Sudah 3 bulan Fay bersekolah di sini, setiap hari baru membuat Fay terus bersyukur, ayahnya tetap sehat - sehat dan masih bersama dengannya. Teman - teman sekolah Fay bertambah banyak dari kelas - kelas lainnya karena dia mengikuti ekstrakurikuler pramuka dan mading.
Cerita yang dibuatnya di mading banyak disukai oleh teman - temannya, mereka selalu menantikan apa yang akan dituliskan oleh Fay selanjutnya. Pada malam - malam hari ketika berkemah, mereka selalu memberikan Fay kesempatan untuk bercerita. Guru - guru di sekolah yang mengetahui bakat Fay ini memberitahukannya kepada Michael.
"Pak, ini ada lomba menulis dengan tema, Kampung halamanku tercinta. Kami lihat Fay memiliki bakat untuk hal ini, apakah bapak mengijinkan Fay untuk ikut lomba ini?"
Michael begitu gembira melihat Fay yang akhirnya menemukan bakatnya, dia membaca mengenai tata cara lomba tersebut. Matanya berhenti pada 1 kalimat di pengumuman itu, "Ibu mohon maaf, Fay masih terlalu kecil saya rasa dia belum bisa ikut perlombaan ini."
"Loh, kenapa pak? Ini untuk anak umur 7 - 12 tahun, Fay kan sudah 7 tahun."
"Iya bu, cuma dia masih terlalu kecil, saya masih khawatir jika dia harus pergi jauh dari saya." Gardenia kota dimana mereka kehilangan Ibu dan Istri yang dicintai, dimana Fay diperlakukan tidak adil. Untuk apa menginjakkan kaki ke kota itu lagi."
"Oh...Kami mengerti pak, bapak ragu karena Fay nanti harus menginap di asrama di kota Gardenia selama 1 minggu ya?"
"Ya, bu. Seperti yang ibu ketahui sebelumnya, semenjak kehilangan ibunya, Fay dan saya tinggal berdua saja. Saya khawatir dan takut kehilangan Fay, begitu pula sebaliknya. Mungkin nanti ketika Fay sudah lebih besar...Yang penting sekarang Fay sudah menemukan hal yang disukainya. Sedikit banyak hal ini pasti membantu penyembuhan luka hatinya Fay."
"Baik, pak kami mengerti."
Sepanjang perjalanan pulang Michael dari sekolah Fay, bayangan - bayangan kesedihan di kota Gardenia kembali melintas.
"Yah...Ayah? Kenapa tadi dipanggil ke sekolah? Apa karena Fay nakal, yah?"
Panggilan Fay, putri kecilnya, membuyarkan kenangan sedih itu "Hah? Masa anak ayah nakal sih, Oh tidak mungkin..." Michael menggendong anaknya itu sambil berputar - putar, ini permainan yang selalu disenangi Fay dari kecil, walaupun sekarang Michael sudah tidak bisa memutarnya sekencang dulu karena Fay sudah jauh lebih berat.
"Yah...Yah...Ayo turunin aku, aku beratkan? Nanti ayah sakit pinggang loh!"
Michael tersenyum sambil memeluk Fay, dari kecil Fay anak yang selalu pengertian. "Fay, ayah sayang kamu. Kamu tahu itu kan? Tadi ibu guru memanggil ayah ke sekolah karena bakat menulismu, Fay." Michael menurunkan Fay dari gendongannya dan membimbingnya ke ruang tamu, "Beliau bilang kamu berbakat sekali, beliau ingin kamu ikut lomba mewakili sekolah. Tapi..."
"Tapi kenapa yah? Kalo menang lomba nanti dapat hadiah apa yah? Kalo uang aku mau ikut yah, lumayan kan bisa bantu ayah bayar sekolah aku."
Michael tercekat, anak ini ternyata memperhatikan apa yang aku selalu aku khawatirkan, "Uang kita cukup kok Fay, ayah bisa sekolahkan kamu sampai kuliah. Ayah tidak ijinkan kamu ikut lomba karena kamu harus nginep 7 hari di asrama di..."
"Dimana, yah? Jauh ya tempatnya? Kalo jauh aku juga gak mau yah, aku mau sama ayah terus."
"Iya jauh. Nanti kalau ada kesempatan yang lain, atau Fay sudah lebih besar, Fay baru ikut lomba ya."
"Setuju yah."