“Mia!” Hannah melambaikan tangan dari ujung lorong.
Mia baru saja menaruh barang-barangnya di loker dan menutup lokernya, saat Hannah berada di sampingnya. “Aku harus ke perpustakaan dulu,” kata Mia.
“Ah, dasar kutu buku!”
“Hei, aku hanya ingin mencari buku matematika tahun kemarin, catatanku hilang. Aku tidak akan bisa mengerjakan semua soal itu,” protes Mia.
“Ya, ya, baiklah.” Hannah merangkul sahabatnya. “Ayo, aku temani!”
Kedua sahabat itu berjalan bersamaan menuju perpustakaan sekolah. Di perpustakaan, ternyata hanya ada dua orang yang duduk di sana. Hanya kutu buku yang betah duduk di tempat itu, bahkan sampai kelas selesai.
Mia langsung menuju rak buku dimana dia harus mulai mencari. Sebenarnya gadis itu bisa dibilang kutu buku, tapi penampilannya tidak terlihat seperti seorang kutu buku secara fisik. Jika tidak ada kelas dan tidak ada Hannah, Mia lebih suka menghabiskan waktu di dalam perpustakaan yang tenang dan sepi.
“Nah, ini dia!” Mia menggenggam buku yang dia ambil dari salah satu rak, buku yang dipenuhi debu tebal dan tidak akan disentuh oleh siapa pun.
“Kalau begitu, ayo pulang. Aku rasa aku lapar,” keluh Hannah.
Mia memandangi Hannah dengan keheranan. “Hannah, jatah makan siangmu kan dobel!”
Hannah terseyum pada Mia. “Kau seperti baru mengenal aku saja, nafsu makanku bertambah minggu-minggu ini.”
Mia hanya menggeleng sambil terseyum pada sahabatnya itu. “Ayo, pulang!” ajaknya.
Mereka berdua berjalan keluar gedung sekolah. Mia biasanya menumpang mobil pada Hannah untuk pulang. Sebenarnya, ayahnya berniat untuk membelikan mobil untuknya, tapi dia menolak karena lebih suka menaiki angkutan umum atau berjalan kaki.
Saat berada di depan parkiran mobil, seseorang menghentikan mobilnya tepat di depan mereka. Kemudian seorang pria keluar dari dalam mobil.
“Mia, bisakah kau ikut denganku?” Mr. Fox berdiri di depan Mia dan memandanginya.
Mia sedikit ragu untuk berbicara, mau apa lagi Mr. Fox kali ini dengannya?
“Ada apa?”
“Aku rasa aku berhutang sesuatu padamu, jadi bisakah kau ikut denganku?” Dia menaikkan kacamatanya.
Mia menatap Hannah yang sejak tadi tersenyum-senyum sambil memandangi Mr. Fox. Sebenarnya Mia tidak ingin ikut Mr. Fox, lagi pula dia pernah bilang pada Hannah kalau dia tidak tertarik pada Mr. Fox. Dan sekarang rasanya tidak adil jika Mia ikut dengannya, seperti dia mengambil start duluan.
“Maaf, Mr. Fox, aku tidak bisa,” tolak Mia. Dia menggenggam buku matematikanya di d**a.
Mr. Fox menatap buku itu kemudian beralih ke mata Mia. “Kau butuh bantuan dengan itu?” tanyanya.
Mia menurunkan tangannya saat menyadari Mr. Fox melihat buku yang dibawanya. “Tidak, terima kasih.”
“Jika Anda membutuhkan sesuatu, aku bisa membantu,” sela Hannah sambil memainkan ujung rambutnya.
Mr. Fox hanya tersenyum. “Baiklah, jika kau membutuhkan sesuatu, ini nomor teleponku.” Dia menyerahkan sebuah kartu nama pada Mia.
Mia mengambilnya ragu. Mr. Fox kemudian masuk ke dalam mobilnya dan melajukannya. Kedua gadis itu masih mengikuti arah mobil Mr. Fox saat dia menghilang di ujung jalan yang berbelok.
Mia masuk ke dalam mobil Hannah tanpa mengatakan apa-apa. Kemudian Hannah menyusul masuk ke dalam mobil.
“Ambil ini,” kata Mia sambil memberikan kartu nama yang tadi diberikan Mr. Fox.
Hannah menyambar kartu itu dan tersenyum lebar pada sahabatnya. “Kau memang sahabat terbaikku, Mia!” kata Hannah kegirangan. “Tapi, kau tidak butuh memangnya?”
“Jika aku butuh, aku tidak akan memberikannya padamu. Lagi pula, aku bisa memintamu jika butuh nanti.” Mia menatap ke depan. “Ayo, pulang sekarang!”
Hannah pun menyalakan mesin mobil dan menginjak pedal gasnya. Mereka berjalan dengan mulus di jalanan beraspal.
***
Sesampainya di rumah, Mia langsung menuju kamarnya dan membanting tubuhnya di tempat tidur. Baru hari pertama, tapi baginya sudah terasa berat. Bukan karena pelajarannya, melainkan kejadian-kejadian yang terus mengusik pikirannya.
Di rumah, Mia hanya sendiri, ayahnya bekerja dan biasanya pulang malam. Tapi, ayahnya selalu pulang sebelum makan malam. Orang tuanya telah bercerai saat Mia berumur lima tahun, dan dia dibesarkan ayahnya. Sampai sekarang, ayahnya belum menikah lagi, bukan karena tidak ada wanita yang tertarik padanya ataupun tidak ada wanita yang menarik perhatiannya. Ayahnya hanya takut kasih sayangnya pada Mia teralihkan, jadi dia memilih untuk membesarkan Mia sendiri sampai sekarang.
Ayahnya menyewa asisten rumah tangga untuk keperluan memasak, membereskan rumah, dan mencuci pakaian. Tapi jika hari libur, Mia meminta ayahnya untuk meliburkan asisten rumah tangganya agar Mia bisa mengurusi rumah sendiri. Asisten rumah tangganya tidak menetap, dia bisa pulang jika sudah menyelesaikan pekerjaannya dan akan datang lagi untuk memasak makan malam.
Mia masih berbaring di tempat tidurnya, lantas mengambil telepon genggamnya. Dia mengecek untuk melihat apakah ada pesan dari ayahnya atau Hannah. Saat dia menyalakan layarnya, ada satu pesan masuk dari ayahnya.
Mrs. Mendel tidak bisa datang untuk memasak makan malam
kau ingin ayah belikan makanan Itali atau Cina?
Mia memang sangat suka makanan Italia dan Cina. Walaupun kebanyakan dari keduanya adalah semacam mie. Tapi kali ini Mia sangat ingin memasak, jadi dia menuliskan pesan kepada ayahnya.
Tidak keduanya, aku akan memasak untuk makan malam.
Setelah selesai mengetik pesan untuk ayahnya, Mia melesat turun dari tempat tidurnya menuju dapur. Dia mengobrak-abrik lemari esnya untuk mencari bahan-bahan yang bisa diolahnya menjadi santapan lezat.
Sebenarnya gadis itu tidak tahu harus memasak apa, dia belum memikirkan ide sama sekali. Namun keinginannya untuk memasak sangat besar.
Di dalam lemari esnya, dia menemukan potongan daging ayam, satu boks telur, udang segar, dan beberapa bahan makanan lainnya. Mia mengambil potongan ayam dan menaruhnya di meja dapur.
Dia ingin mencoba memasak makanan yang belum pernah dia coba sebelumnya. Kemudian dia ingat saat kunjungannya ke rumah Hannah beberapa waktu lalu. Ibunya Hannah keturunan Amerika-Indonesia, jadi ibunya sangat bisa memasak masakan Asia yang kaya akan rasa rempah-rempah.
Waktu itu, ibunya Hannah menyajikan potongan ayam dengan bumbu kental berwarna kuning. Hannah bilang itu namanya opor. Kemudian Mia mengetik di layar telepon genggamnya, mencari resep masakan opor. Semua situs yang dia buka mengenai opor menggunakan bahasa yang tidak dia mengerti. Akhirnya Mia menerjemahkannya, kemudian membacanya dengan teliti.
Setelah semua keperluan memasaknya lengkap, Mia mulai memasak. Ada beberapa perbedaan dari opor yang dibuatkan oleh ibunya Hannah dengan yang akan dia masak. Karena di dalam lemari esnya hanya ada potongan ayam untuk steak, dia pun menggunakan potongan ayam tersebut. Ibunya Hannah saat itu menyajikan nasi putih seperti kebanyakan orang Asia. Sedangkan Mia, dia menggunakan sayuran seperti wortel dan buncis untuk menemani opornya, serta kentang tumbuk untuk menambahkan karbohidrat di masakannya.
Begitu selesai dengan masakan makan malamnya, Mia pergi ke kamar dan membaca buku matematika yang dipinjamnya dari perpustakaan. Sambil memakai headseat dia membuka-buka halaman demi halaman. Ada beberapa soal yang dia mengerti, itu pelajaran awal tahun kemarin, tapi ada banyak sekali soal yang tidak bisa dia kerjakan jika hanya melihat buku tanpa ada yang mengajarinya.
***
Dari ruang tamu, ayahnya memanggil. Sayangnya Mia tidak mendengar suara sang ayah karena headseat di telinganya.
Ayahnya menaruh tas kerjanya di kursi saat bel pintu berbunyi. Saat membukakan pintu, di depannya berdiri seseorang pria. Dia mengenakan kaus berwarna abu-abu dan celana jeans.
“Saya mencari Mia, apakah dia ada di rumah?” tanya pria itu.
Ayahnya masih terdiam di depan pintu, dan saat sadar bahwa pria itu menanyainya, dia menjawab, “Ya, silakan masuk. Aku akan panggilkan Mia, tunggu sebentar.”
Ayahnya berjalan ke kamar Mia, lalu mengetuk pintu kamar anaknya. “Mia, ada pacarmu datang,” ujar ayahnya dari depan pintu. Saat tidak mendapat jawaban, ayahnya langsung membuka pintu.
Mia seketika melepaskan headseat saat melihat ayahnya membuka pintu kamarnya. “Dad, sudah pulang? Kenapa aku tidak dengar?” tanya Mia.
“Ayah mengetuk pintu kamarmu saja kau tidak dengar.” Ayahnya mengendurkan dasi dan membuka jas kerjanya. “Ada pacarmu di ruang tamu. Kenapa kau tidak bilang pada ayah kalau pacarmu mau datang?”
Mia menatap ayahnya bingung. “Pacar? Pacar siapa?”
“Pacarmu, masa pacar ayah. Ayah hanya tidak mengira kau lebih suka orang yang lebih—” Ayahnya menatap Mia, “dewasa, tapi bukan berarti dia terlihat tua,” katanya menyelesaikan kalimat.
“Dad, aku tidak punya pacar!” Mia yang tadinya berbaring, sekarang berdiri dan menatap ayahnya dengan serius. “Kenapa Dad biarkan dia masuk? Bagaimana kalau dia penjahat?” Mia memutari kamarnya untuk mencari sesuatu.
“Penjahat apanya? Kau jangan bercanda Mia!” Ayahnya melipat tangan di d**a.
Setelah menemukan bat baseball-nya, Mia keluar dari kamarnya kemudian berjalan ke ruang tamu.
“Untuk apa itu?” tanya ayahnya heran.
“Untuk berjaga-jaga.”
Mia ada benarnya, belakangan ini banyak kasus pencurian dengan modus mengaku sebagai pacar dari anak pemilik rumah. Dan lebih berbahayanya lagi, orang-orang ini berkomplot dan sudah mengincarnya.
Sambil memegang bat-nya, Mia berjalan ke ruang tamu dengan mantap. Ayahnya mengikuti di belakangnya dan merasa semua ini hanyalah lelucon yang dibuat oleh anaknya.
Pria yang duduk di kursi ruang tamu itu lantas berdiri. Dilihatnya Mia yang memegangi bat-nya. Sang ayah kemudian menyusul di samping Mia.
“Sudah ayah bilang, pacarmu yang datang.”
“Dad, dia bukan pacarku.” Mia menatap pria itu dan tubuhnya benar-benar tidak bisa bergerak. “Dia guruku di sekolah.”