Dendam Membawa Luka

1023 Kata
Pria berwajah tegas dan beralis tebal tersebut masih sama menatap Sena dengan tatapan teduh, seperti mereka tidak mempunyai masalah apapun saat ini. "Ini ambillah, jangan menangis lagi," ujar pria itu sambil menggoyang-goyangkan saputangannya ke arah Sena. Perempuan itu mengambil saputangan abu-abu yang selalu menghapus air matanya selama beberapa tahun terakhir ini. Alex tersenyum dan duduk disebelah Sena, ia menatap wajah yang sangat ia kagumi dari dulu. Sungguh, masalah sebesar apapun tidak bisa memisahkan dirinya dari Sena, ia masih berusaha sebaik mungkin untuk terus berada di sebelah Sena apapun yang perempuan itu lakukan. "K-kamu ngapain di sini? Kenapa masih temuin aku? Apa kalimatku masih kurang jelas?" tanya Sena yang masih menatap rumput di bawahnya. Alex tersenyum pada Sena kemudian mengalihkan pandangannya ke langit, beberapa menit ia diam tidak menjawab pertanyaan Sena, saat ini ia tidak ingin bertanya jawab seperti itu. "Kalimat kamu udah sangat jelas, tapi mungkin aku saja yang bodoh tidak bisa mencerna semua kalimat kamu. Terkadang manusia perlu berpura-pura bodoh agar semuanya terlihat baik-baik saja." Alex mengatakan itu sambil tersenyum samar, ia masih tidak yakin apa kalimatnya benar atau tidak namun itulah prinsip yang ia terapkan selama ini, mencoba menjadi orang bodoh agar tidak paham apa yang sedang terjadi di depannya. Sena terdiam mendengar perkataan Alex, mungkin saja apa yang dikatakan Alex ada benarnya, namun dengan permasalahannya yang berat ini apa masih bisa ia menerapkan prinsip seperti itu? "Udah, kalimatku jangan dipikirkan, itu kan hanya contoh bukan untuk dipikirkan, lagipula setiap orang punya prinsip masing-masing tidak bisa disamakan." Lagi-lagi Alex seperti menamparnya dengan kalimat yang menyakitkan hatinya membuat ia semakin merasa bersalah. "Kamu sengaja ya bikin aku merasa bersalah?" tanya Sena yang mulai terlihat jengkel. Alex tertawa renyah mendengar pertanyaan Sena. "Jika manusia masih mempunyai dan bisa merasakan rasa bersalah adalah hal yang bagus, karena perasaan itu pula manusia seharusnya bisa berubah dengan baik. Yang bisa mengubah itu semua hanya kamu, semua keputusan hancur atau bangkitnya kamu ada di dalam diri kamu," Alex tersenyum kemudian mengacak pelan rambut Sena dan pergi dari tempat tersebut meninggalkan perempuan itu sendirian memikirkan kalimatnya. Sena menatap rumput hijau yang sedari tadi ia injak, wajahnya semakin memerah mengingat kalimat mantan kekasihnya itu. "Dia tidak tahu apa-apa, apa yang ia tahu soal kesalahanku?" tanya Sena dengan suara yang mengecil. Dalam lubuk hatinya ada pembenaran atas ucapan Alex, namun Sena adalah wanita yang tetap dengan prinsipnya. Alex menghembuskan nafasnya ketika ia sampai di dalam apartemennya. Pemuda tampan itu sengaja menyewa kamar di apartemen tersebut yang dekat dengan Sena agar ia bisa memantau perempuan itu dengan mudah, namun jika hubungannya seperti ini malah semakin mengganggu pikiran jika ia tinggal dekat dengan perempuan keras kepala itu. Matanya menerawang ke segala sudut ruang tamu yang ia tempati, ada foto-foto Sena bersamanya disalah satu bingkai yang terpajang di dinding ruang tamu tersebut. "Aku harus bagaimana jika kamu masih dengan prinsip kamu? Aku harus menyerah atau terus berjuang, Bee? Tolong kasih tahu aku harus bagaimana?" tanya Alex yang masih frustasi dengan apa yang Sena lakukan. Kring! Alex melirik ponsel yang ia letakkan diatas nakas, terpampang nomor yang tak dikenal. Alex mengerutkan alisnya dengan wajah keheranan kemudian mengangkat telepon tersebut dengan cepat. "Ya, halo ini dengan siapa?" tanya Alex yang masih memijat keningnya pelan. "Pergilah dari sini, atau Sena akan aku celakakan," ucap seseorang yang sekilas suaranya mirip dengan Richard, namun Alex tidak bisa menuduh tanpa bukti karena orang tersebut memakai private number. "Pak Richard? Sepertinya anda salah orang jika ingin berkata seperti itu, andalah yang harusnya pergi dari sini, b******n!" geram Alex yang tampak mengepalkan tangannya, ia tidak habis pikir dengan pria sinting yang habis melakukan hal b***t lalu mengancam orang lain, ia lebih pantas dinamakan penjahat daripada pengusaha. "Haha, anak muda, menyerahlah dan jangan ikut campur dengan semua urusan yang Sena dan saya lakukan, carilah gadis lain!" kata Richard dengan nada memerintah membuat Alex menghembuskan nafas kasar. "Sainganku bukanlah pria tua sepertimu dan pasanganmu bukanlah wanita muda yang sudah seusia anakmu sendiri, dasar p*****l!" ucap Alex dengan nada dingin. Ia masih tak gentar diancam seperti itu. "Anak kurang ajar, aku akan mengadukan ini semua pada Frans dan Georgia, lihat saja kamu nanti!" "Dan saya juga akan memberitahu bahwa investor perusahaan orang tua saya adalah seorang yang b***t, saya yakin reputasi anda akan tersebar luas di sana, kalau anda ingin saya jelekkan di Indonesia juga, saya pasti siap," kata Alex terkekeh dengan ucapannya sendiri, ia masih tidak menyangka bahwa dirinya pintar juga untuk membalikkan kata-kata orang, sepertinya ia juga berbakat menjadi pengacara. "Dasar anak sialan!" Setelah mengatakan itu, pria tua yang tidak bisa menjawab pun langsung memutuskan sambungan telepon tersebut. Alex hanya tertawa renyah. Richard adalah pengusaha yang sangat takut akan reputasi jelek, ia sangat tahu itu. Dan hal tersebut tentu saja menjadi suatu ancaman dan pegangan untuk Alex mengancamnya. Hari ini mungkin saja ia bisa menutupi semua itu dari publik, namun dilain waktu pastilah semua akan terungkap dan salah satu pengusaha terkenal di Indonesia itu akan menjadi bahan gunjingan publik, permasalahan ranjangnya pastilah menjadi konsumsi publik dan ia kehilangan wibawa dihadapan karyawan dan kerabat-kerabatnya. Tok-tok Suara pintu menghentikan tawa Alex, ia seperti tersadar kembali ke dunia nyaat. "Siapa ya?" tanya Alex melangkah pelan ke arah pintu yang tidak jauh dari tempatnya tadi duduk. Alex mengintip di lubang pintu, ternyata Dayana yang datang ke apartemennya. Pintu pun terbuka memperlihatkan wajah cantik Dayana yang tampak malu-malu. Sebenarnya Alex tidak kaget dengan kedatangan Dayana karena waktu itu ia sempat memberi alamat dan nomor kamarnya pada Dayana agar perempuan itu tidak kebingungan ketika ia membutuhkan apa-apa. "Oh, masuk dulu, Na. Kok datang gak kabari dulu?" tanya Alex yang mengekori Dayana yang telah masuk duluan tanpa menunggu lama gadis itu duduk disofa itu dengan ekspresi wajah yang penuh beban. "Ponselku hilang, yang aku punya hanya alamat tempat tinggal kamu di tasku," ucap Dayana menjelaskan sambil menatap langit-langit kamar tersebut. Alex tahu bahwa Dayana pastilah masih syok dengan kebenaran yang hari ini terungkap, namun sebagai anak Richard, Alex rasa Dayana memang harus mengetahui kebejatan papanya itu. "Bagaimana? Kamu kecewa sama papa kamu?" tanya Alex mencoba berbasa-basi. Namun, baru saja gadis itu akan menjawab, pintu yang belum terkunci itu terbuka dengan kasar menampakkan wajah Sena yang seperti orang menahan tangisnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN