dia tidak akan bisa mengajaknya kembali. Baginya, yang sudah dia lepaskan tidak mungkin dia ambil kembali.
***
Lian berjalan dengan bersemangat ke kios Bang Dadang. Sesuai dengan janjinya, setelah pulang sekolah, Lian akan mengantarkan majalah yang tadi pagi belum sempat dia antarkan.
Saat Lian sampai di sana, Bang Dadang terlihat sedang berbincang dengan beberapa orang loper koran yang tadi pagi dia temui. Bang Parman dan Faisal. “Assalamualaikum,” sapa Lian.
Ketiga orang yang tadi mengobrol serius pun menoleh dan menjawab salamnya. “Waalaikumsalam. Eh... elo, Li. Udah kesini aja lo!” kata Bang Dadang.
Lian tersenyum tipis. “Iya Bang. Kan udah janji tadi pagi mau nganter majalah. Ngomong-ngomong kok Bang Parman sama Bang Faisal belum pulang?” tanyanya.
“Kita baru dari rumah sakit, Li. Tadi nganter si Jono. Dia kecelakaan tadi pagi. Pas jualan koran di perempatan,” ujar Bang Parman.
Lian membulatkan matanya terkejut. “Beneran Bang? Terus gimana keadaannya Bang Jono?” tanyanya serius.
Bang Dadang terlihat menghela nafas berat. “Kakinya patah, Li. yang nabrak kabur. Kasian tuh si Jono. Baru juga korannya laku sepuluh biji,” desah Bang Dadang sedih.
Lian menunduk, prihatin atas nasib temannya. Kasihan memang si Jono. Dia seorang duda. Baru menikah empat bulan. Tapi sudah bercerai dengan istrinya. Lantaran sang istri lebih memilih ikut dengan orang tuanya dari pada hidup berkekurangan bersamanya.
“Ya udah deh Bang. Lian mau nganter majalah dulu. Ntar kalo ada waktu Lian ikut ke rumah sakit ya jengukin Bang Jono,” ujar Lian pada akhirnya dan ditanggapi anggukan kepala oleh orang-orang disana.
“Sepeda lo mana, Li?” tanya Bang Parman saat tidak melihat sepeda Lian.
“Bannya bocor, Bang. Jadi Lian tinggal di sekolah tadi siang,” jawabnya beralasan.
Mana mungkin Lian berani bilang jika sepedanya sengaja dirusak teman sekolahnya yang jahil. Bisa-bisa Bang Dadang dan semua loper koran di daerah itu mendatangi sekolahnya dan menghajar orang itu hingga babak belur. Bang Dadang kan dulunya preman. Terus berhenti lalu menikah dan membuka kios koran.
“Terus lo nganter majalahnya gimana? Nganter koran besok?”
“Sekarang Lian jalan aja, Bang. Tadi sepedanya dibawa satpam di sekolah Lian. Mau diganti ban. Paling ntar malem Lian ambil ke rumahnya,” jelas Lian.
Pria kekar bertato itu pun mengangguk pada Lian. "Ya udah. Lian jalan ya, Bang. Keburu sore,” pamit Lian.
“Hati-hati, Li!” seru Bang Dadang pada Lian saat pemuda itu mulai berjalan menjauh. Dan Lian hanya membalas dengan lambaian tangan.
***
Vega turun dari tangga dengan malas-malasan. Moodnya sejak di sekolah tadi down. Karena ujian kimianya hanya beberapa soal saja yang dia jawab. Bahkan hari sebelum ujian, Vega sudah belajar mati-matian. Belum lagi ikut les privat dengan guru les yang mengajar di sebuah universitas terkenal di Jakarta.
Jadi sudah dipastikan kemampuannya mengajar. Tapi anehnya Vega justru tidak bisa paham sana sekali. Padahal guru les itu sengaja dipekerjakan oleh ayahnya untuk membimbing Vega belajar.
Vega sudah hampir sampai di ruang makan. Saat dia mendengar suara gelak tawa dari teras depan rumahnya. Vega mengernyitkan dahinya. Dia berfikir siapa yang tertawa seperti itu. Sampai terdengar ke dalam rumah.
Vega pun beranjak ke ruang tamu. Gadis itu berjalan dengan cepat pergi dari ruang makan. Tanpa menjawab panggilan Bi Minah yang menyuruhnya segera makan.
Saat Vega sampai di depan pintu, suara tertawa itu makin jelas. Bahkan kini bukan hanya ada satu. Namun beberapa orang sedang tertawa bersama.
Karena penasaran, Vega pun mengintip dari balik jendela. Ada pak Ujang, sopirnya. Dan juga Kang Samsul, satpam rumahnya. Ada juga Teh Ririn, istri Kang Samsul yang juga bekerja di rumahnya.
Vega pun beranjak membuka pintu. Berniat menegur ke empat orang yang sudah menganggu acara makan siangnya. Vega keluar lalu menatap tajam pada ke tiga orang itu.
“Aduh... ini ada apaan sih. Berisik banget. Aku jadi keganggu nih makannya!” sungutnya.
Ketiga orang itu pun melongo menatapnya. Mereka semua terdiam di tempat. Sampai gadis itu pun bingung. Kenapa tidak ada yang membuka suara.
Tidak beberapa lama, terdengar suara deheman orang dari belakangnya. “Maaf.. aku yang salah. Aku yang ngajakin mereka ngobrol. Maaf kalau ganggu.”
Vega berbalik. Dan seketika jantungnya serasa berhenti berdetak. Vega membulatkan matanya memandan orang di hadapannya tanpa kedip. “Elo?” kata Vega kaget.
Orang itu mengangguk pelan. Lalu menyodorkan sebuah majalah pada Vega. “Maaf. Niatnya tadi aku cuma mau nganter ini,” ujarnya.
Senyum manis menghiasi bibirnya.
Vega hampir-hampir pingsan saat melihat senyum termanis yang pernah dia lihat seumur hidupnya. Lama Vega memandang orang itu.
Hingga akhirnya orang itu pun berpamitan hendak pulang. Mendadak rasa sedih menyelinap di hatinya. Rasanya Vega sedikit tidak rela melihat senyuman itu menghilang.
“Saya pulang dulu ya, Pak Ujang, Kang Samsul, Teh Ririn. Udah sore,” pamit Lian.
Vega terdiam saat Lian menangguk kecil berpamitan padanya. Gadis itu seperti orang bodoh yang hanya diam di tempatnya berdiri tanpa bisa mengatakan apa-apa.
Seketika orang-orang yang tadinya berkumpul di depan teras pun mencar. Kembali pada pekerjaannya masing-masing. Pak Ujang kembali mencuci mobil. Lalu Kang Samsung kembali ke pos. Dan Teh Ririn menyapu halaman.
Semuanya sudah kembali pada posisinya semula. Hanya Vega yang masih bertahan. Berdiri terdiam. Melongo tanpa tau harus berbicara apa. Sementara jantungnya yang tadi rasanya tidak berdetak. Kini berdebaran kencang. Dia tidak menyangka Lian akan berbicara padanya.
Setelah hampir tiga tahun berlalu, akhirnya pemuda itu mau memandangnya dan memanggil namanya. Mata Vega berkaca- kaca. Bayangan dirinya dan Lian berlari bersama di lapangan beberapa tahun lalu tiba-tiba berkelebat di benaknya.
Gadis itu mendesah pelan, menyesali apa yang dia lakukan sehingga Lian menjauhinya. Seandainya saja waktu bisa diputar kembali, tentu dia tidak ingin memperbaiki kesalahannya dengan tidak membohongi Lian. Tapi nyatanya dia tidak mungkin bisa melakukan itu.
Dan dengan sepenuh hati, gadis itu berharap dia bisa memperbaiki kesalahannya saat ini. Dia berharap bisa memiliki kesempatan untuk itu.
Altair&Vega_