Pagi - pagi sekali om Frans mengajak mereka untuk mengunjungi sekolah yang baru untuk mendaftarkan Fay."Sekolah ini adalah sekolah satu - satunya di kampung ini Fay. Jadi nanti kamu bisa bertemu dengan anak - anak yang tinggal dekat dengan rumah, Nicholas dan anak om nanti aja juga. Kalian semua kebetulan seumuran, jadi nanti pasti jadi satu kelas."
Fay yang wajahnya sedari tadi cemberut akhirnya mengeluarkan unek - unek yang sedari tadi dipikirkannya "Yah...Nanti kalo aku sekolah, aku ditinggalin sama ayah? Aku gak mau yah...Aku gak usah sekolah ya, aku ikut ayah aja. Aku janji aku gak akan nakal yah, nanti aku bantuin pijetin ayah kalo capek. Atau buat kopi kayak bikinan ibu, aku tau caranya yah, aku sering lihat ibu buat."
Michael menarik napas panjang sebelum menjawab rengekkan Fay "Sayang...Kamu kalo mau bantu ayah mesti belajar biar cepet pinter, nanti baru bisa bantu ayah. Kalo Fay nanti cuma bisa buat kopi sama pijetin ayah aja, nanti ayah sama ibu khawatir Fay besarnya gak bisa apa - apa. Kamu lihat orang dewasa kayak ayah sama om Frans harus kerja buat dapetin uang, uangnya nanti bisa dipakai buat beli makanan, beli baju, bayar sewa rumah dan lain - lain. Kamu kan pernah liat ayah kerja, hitung sana hitung sini, buat laporan ke atasan ayah, nah itu semua gak bakalan bisa ayah lakukan kalo dulu ayah gak sekolah. Fay ngerti kan?"
"Tapi...tapi nanti ayah jemput Fay lagi kan? Gak kayak waktu itu, ibu habis anter Fay ke sekolah malah... malah..." Fay tiba - tiba terisak - isak. Michael segera memeluk anak semata wayangnya itu dan membisikkan "Gak lah Fay, ayah janji gak kemana - mana. Sudah... sudah... ya."
Om Frans yang sedari tadi mendengar pembicaraan mereka, merasakan setitik rasa haru terbersit di benaknya Kau punya keluarga yang luar biasa Linda, sayang kau pergi terlalu cepat. Aku janji akan jaga mereka, terutama Fay.
Mobil mereka berhenti di depan gerbang sekolah yang bercat hitam. Sekolahnya bukan seperti sekolah di kota - kota besar, yang mempunyai gedung besar dengan ruangan kelas yang ber AC dan dilengkapi dengan fasilitas olah raga yang mumpuni. Sekolah ini cukup sederhana, bangunannya sudah tua tetapi terpelihara dengan baik, seakan - akan menunjukkan wibawanya sebagai sekolah yang telah menghasilkan ratusan lulusan yang sekarang pasti sudah menjadi pengusaha ataupun pejabat setempat. Lapangan olah raga satu - satunya terlihat cukup luas dengan garis - garis putih penanda batas, gawang sepak bola dan ring basket yang berdiri kokoh.
Om Frans segera turun dan membuka pintu untuk Fay, dia menggendong Fay "Fay, selain ayah kan sudah ada om sekarang, jangan sedih lagi ya... Coba lihat itu, di sini sering ada kompetisi main bola dan basket. Ada loh lulusan sini yang jadi pemain bola nasional, kamu tau Rocky Fernando kan? Itu dulunya main bola di sini. Lalu Michael Jord..."
"Michael Jordan om? Dari sini juga?" Fay tersenyum.
"Haha... bukan Fay itu mah dari Amerika sana, Yuk kita masuk ke sana. Om tadi sudah telepon kalo kita mau ke sini, mereka pasti sudah nungguin Fay. Mereka sudah pernah lihat karangan Fay dari sekolah yang dulu, dan mereka kagum sekali. Fay berbakat katanya." kata Frans yang disambut dengan pandangan bangga dari Fay.
Mereka tiba di kantor administrasi sekolah, sebelum masuk Michael membisikkan ucapan terima kasihnya ke Frans. "No problem, kita kan sudah seperti kakak beradik."
"Selamat siang ibu, kami ingin mendaftarkan murid pindahan."
Seorang wanita paruh baya bangun dari tempat duduknya dan mempersilahkan mereka untuk duduk di kursi di hadapan mereka. "Dengan siapa ini?"
"Nama saya Michael Liandra, ini anak saya Fairish Liandra, panggilannya Fay. Kami baru saja pindah dari ibukota bu dan saya ingin mendaftarkan anak saya di sekolah ini."
"Saya Ibu Sumarsih. Halo...ini pasti Fay ya? Ibu udah lihat loh karangan kamu kemaren, kayak penulis cerita yang di majalah - majalah itu, keren. Kelas berapa kamu nak?" (mengulurkan tangan untuk mengajak berkenalan)
"Aku kelas 3 ibu." (menyambut uluran tangan ibu Sumarsih)
"Wah hebat, baru kelas 3 SMP? Wah hebat kecil - kecil cabe rawit. Kamu pasti pinternya kayak Einstein ya?!"
Fay tertawa dengan candaan dari Ibu Sumarsih, "Bukan ibu, aku masih kelas 3 SD."
"Ooo, habisnya karangan kamu sudah keren gitu loh, ayah dan ibumu pasti bangga sama kamu ya Fay."
"Iya dulu ibu sering bilang begitu, tapi sekarang ibu...sudah...gak ada..."
"Oh...Ibu minta maaf ya nak. Tapi kamu tahu gak nak, kenapa di langit banyak banget bintang yang bersinar? Karena mereka berusaha memberi tahu orang - orang yang dicintai mereka di bumi ini, walaupun mereka sudah di atas duluan, tapi mereka selalu menemani kita. Ibu Fay pasti ada di atas sana dan selalu merasa bangga sama Fay. Jadi semangat ya nak..."
Fay mengangguk - angguk sambil sesekali sesengukan.
"Fay... kamu sama om Frans dulu lihat - lihat sekolah ya, ayah beresin pendaftaran kamu dulu."
"Tapi...ayah..."
"Gak papa Fay, ayah gak kemana - mana."
"Oh...iya ayah."
"Yuk tuan putri, kita lihat - lihat sekolahnya dulu."
Seusai Frans mengajak Fay untuk keliling sekolah, Michael menerangkan situasi yang baru saja terjadi di keluarganya kepada ibu Sumarsih "Kasihan Fay...masih kecil sudah tidak ada ibunya. Saya mengerti kondisinya sekarang yang nempel sama ayahnya. Dia memang cuma punya ayahnya sekarang. Coba ya saya pelajari dulu berkas - berkasnya."
"Iya bu, ini semua berkas - berkasnya. Ini rekomendasi dari sekolah lama Fay. Kami pindah kemari karena ingin memulai hidup baru, di ibukota terlalu banyak kenangan dengan ibunya dan tidak ada yang menjaganya. Saya juga berasal dari sini ibu."
"Wah balik kampung ya pak, bagus itu...Bantu kampung ini jadi maju biar bisa seperti kota - kota besar ya pak."
Percakapan mereka berlangsung beberapa waktu, Fay diterima untuk masuk di semester baru nanti. Masih ada waktu 2 minggu untuk mempersiapkan seragam sekolah dan peralatan lainnya untuk Fay.