CHAPTER 3
Kerumunan orang-orang di lorong menenggelamkan Mia yang memiliki ukuran tubuh tidak begitu tinggi. Gadis itu melambaikan tangannya saat melihat Hannah yang sedang berjuang melawan arus kerumunan untuk menuju ke arah Mia.
“Bagaimana pelajaran sejarahnya?” Mia membuka lokernya dan menaruh buku yang tidak diperlukan lagi, kemudian menggantinya dengan buku yang lain.
“Miss Allen masih terus banyak bicara, aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Kau tahu, bahkan semua anak menguap saat dia menjelaskan.”
Mereka berdua berjalan melintasi beberapa anak yang masih berada di lorong. Keadaan sudah tidak seramai tadi, sebagian dari mereka sudah pergi ke kantin untuk santap siang.
Mia berjalan mengimbangi Hannah yang sedikit terburu-buru. “Kalau begitu kenapa kau ambil kelas sejarah?”
“Kau tahu aku ingin masuk sastra, aku tidak ingin meninggalkan satu kelas pun agar bisa masuk universitas pilihanku.” Hannah berhenti saat melihat Mia yang berlutut sebelah kaki untuk membenarkan tali sepatunya. “Mia, ayo, cepatlah!” perintah Hannah.
“Ya, sebentar.” Setelah menyelesaikan simpulnya, Mia mengejar Hannah yang sudah berjalan lagi di depannya.
“Kau tahu kafetaria akan ramai sekali, ‘kan? Bisa-bisa kita kehabisan makan siang. Sedangkan perutku tidak bisa tahan hingga sore hari,” keluh Hannah.
Hannah memang suka berganti-ganti pacar, tapi bukan berarti dia tipe orang yang suka membatasi makanannya demi tubuh yang langsing. Dia bisa makan begitu banyaknya, tapi tubuhnya tidak gemuk-gemuk. Hanya terlihat seperti gadis biasa, bahkan jika mereka tidak melihat Hannah saat makan, mereka pasti mengira Hannah adalah gadis dengan porsi makan yang sedikit.
“Miss Paris!” Seseorang memanggil Mia saat mereka sedikit mempercepat langkah berjalan.
Mia membalikkan badannya dan menatap Mr. Fox yang muncul dari balik pintu ruangannya,
“Aku butuh bantuanmu sebentar, bisakah?” Mr. Fox menatap Mia dari balik kacamatanya.
Jika Hannah yang ditawari, pasti dia akan mengatakan 'iya', mungkin dia juga rela melewatkan makan siangnya demi menolong Mr. Fox dan duduk berdua di ruangannya. Tapi ini Mia, dia butuh berpikir beberapa kali untuk mengiyakan, terutama saat dia mengingat mimpinya itu.
“Kenapa aku? Kenapa tidak yang lain?” Mia mengangkat kedua bahunya memprotes.
“Kalau kau tidak mau tidak apa-apa,” kata Mr. Fox lalu dia menutup pintu ruangannya.
Di sampingnya, Hannah memelototi sahabatnya yang menolak tawaran Mr. Fox. “Kau gila, ya? Mr. Fox yang menawarimu bukan kau yang menawarkan diri. Semua gadis pasti berani menawarkan diri untuk membantunya.”
“Kalau begitu kenapa kau tidak menawarkan dirimu?”
“Karena aku lapar. Mungkin lain kali aku akan menawarkan diri.” Hannah membuka pintu kafetaria dan menatap orang-orang yang sedang mengantre untuk mendapatkan makan siang. “Kita beruntung menjadi orang pertama yang diajari olehnya. Kau tahu, mungkin kau tadi membuatnya marah. Mia, aku beri kau nasihat ya, jika kau ingin nilai matematikamu bagus, seharusnya kau menerima tawaran itu.”
Belum sempat Mia membalasnya, Hannah sudah menyambar antrean di depannya. Mia diam di tempatnya dan tidak mempedulikan orang-orang yang mendorongnya ke sana-sini. Apa yang Hannah katakan, sebenarnya ada benarnya juga. Nilai matematikanya tahun kemarin tidak bisa membantunya sama sekali tahun ini. Mungkin dia butuh bantuan Mr. Fox untuk memahami pelajaran tahun kemarin. Dan karena alasan yang cukup untuk mendapatkan nilai tambahan di kelas matematika, Mia harus rela menyampingkan perasaan bencinya pada pria populer untuk saat ini.
Tanpa berpikir lagi, Mia berlari keluar dari ruangan itu menuju ruangan Mr. Fox. Begitu sampai di depan pintu, gadis itu mengetuk dengan gugup.
“Masuk,” ujar Mr. Fox dari dalam ruangan. Saat melihat Mia berdiri di depan ruangannya, Mr. Fox langsung berhenti dari pekerjaan yang sedang dia lakukan.
“Aku berubah pikiran, apa yang bisa aku bantu Mr. Fox?” tanya Mia gugup, dia takut gurunya itu tidak membutuhkan bantuannya lagi dan menyuruhnya pergi, hal itu akan benar-benar membuatnya malu.
Mr. Fox tersenyum sambil merapikan beberapa kertas yang berantakan di mejanya. “Silakan duduk, aku ingin kau menyebutkan nama-nama yang tadi kalian tulis di kertas, aku butuh mencatatnya.”
“Baiklah.” Mia duduk di kursi yang ada di depannya. Kemudian mulai membacakan nama-nama temannya. “Apa aku juga harus menyebutkan nomor telepon mereka? Di sini bukan hanya nama yang mereka tulis,” tanya Mia sembari menatap nama Hannah di kertas yang dipegangnya.
Mr. Fox tertawa. Tawa yang belum pernah Mia dengar dari pria seperti Mr. Fox. “Tidak perlu,” tolaknya.
“Tapi, aku rasa mereka akan kecewa.” Sejujurnya gadis itu tidak mengerti apa yang dia katakan. Dia hanya berusaha mengingat sahabatnya yang berharap nomor teleponnya disimpan oleh gurunya itu.
“Baiklah, mungkin aku akan membutuhkannya nanti.” Mr. Fox tersenyum lagi pada Mia.
Setelah selesai menyebutkan nama teman-teman satu kelasnya, Mia menghela napas panjang. Awalnya dia kira tugasnya sudah selesai, tapi Mr. Fox mulai menanyainya.
“Aku mendapat catatan mengenai nama anak-anak yang mendapatkan nilai rendah di kelas matematika.” Mr. Fox kemudian beralih pada tumpukan lembaran kertas di atas mejanya.
Ekspresi Mia berubah menjadi was-was. Dia yakin namanya pasti tertera dalam daftar itu, daftar anak bodoh dalam hal matematika.
“Ada namamu tertera dalam daftar ini,” kata Mr. Fox setelah menemukan kertas yang dicarinya.
Mia mendegus. Dia tahu bahwa dirinya sangat membutuhkan bantuan Mr. Fox untuk menaikkan nilainya.
“Aku bisa membantumu belajar jika kau mau,” tawar Mr. Fox.
Bagus, Mia tidak perlu repot-repot menawarkan dirinya melakukan apa pun, justru Mr. Fox yang menawarkan diri untuk membantunya. Pandangan Mia tertuju pada Mr. Fox. Sebuah bayangan melintas dalam pikirannya. Mengenai mimpinya semalam. Dia sangat butuh bantuan belajar saat ini, tapi menerima bantuan Mr. Fox bisa berarti dia mencari masalah. Mengingat Mr. Fox terkenal dikalangan para gadis.
“Aku sudah meminta ayahku untuk mencarikan guru matematika dan bisa belajar di rumah,” kata Mia berbohong.
“Ah, sayang sekali,” ujar Mr. Fox. Ada jeda cukup lama sampai Mr. Fox mulai bicara lagi. “Baiklah, aku sudah selesai. Terima kasih bantuannya,” tambahnya.
Mia bangkit dari tempat duduknya dan pergi keluar ruangan. Gadis itu sebenarnya mengharapkan lebih dari sekedar terima kasih, tapi memang seharusnya begitulah sikap seorang guru kepada muridnya, tidak lebih. Walaupun Mia merasa bahwa Mr. Fox lebih dari sekedar guru biasa, setidaknya itu di dalam mimpinya yang entah nyata atau tidak.
Saat gadis itu menyusul Hannah di kantin, sahabatnya itu telah menghabiskan dua porsi makanan, yang sudah pasti salah satunya adalah jatah Mia.
“Kau melewatkan makan siangmu, aku kira kau tidak akan kembali, jadi aku memakan jatahmu.” Hannah berdiri dari meja makannya dan mengusap mulutnya dengan tisu.
“Tidak apa, aku tidak begitu lapar sebenarnya.” Tentu saja itu bohong, perutnya terus berbunyi sejak pelajaran kedua dan sekarang dia malah melewatkan makan siangnya. Yang tersisa di meja hanya sebuah apel yang ditinggalkan Hannah di nampannya.
Mia menyambar apel itu lalu menggigitnya. Rasa asam berhamburan di dalam mulutnya. Apel itu terasa begitu asam, tapi tidak ada pilihan lain. Tidak ada makanan lain yang bisa dia makan untuk mengganjal perutnya yang kelaparan. Gadis itu menghabiskan apelnya secepat kilat sebelum masuk ke dalam kelas berikutnya.
Dari kejauhan, Mr. Fox mengamati Mia yang sedang menggigit apelnya, dilihatnya wajah gadis itu. Jelas, dia bisa melihat wajah kelaparan di sana. Dia tersenyum sambil mengamati gadis yang kemudian menghilang di kerumunan itu.