Bintang menatap hampa punggung Sitha yang setengah berlari menaiki anak tangga. Asanya kembali luruh.
Jika ada hal yang paling menyakitkan dalam rasa adalah saat kau telah menitipkan separuh hati di tempat yang kau anggap paling tepat namun diabaikan. Seperti itulah yang dirasakan Bintang kini. Seketika hatinya patah. Segala daya telah dia upayakan. Tapi Sitha masih saja bergeming.
Mungkin mengakui bahwa dia adalah Alka akan mengubah perasaan wanita itu padanya.
"Tidak!" Bintang menggeleng tegas.
Apa yang dia mau, Sitha menerimanya karena memang wanita itu mencintai dirinya yang sekarang apa adanya. Bukan karena kenangan masa lalu. Bagaimanapun apa yang kini mereka alami sesuatu yang berbeda. Ada Azka di antara mereka.
Jika wanita itu telah membuka hati pada pria lain, artinya Sitha telah melupakan Alka. Melupakan segala kenangan manis mereka di masa lalu. Lalu untuk apa dia mengingatkan? Bukankah itu sama saja dia mengemis rasa simpati dari Sitha?
Itu menyedihkan!
Seorang Bintang Pratama Alkatiri tidak akan menjatuhkan harga diri atas nama apa pun.
Setelah menghela napas panjang dan membuangnya kasar, pria itu melangkah enggan ke kamarnya. Dia lelah. Ya fisik, ya batinnya. Mungkin merebahkan diri beberapa saat di ranjang bisa mengembalikan mood-nya yang terlanjur rusak.
Seulas senyum miris terukir di sudut bibir yang memerah alami itu. Lagi-lagi dia ditolak. Parahnya oleh wanita yang dilihat dari sisi mana pun telah halal baginya. Wanita yang seharusnya menghambakan diri demi mendapatkan cinta halal di bawah ridho pemilik semesta.
Bintang menatap langit-langit kamar dengan pikiran menerawang ke waktu beberapa tahun silam.
Perkenalan mereka berawal dari persahabatan antara papa Sitha dan papanya. Ikatan yang terjalin sejak sama-sama di perguruan tinggi. Mereka sempat terpisah setelah lulus karena papa Bintang harus kembali ke tanah kelahirannya di Singapura.
Hingga pada satu waktu mereka kembali bertemu di acara temu kangen angkatan. Papanya dan keluarga sengaja datang jauh-jauh dari kota Singa itu hanya untuk menghadiri reuni akbar tersebut.
Bintang masih ingat betapa mengharukan suasana pertemuan dua sahabat lama itu. Pertemuan yang terjadi setelah mereka sama-sama menikah dan punya anak. Dimana Bintang telah berusia 10 tahun dan Sitha sekitar 6 tahun.
Bukan saja orang tuanya yang menarik perhatian Bintang, anak mereka juga. Di pertemuan itu Sitha terlihat begitu manis. Di usianya yang masih sangat belia itu sudah terlihat berbeda dari teman sebayanya. Dia lincah dan juga ramah. Selain manja tentunya. Meski saat itu tak ada interaksi apa pun di antara mereka.
Beberapa bulan setelah pertemuan tersebut, papanya mengajak mereka pindah ke Jakarta karena urusan pekerjaan. Siapa nyana mereka malah jadi tetangga dekat. Sangat dekat. Kediaman mereka hanya dibatasi tembok tinggi.
Bintang yang awalnya ogah-ogahan, menjadi betah tiba-tiba.
"Jadi namamu Arsitha Putri Ayunda?" Bintang bertanya sambil melirik gadis kecil itu.
Gadis kecil yang usia terpaut empat tahun di bawahnya itu mengangguk. Matanya berbinar saat menunjukkan raport pada Bintang. Juara 1. Siapa yang tidak bangga coba.
"Kamu hebat." Bintang memuji tulus.
“Iya dong, Kak. Sitha ...." Gadis itu mengangkat dagu sambil menepuk d**a dengan telapak tangannya.
Bintang terkekeh. Lalu mengusap sayang kepala bocah perempuan yang sudah seperti adik baginya itu. Ya, awalnya hanya sebatas itu.
Dia mulai menyadari ada rasa yang berbeda pada Sitha justru setelah tamat sekolah menengah pertama.
"Kak?" ujar gadis kecil itu pada suatu siang.
"Ya?"
"Aku senang banget Kakak pindah ke sini. Aku jadi punya teman."
"Kakak juga."
"Tapi kalau nanti orang tua Kakak ngajak pergi lagi, bagaimana?"
Bintang tertegun.
"Aku pasti akan sangat kehilangan," lanjut gadis itu dalam gumaman.
Saat itu mereka sedang duduk di taman rumah Sitha. Tempat yang menjadi favorit untuk menghabiskan waktu bersama. Sejak bertahun lalu. Saat Bintang baru menjadi warga di kompleks ini.
"Kakak kok diam aja?" tanya Sitha lagi.
"Pasti Kakak juga gak keberatan ninggalin aku."
Entah pertanyaan, entah tuduhan yang dilontarkan Sitha. Bintang menoleh cepat, menatap gadis kecil itu yang sibuk berayun. Wajahnya sedikit cemberut. Tanpa bisa disembunyikan, kelopak matanya mulai berembun. Melihat hal itu mencelus hati Bintang.
"Sitha?"
Dia mendekat.
Ada desir aneh yang menjalar di d**a pemuda 14 tahun itu saat tanpa sengaja netra mereka bertemu. Untuk pertama kalinya ia merasakan ini. Seumur hidup.
Ada apa dengan dirinya?
Di saat yang sama, deru mesin mobil terdengar memasuki pekarangan halaman tetangga sebelah. Tepatnya rumah Bintang. Jika saja tidak ada tembok setinggi dua meter maka rumah mereka terlihat jadi satu. Bahkan kamar Bintang dan Sitha hanya berbatas dinding. Ketika mereka berdua sama-sama berdiri di balkon jarak mereka paling sekitar dua meter saja.
"Itu Mama. Aku pulang dulu ya."
Bintang buru-buru bangkit. Lumayan, kedatangan mamanya jadi alasan buat ia segera berlalu. Setidaknya Sitha tak perlu melihat bagaimana gugupnya dia.
"Nanti ke sini lagi ya, Kak?"
"Hmm. Daa ..., Ayu."
Mata gadis kecil itu membulat.
“Kok Ayu sih, Kak?"
"Karena kamu cantik."
Bocah kelas 3 SMP belajar menggombal. Bintang tak bisa membayangkan seperti apa rona wajahnya saat mengatakan? Hingga untuk selanjutnya hanya panggilan itu menjadi panggilan kesayangan Bintang.
Pria itu senyum-senyum sendiri saat mengingatnya. Masih segar di ingatan Bintang bagaimana dia berlalu dengan cepat. Kabur melalui pintu samping yang menjadi penghubung kedua taman yang bersebelahan. Saat itu dia malu setengah mati. Padahal yang dipuji tengah senyum-senyum semringah.
Sejak saat itu, seperti ada ikatan di antara mereka. Tak terucap, tapi mereka saling membutuhkan satu sama lain. Ibarat kata tiada hari tanpa kebersamaan. Paling tidak berbincang dari balkon masing-masing menjadi agenda yang tak tertulis mereka menjelang tidur.
Bahkan Sitha pun punya panggilan kesayangan untuknya. Kak Alka.
"Kenapa?" tanya Bintang saat itu.
"Karena Kakak juga memanggil aku berbeda," sahut gadis itu dengan senyum malu-malu. Pipinya memerah.
Makin berdesirlah hati Bintang. Remaja itu tertawa untuk menutupi suasana hatinya.
Hingga suatu malam ...
Bulan separuh ditemani bintang-bintang memenuhi langit ibukota. Malam yang indah. Saat itu tengah purnama. Jam di pergelangan tangan Bintang telah menunjukkan pukul delapan malam. Biasanya jam segitu Sitha sudah pamit untuk kembali ke kamarnya. Gadis itu terbiasa tidur paling lama jam setengah sembilan.
"Mama bisa marah kalau tau aku begadang." Begitu alasan gadis kecil itu.
Namun malam itu ada suasana berbeda. Sama dengan apa yang dia rasakan, Sitha pun enggan meninggalkan balkon tersebut.
Bintang tahu hati gadis itu tidak sedang baik-baik saja.
"Kak," panggilnya lirih.
Sitha duduk meringkuk sambil memeluk lutut. Tangannya membentuk lukisan abstrak di keramik balkon yang dingin.
"Ya?" sahut Bintang pelan.
"Kenapa harus pindah, Kak? Terus aku sama siapa? Aku gak punya teman selain Kakak."
Bintang mendengar gadis itu mulai terisak. Bintang bangkit dari duduknya. Dia melongokkan kepala ke samping agar bisa melihat wajah itu.
Hatinya mencelus melihat gadis yang dia sayang menghapus sendiri air matanya dengan ujung lengan baju. Bahkan sesekali terlihat ingus yang maju mundur saat Sitha menghela dan membuang napas.
Sungguh demi apa pun Bintang tak tega melihat semua itu. Andai saja dia mampu. Andai dia punya kuasa. Tapi apa? Dia hanya seorang anak kecil yang bahkan pendapatnya sama sekali tidak diperhitungkan.
"Maaf." Hanya kata itu yang bisa dia lontarkan.
"Kakak jahat!"
Gadis itu bangkit dari duduknya, menatap Bintang dengan mata memerah. Emosi sekaligus sedih. Terlihat nyata dari bagaimana cara gadis itu menatapnya.
Satu langkah lagi kaki mungil itu akan menghilang di balik daun pintu, "jangan jatuh cinta dengan yang lain. Aku akan kembali untukmu," ujar Bintang. Entah dia punya keberanian dari mana saat mengatakan itu.
Sesaat gadis berkuncir dua itu tertegun. Lalu memutar tubuh 180 derajat. Menatap Bintang yang berdiri di pinggir balkon pada sisi paling dekat dengan kamar Sitha.
"Kakak ...?" Bibirnya yang makin memerah bergetar.
"Percaya padaku, Ayu." Bintang menatap lekat.
... dan sampai saat ini Bintang memegang teguh janji itu. Dia tak pernah membuka hati pada perempuan mana pun.
Berbeda dengan Sitha. Dia justru menitipkan rasa pada pria lain saat telah menjelma menjadi gadis dewasa.
Kecewa?
Tentu! Tapi Bintang tak bisa menyalahkan Sitha. Salahnya yang tak pernah memberi kabar, apalagi datang. Da menghilang bagai ditelan bumi. Pernah terbersit untuk kembali beberapa tahun silam. Pada saat yang sama beasiswa yang dia ajukan ke negeri Paman Sam diloloskan. Bintang dihadapkan pada dua pilihan, impian atau cintanya.
Suatu pilihan yang sulit namun harus ditentukan.
Kini ....
Dia telah ada di sini. Impian yang dulu pernah sangat dia dambakan terwujud. Walau bukan seperti yang dia mau. Nyatanya kehadiran Bintang di sisi Sitha tak lebih dari seorang pengantin pengganti.
Miris memang!
Tak bisa memejamkan mata, Bintang kembali bangkit, lantas melangkah ke balkon. Tanpa disadari dia melirik ke sebelah. Balkon kamar Sitha. Kamar mereka yang juga hanya terpisah tembok. Andai saja Bintang bisa mengulang kembali kisah lama.
Bintang menghela napas panjang. Menyadari segalanya kini telah berbeda, tanpa sadar perlahan mulai menorehkan luka. Nyatanya kini hanya dia yang betah berlama-lama menyimpan semua kenangan itu. Sementara Sitha? Sepertinya wanita itu benar-benar telah melupakan semua.
Lagi-lagi Bintang tersenyum kecil seiring hatinya yang mulai patah.
Pria itu melangkah ke bibir balkon. Sambil mengedarkan pandang ke kejauhan, Bintang mengeluarkan sebungkus rokok. Menyandarkan tubuhnya pada pagar pembatas. Lalu mulai menyalakan pemantik.
Setelah meninggalkan kebiasaan buruknya itu selama hampir dua tahun, kini nikotin itu kembali dia sentuh.
Tepat sejak satu jam yang lalu, setelah mengambil motor yang semalam dia titipkan di parkiran klub malam tempatnya menemukan Sitha.
Penasaran dengan cerita sang penjaga tadi malam, saat datang ke sana Bintang mencari tahu. Ternyata satpam semalam sudah berganti shift.
Berbekal foto Sitha yang dia simpan di galeri ponsel dan beberapa lembar uang kertas ratusan ribu yang langsung berpindah tangan, Bintang mulai mencari tahu.
"Anda siapanya?" tanya satpam yang Bintang temui pagi ini.
Pemuda yang berusia sekitar 20 tahunan itu menatap Bintang curiga.
"Apa itu penting?" Bintang menatap pemuda itu lekat.
"Saya hanya tidak mau terlibat dalam urusan pribadi para pengunjung klub ini. Saya di sini cuma cari makan," sahut pemuda itu lagi.
Bintang menelisik wajah itu. Sepertinya pemuda tersebut tipe seseorang yang memang tidak mau tahu urusan orang lain. Tapi bukan berarti tidak tahu apa-apa, bukan?
Sikap tersebut justru membuat Bintang kian penasaran.
"Ini tentang urusan keluarga. Sebenarnya tak pantas saya bawa ke sini. Hanya saja melihat semalam sang penjaga di depan cukup mengenalnya, itu yang membuat saya penasaran," ujar Bintang terus terang.
Kini pemuda itu yang menatap Bintang lekat. Setelah beberapa saat dia menghela napas dan membuangnya perlahan.
"Anda kerabatnya?"
Bintang mengangguk. Biar urusan cepat kelar, dia membatin.
"Gadis itu memang pernah beberapa kali datang ke tempat ini. Tapi bukan semata-mata karena berkunjung." Pemuda itu memulai cerita.
"Maksudnya?"
"Pertama kali datang karena dia ditelpon pemilik klub yang tak lain sahabat kekasihnya. Saat itu sang kekasih dalam keadaan mabuk berat, dan dia diminta datang untuk menjemput."
Bintang merapatkan rahang. Seorang pria mabuk berat, malah yang diminta cewek untuk menjemput. Kenapa bukan dia yang mengantar atau menyuruh orang lain yang bisa dipercaya?
"Sebenarnya ...."
Pemuda itu melirik kiri kanan seolah takut apa yang nanti akan dia bicarakannya didengar oleh orang lain.
"Apa?" sahut Bintang penasaran.
"Mbak Sitha itu gadis yang setia."
"Setia?"
Pemuda itu mengangguk.
"Kalau dia mau, dia bisa mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dan lebih kaya dari Azka, tapi dia bertahan dengan pemuda yang menurut saya sama sekali tak pantas untuknya."
Menarik, batin Bintang.
Dia kian antusias mendengarkan obrolan pemuda itu.
"Tidak pantas? Lalu siapa yang lebih pantas?"
"Itu hanya penilaian saya."
"Pasti ada alasannya."
Pemuda itu menatap tajam Bintang.
"Saya tak biasa bercerita dengan mulut sepet seperti ini," sahutnya.
Dahi Bintang mengernyit sesaat, kemudian paham apa yang diinginkan pemuda itu. Dengan cepat dia merogoh kantong celana dan mengeluarkan dompet. Ia kembali menarik selembar uang kertas seratus ribu dan memberikannya ke pemuda itu. Senyum pemuda tersebut melebar.
"Saya tinggal sebentar ya?" ujarnya.
Bintang mengangguk.
Dia menggeleng perlahan begitu punggung sang pemuda menghilang di balik tembok klub.
Ada warung kecil di pinggir jalan bagian pojok bangunan ini. Ke sana lah pemuda itu melangkah.
Beberapa menit berselang sang pemuda yang memakai uniform khusus itu kembali menunjukkan wajah. Di tangannya kini ada dua cangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Minuman tersebut disajikan pada gelas plastik sekali pakai.
Setelah meletakkan kedua gelas itu di meja pos dia pun merogoh kocek. Dua bungkus Marlboro dia keluarkan dari sana. Dan membaginya sebungkus untuk Bintang.
"Saya nggak ngerokok," ujar pria itu.
"Lha, nggak bisa gitu. Saya nggak enak ngerokok sendiri sementara Anda hanya kebagian asapnya. Percayalah, sebungkus rokok tersebut tidak akan membunuh Anda."
Sial! Bintang membatin.
Ternyata selain mata duitan, pemuda itu juga suka bicara seenaknya. Tapi demi info lengkap yang dia inginkan, akhirnya Bintang mengalah. Termasuk menerima kopi yang tersaji dalam gelas plastik itu meskipun dengan rasa was-was. Menyangsikan keamanan dan kebersihan minuman tersebut.
Selanjutnya cerita mengalir dari bibir pemuda itu tanpa diminta. Ternyata pemilik tempat ini pun menyukai Sitha. Tapi gadis itu setia demi seorang cecunguk yang bernama Azka. Semakin penasaran lah Bintang dengan sosok pria itu.
Namun satu hal yang dia kagumi, meskipun beberapa kali ke sana, Sitha steril dari minuman beralkohol tersebut. Hal yang kini memacu penyesalan yang mendalam pada diri Bintang. Dia terlalu berburuk sangka pada sang istri.
Dengan kecepatan di atas rata-rata, motor besarnya melesat membelah jalanan ibukota yang belum terlalu ramai karena masih pagi. Keinginan pria itu hanya satu. Ingin segera sampai di rumah dan meminta maaf pada Sitha.
Tapi apa yang kini dia dapatkan?
Bintang kembali menyulutkan api pada rokok yang entah untuk ke-berapa batang. Yang dia lakukan sedari tadi hanya membakar ujungnya, mengisap sesekali. Lebih banyak membiarkan rokok menyala tanpa dihisap. Lalu setelah tinggal setengah dia matikan apinya dan menyulut batang selanjutnya.
Bintang menghabiskan waktu hampir satu jam di sana. Dan istrinya sama sekali tidak peduli.
Lagi-lagi Bintang tertawa seiring kepalanya yang mulai berdenyut nyeri.
Adakah jalan untuk membuat segala kenangan itu kembali?