Bab 4 : Hujan yang menyatukan kita

3852 Kata
Dinda tersenyum girang setelah berhasil mengumpulkan kertas ujiannya di meja guru. Dia segera mengambil tasnya dan buru-buru menyusul Vega yang sudah lebih dulu keluar. “Vega!” pekiknya senang. Dia tidak ragu-ragu untuk memeluk Vega erat. “Ya ampun... Lo tau nggak? Semua soal fisika tadi gue kerjain semua. Dan ternyata itu gampang banget. Sumpah! Nggak sia-sia kita belajar sama Lian!” Gadis itu berjingjrak-jingkrak kesenangan dan membuat tubuh Vega ikut bergerak. “Pokoknya setelah ini kita harus terus belajar sama Lian, Ga! Dia itu emang top banget sumpah!” Dinda menangkup kedua pipinya sendiri sambil tersenyum bahagia. Matanya berbinar-binar cerah. Vega hanya tersenyum tipis membalas pernyataan Dinda. Bukan dia tidak senang jika bisa belajar bersama mereka. Dia senang, sangat senang karena akhirnya dia bisa kembali dekat dengan Lian setelah hampir tiga tahun mereka saling menjauh. Tapi caranya itu yang dia tidak suka. Dari sekian banyak temannya di sekolah kenapa harus Dinda? Vega kurang suka melihat kedekatan gadis itu dengan Lian. Lihat saja bagaimana akrabnya mereka berdua sekarang. Dinda memang ramah. Vega tau dia gadis yang baik dan gampang akrab dengan orang. Tapi keramahan dia kali ini berbeda. Vega bisa melihat sorot penuh kagum dan suka dari mata sahabatnya itu. Dan itu membuatnya tidak senang. Apalagi dengan sikap Lian yang juga menerima Dinda dengan baik. Dia bisa tersenyum dan banyak bicara dengan gadis itu. Sementara dengan dirinya? Bicaranya terlalu irit. Namun Vega juga sadar akan kesalahannya di masa lalu. Dia tau jika pemuda itu masih marah padanya. Ya, siapa yang tidak marah jika dibohongi habis-habisan seperti dia membohongi Lian? Dari kejauhan, Vega memandangi sosok Lian dan Dinda yang tengah mengobrol serius. Lalu keduanya tertawa bersamaan. Entah kenapa dia jadi sedih. Vega berbalik badan. Dengan langkah pelan dia pun berjalan menjauh dan semakin menjauh dari kedua insan tersebut. *** “Assalamualaikum,” ucap Lian saat masuk ke dalam rumah setelah menyenderkan terlebih dahulu sepedanya di dinding teras. Terdengar samar-samar suara jawaban salam dari dalam rumah. Lian pun segera masuk ke dalam rumah dan menghampiri Bu Hanna yang sedang sibuk di dapur. Lian segera meraih tangan wanita yang sudah membesarkannya bertahun-tahun itu lalu menciumnya. Bu Hanna yang terkejut pada mulanya akhirnya tersenyum memandang Lian. “Udah pulang Li?” tanyanya. Lian mengangguk. “Hari ini cuma satu mata pelajaran yang diujikan, Bu. Jadi pulangnya lebih awal,” jawabnya. Lian meraih gagang pengaduk sayur yang ada di panci lalu sesekali memakainya untuk mengaduk sup di atas kompor. “Ganti dulu sana! Terus makan,” ujar Bu Hanna lalu mengambil alih gagang sendok yang dipegang Lian. Lian mengangguk sekilas lalu mengambil tasnya yang tadi dia letakkan begitu saja di lantai dapur. “Ibu mau jualan lagi?” tanyanya. Wanita paruh baya itu mengangguk. Sesekali dia membenahi jilbab panjangnya agar tidak menyentuh kompor. “Ibu kan masih sakit. Kenapa nggak bikin kue aja dulu. Ntar kalo udah sehat bener baru mulai jualan lagi,” ucap Lian lembut. Wanita itu tersenyum lembut pada Lian. “Ibu udah sembuh Li. Kelamaan nganggur malah bikin badan Ibu sakit semua. Kalo udah gerak gini kan Ibu jadi lebih sehat,” jelasnya. Lian menatap dalam wanita itu. Sejenak dia terdiam. Mana mungkin penyakit kanker darah bisa sembuh begitu saja. Lian bukannya tidak tau jika Ibu Hanna menderita penyakit mematikan itu. Lian sempat mendengar pembicaraan antara Bu Hanna dan Ibu Aisyah beberapa minggu lalu. Saat itu Bu Hanna pulang dari rumah sakit dengan wajah sendu. Setelah hampir seminggu beliau dirawat di rumah sakit, beliau meminta pulang dan berobat jalan. Lalu wanita itu dengan segera masuk ke kamarnya diikuti oleh Ibu Aisyah, temannya di belakangnya. Lama setelah itu mereka tidak keluar kamar. Sampai Lian yang merasa cemas dan penasaran pun menguping pembicaraan mereka. Saat itu Bu Hanna menangis terisak bersama Ibu Aisyah di kamarnya. Bu Hanna dengan air mata yang tidak henti mengalir pun mengatakan hasil tes darah dari rumah sakit yang menyatakan dia terkena kanker darah stadium tiga. Lalu Bu Hanna pun memaksa pihak rumah sakit untuk mengizinkannya pulang karena tidak punya biaya. Saat itu Lian terkejut dengan apa yang didengarnya. Diam-diam pemuda itu ikut meneteskan air mata di balik pintu. Ibu yang merawat dan menyayanginya sepenuh hati kini sedang sakit keras. Dan Lian sama sekali tidak bisa berbuat apa- apa. “Li! Lian! Kok ngelamun sih?” Ucapan Bu Hanna menyadarkan Lian dari lamunannya. “Em... Lian ganti baju dulu ya, Bu. Nanti Lian bantuin Ibu lagi,” ucapnya seraya tersenyum tipis. Wanita itu mengangguk. Dan Lian pun bergegas masuk kamar. *** Lian membuka pintu kamar dengan hati-hati agar tidak berderit. Karena pintu kamarnya ini sudah mulai rapuh. Engselnya juga sudah berkarat. Jadi sampai menimbulkan suara tiap kali dibuka atau ditutup. Lian meletakkan tas sekolahnya di lantai di dekat meja belajar. Lalu dia beranjak menuju lemari. Mengambil sebuah kaos polos berwarna hitam dan celana pendek dari dalam lemari itu. Perlahan Lian membuka seragamnya. Lian sedikit meringis saat dia bergerak mengangkat tangannya untuk melepas seragam. Lian mendesah pelan seraya memegangi bagian perutnya yang masih nyeri. Juga punggungnya yang sedikit membengkak. Lian melihat di kaca. Terdapat luka biru di pinggangnya. Juga punggungnya. Di bagian perutnya terasa sangat sakit. Dengan pelan dan hati-hati Lian mengganti bajunya. Untung saja di kamar ini hanya dia sendiri. Karena Rizki dan Adit belum pulang sekolah. Lian duduk sejenak di atas tempat tidurnya. Sungguh badannya terasa sakit. Lian masih memegangi perutnya yang terkena tendangan Mario tadi pagi saat di sekolah. Pagi tadi saat Lian selesai mengantar kue ke kantin, Lian langsung bergegas menuju kelasnya. Namun baru beberapa langkah keluar dari kantin, tangannya ditarik dengan kasar oleh salah seorang siswa. Dia menyeret Lian ke halaman belakang sekolah yang sepi. Ternyata disana sudah ada Mario, siswa seangkatan dengannya namun berbeda jurusan. Mario yang terlihat begitu marah pada Lian, langsung saja melayangkan tinjunya ke perut Lian. Lian tidak bisa menghindar karena badannya dipegangi oleh teman-teman satu geng Mario. Jadilah Lian menerima luapan kemarahan Mario. Lian pun tidak tau salahnya. Hingga saat dia jatuh tersungkur, Mario meludah di depannya. “Lo anak culun yang nggak punya apa-apa. Gue peringatin ya lo! Jangan sok ngedeketin Vega sama Dinda! Ngaca dong lo itu siapa!” Lian menggeleng lemah sembari memegangi perutnya. Pukulan Mario begitu kuat. Terasa meremukkan tubuhnya. “G- gue nggak pernah berniat ngedeketin mereka,” ujar Lian susah payah karena menahan rasa sakit. “Halah. Bullshit lo! Terus mau lo apa pake sok-sok ngajarin Vega belajar? Bangga lo bisa ngedekitin cewek-cewek kaya? Hah!” bentaknya. Lian terdiam dengan terus menahan sakit di tubuhnya. Mario menyeringai menatap Lian. Dia menarik wajah Lian menghadapnya. Matanya yang tajam memberi tatapan mengintimidasi pada Lian. “Lo itu cuma anak panti, anak miskin. Lo nggak pantes bergaul sama orang-orang kayak Vega dan Dinda. Bahkan seluruh anak disini. Lo itu nggak pantes tau nggak sekolah disini! Lo itu pantesnya sekolah sama anak-anak jalanan tuh!” ujar Mario sembari menginjak kaki Lian dan membuat pemuda itu kesakitan. Lian merintih kecil. Nyeri di perutnya tak tertahankan. Hingga rasanya dia ingin pingsan. “Awas kalo sekali lagi lo nyoba berulah! Gue habisin lo!” ancamnya lalu beranjak meninggalkan Lian begitu saja. Diikuti oleh teman-teman satu gengnya yang tertawa sinis pada Lian. “Bang Lian,” sapa Adit yang kemudian menyadarkan Lian dari lamunannya. Bocah gembul itu menaruh tasnya di atas meja belajar lalu melepas topi sekolahnya yang berwarna merah putih. Di letakkannya dengan perlahan di atas kasur. Lian tersenyum tipis menyambutnya. “Udah pulang, Dit? Gimana tadi di sekolah?” tanyanya. Adit membalas senyuman Lian. “Alhamdulillah, Bang. Tadi ulangan harian Adit dapat sembilan,” ujarnya semangat. Lian tertawa kecil lalu mengusap lembut kepalanya. “Anak pinter,” puji Lian. Adit melepas dasinya dibantu Lian. “Bang Lian nggak jemput Anisa?” tanyanya. Lian melirik jam dinding di kamarnya. “Masih jam sepuluh, Dit. Nisa kan pulang jam sebelas siang. Masih sejam lagi. Abang mau bantuin Ibu dulu,” ujar Lian lalu beranjak berdiri dari duduknya. “Awh... sshh..” rintih Lian. Adit buru-buru menghampirinya. “Abang gapapa? Abang sakit ya? Biar Adit panggilin Ibu,” ucap Adit. Lian buru-buru menahan tangannya. “Jangan Dit! Abang gapapa kok. Tadi pas naik sepeda mau pulang, Abang jatuh. Tapi gapapa kok. Udah nggak sakit,” jawab Lian. Adit hanya mengangguk kecil. Lian pun berjalan keluar kamar menuju dapur, memanfaatkan waktunya untuk membantu sedikit pekerjaan ibunya. Sebelum menjemput Anisa di sekolah. *** “Abang...!” seru Anisa kegirangan saat melihat Lian yang duduk diatas sepedanya di depan gerbang sekolahnya. Lian melambai pada gadis kecil itu yang langsung menghampirinya dengan penuh semangat. Pemuda itu tersenyum kecil melihat Nisa yang langsung antusias naik ke sepedanya. Kemudian Lian sedikit bingung saat melihat Rizki keluar dari dalam sekolahnya menghampiri Lian. Tetapi tanpa membawa tas sekolahnya. “Loh. Tas Rizki kemana?” tanya Lian pada bocah kecil berkacamata itu. Lian tersenyum tipis pada Lian. “Rizki ada pelajaran tambahan, Bang. Nanti pulangnya agak sorean. Gapapa kan, Bang?” Lian menatap Rizki lekat. “Kok Abang baru tau ya? Ibu udah tau? Kok nggak ada surat pemberitahuannya sih?” Rizki menggeleng. “Kan pas surat edarannya dibagiin, Rizki nggak masuk. Jadi Rizki juga baru tau kalo ada pelajaran tambahan,” jawabnya. Lian menghela nafas pelan lalu mengangguk. “Ya udah Bang Lian sama Nisa pulang duluan ya. Ntar sore Abang jemput aja biar nggak jalan.” Adit langsung menggeleng tidak setuju. “Nggak usah Bang. Rizki pulang sendiri aja. Jalan kaki kan lebih sehat,” ucapnya seraya tersenyum. Lian tertawa kecil. Lalu menepuk kepala Rizki lembut. “Ya udah. Belajar yang rajin ya! Oh iya, uang jajan kamu masih ada? Nih Bang Lian tambahin buat beli es.” Lian mengeluarkan uang dua ribuan dari kantong celana pendeknya lalu menyerahkannya pada Rizki. Tapi bocah itu malah menolaknya. “Nggak usah, Bang. Rizki masih punya uang kok.” Lian mengangguk pasrah lalu kembali mengantonginya. “Ya udah. Hati-hati pulangnya! Payungnya nggak lupa bawa kan?” Rizki mengangguk. “Bawa kok, Bang,” jawabnya. Lian pun mengayuh sepedanya meninggalkan sekolah Rizki buru-buru. Karena mendung sudah mulai menggelayuti awan. Angin yang berhembus juga mulai terasa dingin. Anisa yang duduk dibonceng Lian di depan pun mulai menggigil. Gadis kecil itu meringkuk memeluk badan Lian erat sambil memejamkan mata. Karena angin yang berhembus lumayan kencang membawa serta debu di jalanan. *** Lian sedari tadi mondar-mandir di kamar. Dia cemas bukan main. Sudah jam setengah lima sore. Sudah enam jam sejak tadi siang dia bertemu dengan Riski saat menjemput anisa di sekolahnya. Tapi belum ada tanda-tanda Rizki akan pulang. Lian yang sudah sangat ingin menjemputnya di sekolah, terhalang hujan deras yang tidak berhenti sejak tadi siang. Sepulang menjemput Anisa, hujan turun dengan derasnya. Bahkan petir pun saling bersahutan. Bu Hanna melarang semua anak untuk keluar panti tanpa terkecuali. Melihat cuaca yang benar-benar menakutkan sore itu. Lian mendesah pelan seraya terus melihat ke arah pintu. Berharap Riski muncul dengan keadaan yang baik-baik saja. Bu Hanna yang sedari tadi juga cemas seperti Lian, pun beranjak menghampiri pemuda tampan itu. Bu Hanna menepuk punggungnya pelan. Sehingga pemuda itu menoleh seketika. “Rizki masih belum pulang juga ya, Li?” tanya Bu Hanna lembut. Lian menggeleng lemah. Matanya terus mengarah ke luar jendela. Petir tengah menggelegar dengan kerasnya. Membuat hatinya makin kalut. “Emang tadi Rizki bilang pelajaran tambahannya sampai jam berapa?” tanya Bu Hanna. “Rizki nggak bilang, Bu. Lian juga lupa nanya.” Bu Hanna menghela nafas pelan. “Ya udah. Kamu temenin adik-adik belajar dulu sana! Udah mau maghrib juga!” Lian masih diam tidak bergerak. Bu Hanna kembali menepuk punggungnya. “Li...” panggilnya. “Lian kuatir sama Rizki,” ucap Lian tanpa menoleh pada Bu Hanna. Pandangannya lurus ke depan. Pikirannya menerawang. Berbagai bayangan buruk berkecamuk di pikirannya. “Rizki pasti baik-baik aja Li. Mungkin karena hujannya nggak berhenti dari tadi dia berteduh. Pasti gitu,” ujar Bu Hanna meyakinkan. “Biar Lian susul aja ya, Bu.” Tetapi Bu Hanna menggeleng. “Rizki pasti baik-baik aja, Li. Percayalah Allah pasti melindunginya!” Lian menatap wajah wanita yang kini sedang pucat itu. Wanita yang sudah membesarkannya. Dan berjasa besar dalam hidupnya. Wanita yang berkorban banyak demi dirinya. Bu Hanna tersenyum. “Lian percaya kan semua sama Allah. Allah pasti melindungi Rizki.” Lian mendesah pelan saat melihat sinar dari kedua bola mata wanita yang tidak lagi muda itu. Pancaran mata yang begitu tulus. Yang mampu menenangkan hatinya setiap saat. Lian mengangguk pelan lalu beranjak masuk ke dalam rumah, meninggalkan Bu Hanna sendirian di ruang tamu menanti kepulangan Rizki. *** Vega menggigil kedinginan kala tubuhnya terhempas angin yang bertiup begitu kencang di hadapannya. Seragamnya yang tipis membuat rasa dingin makin menusuk sampai ke tulangnya. Vega tak henti-henti berdecak kesal. Dia menyesal tadi tidak langsung pulang setelah dari toko buku. Dan malah mampir dulu ke sebuah butik. Kini dia tidak bisa apa-apa selain berdiri menunggu hujan reda agar bisa pulang. Bodohnya lagi dia tidak berpesan pada sopir untuk menjemputnya. Vega lagi-lagi hanya bisa berdecak kesal. Suasana di sekitar pertokoan yang sekarang juga sudah mulai sepi. Rata-rata toko disini hanya buka hingga jam lima sore. Hujan semakin deras dan Vega hampir saja menangis jika dia tidak segera melihat seseorang yang belakangan ini mengganggu pikirannya. Orang itu sedang berdiri di tepi jalan raya yang ada di seberang tempat Vega berteduh. Dengan kaos oblong dan celana jeans pendek selutut sedang menengok ke kanan dan kirinya. Sepertinya sedang berusaha menyeberang. Vega mematung seketika melihatnya. Bukan hanya terkejut melihatnya yang entah dia harapkan atau tidak. Tapi lebih pada terpesona pada penampilannya. Pemuda yang biasanya tampil dengan seragam sekolah yang hampir tidak layak dipakai. Juga kaca mata bulatnya, kini terlihat begitu mempesona. Bahkan, payung yang dia pakai untuk melindungi diri dari hujan yang menutupi setengah wajahnya pun tidak bisa menyembunyikan pesonanya. Lian, orang yang belakangan ini memenuhi pikirannya. Bukan hanya belakangan ini sebenarnya. Sudah sejak lama. Sejak pertemuan pertama mereka saat masa orientasi siswa hampir tiga tahun lalu. Tetapi entahlah belakangan ini, Vega terus saja memikirkannya. Dan sudah merasa senang karena bisa dekat dengan Lian beberapa waktu lalu meskipun dengan alasan belajar bersama. Mata Vega yang tadinya mengikuti arah langkah Lian pun seketika terbelalak saat mata sendu pemuda itu bertemu dengannya. Tatapannya masuk tepat ke manik mata hazel milik Vega yang sedari tadi tak lepas darinya. Jantung Vega rasanya berhenti seketika saat Lian tiba-tiba berada di depannya. Dahi Lian berkerut heran melihat Vega. Pemuda itu berjalan mendekatinya dan berdiri di sampingnya. “Vega? Ngapain disini?” tanya Lian. Tangannya bergerak menutup payung lalu ikut berteduh bersama Vega. “A-aku lagi nunggu taksi,” jawab Vega tergagap. Lian mengernyitkan dahinya bingung. Memperhatikan Vega dari atas hingga bawah. Gadis ini masih memakai seragam sekolah. Kehujanan lagi. Pasti dia belum pulang ke rumah, batin Lian. “Di sini nggak ada taksi. Paling ada di perempatan depan. Kamu harus jalan kaki dulu,” ujar Lian. Vega menatap Lian yang sedang berbicara padanya. Lian tidak memakai kacamatanya. Bola mata hitam legam milik Lian mampu membuatnya tidak sanggup berpaling. Mata sendunya langsung mengunci pandangan Vega. Lian langsung mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Vega saat dirasa gadis itu tidak mendengarkan perkataannya. “Ga?” “Hah? I-iya?” jawab Vega tergagap. “Kamu ngelamun?” Vega pun tertunduk malu saat ketahuan Lian sedang melamun sembari memandanginya. “Kamu belum pulang ke rumah ya? Kok masih pakai seragam?” tanya Lian. Vega mengangguk pelan. “Kamu sendiri ngapain hujan- hujan gini bisa ada disini?” Lian sedikit mengusap rambutnya yang basah terkena air hujan. “Aku lagi nyari adikku. Dari tadi siang belum pulang sekolah.” “Kamu nggak nyari ke sekolahnya?” tanya Vega. Lian mengangguk pelan. “Udah. Tapi nggak ada. Sekolahnya udah sepi.” Vega terus saja menatap Lian. Sambil sesekali mengusap lengannya yang terasa dingin karena hembusan angin yang datang bersama hujan. Lian melirik gadis di sampingnya yang dia rasa sedang kedinginan. “Kamu nggak minta jemput?” tanyanya. Vega menggeleng. “Ponselku mati. Aku nggak bisa telfon orang rumah,” desahnya pelan. “Mau aku antar?" tawar Lian yang seketika membuat Vega terbelalak. Lian mau mengantarnya pulang? Yang benar saja. Pastilah Vega mau. Hampir saja gadis itu terlonjak senang saat ditawari diantar pulang oleh Lian. Tapi untungnya Vega bisa menahan diri. Tetapi tetap saja ekspresi sumringahnya tidak bisa dia tutupi. Matanya membulat dan bersinar. Vega mengangguk dengan cepat. Dan kini Lian yang malah kebingungan. Lian merutuki bibirnya yang bicara asal tanpa melihat situasi dan kondisi. Bisa-bisanya dia menawari akan mengantar Vega pulang. Dengan apa coba? Tadi saja dia kesini bersepeda. Dan kini sepedanya sedang dia titipkan di warung Mbak Ningsih, pemilik warung kopi di seberang jalan sana. “Lian?” Kini ganti Vega yang mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Lian saat melihat pemuda itu sedang melamun. Lian tergagap. “I-iya?” “Ayo!” “Kemana?” tanya Lian bingung. “Katanya mau nganterin aku pulang?” Lian menepuk dahinya pelan. “Oh iya.” Dia terlihat bingung. Dan Vega segera menyadarinya. “Kenapa?” tanyanya pelan. “Aku kesini tadi naik sepeda, Ga. Apa kamu mau naik sepeda sama aku?” Vega mengangguk dengan antusias. “Mau kok. Ayo Li!” Lian pun mengangguk sekilas lalu membuka payungnya. Dan menyerahkannya pada Vega. “Nih kamu pake!” ucapnya. Vega menerima payung yang diberikan Lian dengan bingung. “Aku? Kamu gimana?” Lian menggeleng. “Aku gapapa. Udah biasa. Kamu aja yang pake!” Vega terlihat marah. “Enggak! Nanti kamu sakit.” Vega mengembalikan payung Lian. “Gapapa kok. Aku udah biasa." Vega pun mendesah pelan lalu menutup payungnya. “Ya udah. Aku juga udah biasa kok. Ngga pake payung juga gapapa,” ujarnya. Vega maju ke depan. sudah bersiap-siap akan menerjang hujan. Tapi Lian menahannya. “Ga...” panggilnya. Vega menoleh dengan malas. “Apa?” tanyanya singkat. “Pake payung. Hujannya deras!” “Kamu nggak pake. Aku juga nggak.” “Tapi...” Vega menghela nafas pelan. “Aku mau pake payung kalo kamu juga pake. Kalo nggak ya udah. Biar aja kita kehujanan sama-sama,” ujar Vega dengan suara keras karena suara hujan bercampur angin bertambah kencang. Lian pun mengangguk pasrah lalu membuka payungnya. Vega tersenyum senang. Dengan sigap gadis itu mendekap tasnya di depan d**a, merangkulnya erat demi menghalau rasa dingin yang kian membuatnya menggigil. Lian menaikkan payung yang telah terbuka hingga berada tepat di atas kepalanya. Vega pun mendekat pada Lian sampai kepalanya menempel dengan bahu Lian. Seketika Lian menoleh. Dia mendapati Vega yang juga menoleh padanya. Menatapnya dengan lembut, membuat jantung Lian berbedar tidak karuan. Lututnya pun terasa lemas. Lian pun membuang wajahnya gugup. Pemuda itu memilih menunduk, berusaha menetralkan jantungnya yang terus berdenyut kencang. *** Dan disinilah mereka. Dua orang yang tadinya bertemu dengan tidak sengaja. Kini bersama duduk di atas sepeda. Menerobos jalanan yang tertutup hujan deras dan angin kencang. Vega menahan payung yang dia bawa hingga melindungi tubuh Lian dari hujan. Sedangkan dirinya sendiri memakai jas hujan milik Lian yang tadi dia tinggal diatas sepedanya. Vega duduk dibonceng Lian di belakang. Sementara Lian yang membonceng di depan terkena sasaran angin yang berhembus membawa air hujan. Membuat badannya basah kuyup. Lian mengayuh sepedanya dengan hati-hati. Kondisi jalanan yang licin karena air hujan. Juga angin kencang yang nenutupi penglihatannya, apalagi dia tidak memakai kaca matanya saat ini. Pemuda itu melajukan sepedanya memasuki kawasan perumahan elit tempatnya biasa mengantar koran tiap paginya. Rumah Vega ada di ujung blok di belokan terakhir. Memang agak jauh dari gapura pintu masuk perumahan. Sementara itu Vega yang duduk dibonceng Lian di belakang terlihat senang. Tak henti-hentinya gadis itu tersenyum bahagia. Dengan riangnya Vega mengayunkan kakinya dengan posisi duduk menyamping. Gadis itu benar-benar gembira karena untuk pertama kalinya dia bisa menikmati hujan. Maklumlah masa kecil kurang bahagia. Menjadi anak satu-satunya seorang pengusaha sukses, membuat hidup Vega seakan terkekang. Semua orang di sekelilingnya terus saja memantau geraknya. Selalu melarang dan mengawasi setiap tingkah Vega, membuatnya merasa tidak bebas. Bahkan seringkali saat kecil gadis itu hanya bisa menatap dari balik kaca jendela rumahnya. sekelompok anak-anak seumuran dengannya yang sedang tertawa-tawa bermain hujan- hujanan. Meskipun Vega tau itu semua demi kebaikannya. Tapi entahlah setelah saat ini, dia bisa menikmati hujan, rasanya benar-benar senang. Semua rasa penasaran dan pemikirannya selama ini tentang hujan pun terjawab. Ternyata hembusan angin yang dibawa oleh hujan mampu menenangkan hatinya. Meskipun dinginnya serasa menusuk tulang, tapi entahlah dia mulai menyukainya. Dan setelah ini Vega berharap untuk bisa kembali bermain hujan-hujan jika nanti hujan kembali turun. Tidak beberapa lama kemudian, sepeda yang dinaiki Lian dan Vega pun berhenti di sebuah rumah mewah. Lian menyuruh Vega turun sembari memegangi payungnya. Lian menahan senyumnya saat melihat tubuh mungil Vega yang terlihat semakin mini ketika memakai jas hujan miliknya. Vega terlihat seperti orang-orangan sawah. Orang-orangan sawah tercantik yang pernah ada. Vega membenahi jas hujan yang menutupi wajahnya. Air hujan pun mengenai pipinya yang putih mulus tanpa cela. “Makasih ya Li,” ucapnya. Lian mengangguk. Kemudian menyapu wajahnya yang juga terkena air hujan. Wajahnya terlihat semakin tampan saat sedang basah seperti sekarang. Dan seketika membuat d**a Vega berdebar-debar tak karuan. Gadis itu sedikit menelan ludahnya melihat wajah sempurna Lian kini. Sayangnya wajah itu tidak pernah dia lihat saat di sekolah. Tampilan Lian yang tergolong cupu itulah yang menutupi pesona yang dia miliki. “Aku pulang, Ga.” Vega mengangguk. “Jas hujan punya kamu...” ucap Vega. Lian tersenyum tipis. “Kamu bawa aja dulu. Nanti kalo ngembalikan, titipin Pak Imam aja. Kan tiap pagi aku nganterin koran kesini." Vega mengangguk. Sesekali dia tersenyum saat hatinya terasa hangat karena mendengar suara lembut Lian. “Oh ya, Li. Makasih juga ya. Kamu mau ngajarin aku belajar juga,” ujarnya. Lian lagi-lagi tersenyum. Senyum yang jarang dia tunjukkan saat di sekolah. Bahkan mungkin tidak pernah. Lian cenderung diam atau menunduk saat melihat atau berpapasan dengan Vega. Senyum yang hampir tiga tahun ini tidak pernah lagi Vega lihat. Vega mengingat senyum itu terakhir kali diberikan oleh Lian sebelum kejadian itu. Wajah Vega kini berubah sendu saat mengingatnya. “Aku pulang Ga. Udah mau maghrib,” ucapan Lian menyadarkan Vega dari bayangan masa lalu yang sekilas hadir. Lian sudah akan mengayuh sepedanya. Tapi tangan Vega menahannya. Lian menoleh dan mendapati Vega tengah menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Li!” panggilnya. Hening. Lian terdiam. Bingung mungkin. Karena tiba-tiba Vega memandangnya dengan wajah sendu. “Maaf,” ucap Vega sangat pelan. Hampir tidak terdengar. Namun Lian mengetahuinya dari gerakan bibir Vega. “Maaf Li,” ucap Vega lagi. Kali ini dengan suara sedikit bergetar menahan tangis. “Untuk apa, Ga?” Vega memandangnya lekat. "Maaf untuk tiga tahun lalu. Maaf karena udah ngebohongin kamu," jawabnya pelan. Lian diam tanpa sedikitpun menjawab ucapan Vega. Lian menundukkan kepalanya. Berusaha mengalihkan pandangannya kemana saja. Asal tidak pada gadis itu. “Maafin aku, Li.” Ucapan Vega terputus saat Lian menyentuh tangannya yang sedari tadi ada di atas tangan Lian tanpa dia sadari. “Nggak apa-apa, Ga. Lupain!” jawab Lian seraya tersenyum tipis yang membuat Vega terdiam. “Aku pulang, ya!” pamitnya. Lalu pemuda itu mengayuh sepedanya perlahan menjauh dari hadapan Vega. Sementara gadis itu hanya berdiri mematung di tengah hujan deras yang mengguyur. Terus memandang punggung itu menjauh dari hadapannya. Lalu menghilang di tikungan jalan. Dalam hatinya Vega membatin. Seandainya dia bisa memutar waktu kembali, dia tidak akan membuat kesalahan yang telah menjauhkannya dari Lian. *** “Bang Lian,” sambut Riski saat Lian baru tiba di rumah. Lian segera menaruh sepedanya lalu menutup payung yang dia bawa. “Riski! Kamu udah pulang?” Riski mengangguk. “Kata Ibu, bang Lian nyusul Riski ke sekolah ya?” tanyanya. “Iya. Tapi sekolah sepi. Terus kamu pulang sama siapa?” ujar Lian. “Riski pulang tadi beberapa saat setelah kamu pergi. Mungkin selisih jalan. Bajunya basah kuyup,” ucap Bu Hanna yang tiba-tiba muncul. Lian memandang Riski lekat. “Beneran Ris? Bukannya Riski bawa payung?” tanyanya. Bocah kecil itu sedikit gugup. “I-iya, Bang. Hujannya deras banget. Anginnya juga kenceng. Baju Riski sampai basah,” jawabnya. Bu Hanna meneliti pakaian Lian yang juga basah kuyup. “Baju kamu juga basah, Li. Bukannya tadi kamu pake jas hujan? Terus sekarang mana?” tanyanya. “Tadi ketemu temen Lian di jalan. Terus Lian pinjemin. Kasihan dia kehujanan,” jawab Lian. Bu Hanna mengangguk pelan lalu berjalan menghampiri Lian. Mengusap pelan rambut Lian yang juga basah. “Ya udah. Ganti gih! Biar nggak masuk angin!” suruhnya. Lian mengangguk pelan. Lalu beranjak ke arah pintu. Hendak masuk ke rumah. Namun baru beberapa langkah, Bu Hanna kembali memanggilnya. “Li...” Lian menoleh. “Iya Bu?” Bu Hanna tersenyum tipis pada Lian. “Temen kamu yang kamu pijemin jas hujan itu. Cewek apa cowok?” Lian meringis kecil. "Em... itu, Bu. Temen Lian laki-laki. Emang kenapa bu?” Bu Hanna tersenyum tipis. “Itu, sepatunya ketinggalan di sepeda kamu. Jangan lupa balikin.” Lian terkejut. Lalu melihat ke arah sepedanya. Astaga. Lian lupa. Tadi kan Vega melepas sepatunya dan memasukkannya ke kantong plastik dan menggantungnya di sepeda Lian. Gawat! Ibu tau nih, batin Lian. Pemuda itu tidak berani menatap bu hanna. Sementara Bu Hanna meraih bahu Riski dan menariknya masuk ke dalam rumah. “Li...” panggil Bu Hanna lagi sebelum sampai ke dalam. Lian mendongak. Menatap Bu Hanna yang sedang tersenyum jahil padanya. “Sepatunya bagus. Ibu jadi pengen beli juga buat Riski. Mau nggak Ris?” ucap Bu Hanna pada Riski. Bocah itu tertawa terkikik sambil menggeleng. “Nggak ah Bu! Mending Riski pake sepatu butut deh. Dari pada pake sepatu cewek.” Keduanya pun tertawa bersama, meledek Lian yang diam tidak berani menjawab. Adzan maghrib pun berkumandang. Menyadarkan Lian yang sedari tadi melihat pada sepatu Vega yang tergantung di sepedanya. Sebuah senyum tipis tercetak di bibirnya. Altair&Vega_
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN