Kenangan

2100 Kata
Sitha menggeliat berkali-kali. Ia masih enggan membuka mata, apalagi meninggalkan ranjangnya yang empuk dan nyaman. Ranjang? Menyadari dia tengah berada di mana, Sitha melompat kaget. Bagaimana dia bisa berada di ranjang kamar? Bukankah semalam .... Ingatan wanita itu memutar kembali kejadian demi kejadian yang dia lewati. Tentang dia yang meninggalkan rumah dalam keadaan marah. Tentang dia yang tanpa sengaja terdampar ke kediaman Azka dulu. Tentang perbincangannya dengan si Mbok. Dan terakhir tentang Bintang yang menemukannya lalu terjadilah keributan itu. Saat menjumpainya berada di pelataran parkir sebuah klub malam, Bintang terlihat sangat marah. Hal yang tidak dia mengerti. Bukankah seharusnya yang murka itu adalah dirinya? Bintang telah merampas segala yang dia miliki. Jika hanya karena terpaksa mencari keberadaannya, jelas Sitha tidak pernah meminta. Apalagi mengharapkan. Lalu kenapa? Bahkan saking geramnya Bintang tega menjejalkan dirinya alkohol. Yang lebih menyakitkan bagi Sitha, tanpa tedeng aling-aling Bintang menuduh, dia telah terbiasa mengonsumsi barang haram tersebut. Sakit hati dengan perlakuan Bintang dia pun menghabiskan minuman beralkohol yang dipesan Bintang nyaris setengah botol besar. Tak ayal dia jadi mabuk berat, bahkan muntahnya berceceran dimana-mana hingga akhirnya dia tak ingat apa pun lagi. Ya, seperti itulah rentetan peristiwanya. Tiba-tiba kepala Sitha berdenyut nyeri. Sepertinya pengaruh alkohol yang ditenggak masih menyisakan pusing. Untuk beberapa saat wanita itu memijit kepala sambil perlahan turun dari ranjang. Saat itu dia baru menyadari bahwa pakaiannya telah berganti baju tidur. Bola mata Sitha membeliak. Azka. Jadi benar pria itu datang tadi malam? Lalu bagaimana cara laki-laki itu bisa bersamanya? Bukankah sebelum itu dia bersama Bintang? Sitha kembali memutar otak. Yang dia ingat semalam kekasihnya datang dan mereka nyaris saja b******a. Entah kenapa dia merasa begitu b*******h melihat pria itu. Mungkinkah karena kerinduan yang dia simpan begitu besar? Sayang saat dia telah siap menerima sang kekasih seutuhnya, tiba-tiba saja Azka berlalu. Bahkan pria yang sangat dia cintai tersebut tak peduli dengan tangisannya yang memelas. Seperti itu yang dia rasakan. Ya, seperti itu. Dan rasanya demikian nyata? Tapi mungkinkah? Jika itu benar, lalu di mana Bintang? Atau sejatinya kejadian tersebut benar-benar nyata dan hanya pelakunya saja yang berbeda? Tiba-tiba Sitha menggeram. Awas saja kalau pria itu mengambil kesempatan, dia membatin. Panik, Sitha melangkah ke depan meja rias. Menatap bayang dirinya di depan kaca besar itu. Selanjutnya dia mulai memeriksa tubuh pada bagian-bagian tertentu. Yang kemungkinan jejak pria itu tertinggal. Sitha menarik napas lega setelah yakin tak ada yang berbeda. Ternyata dia hanya berhalusinasi. Pasti akibat pengaruh minuman sialan itu, pikirnya. Kini Sitha malah tak habis pikir. Ada apa dengan Bintang? Dengan menyia-nyiakan Sitha, Bintang melewatkan kesempatan yang seharusnya telah dia miliki sejak awal. Nggak mungkin 'kan pria itu seperti malaikat? Yang nggak memiliki nafsu syahwat sama sekali? Atau jangan-jangan sebenarnya Bintang kaum belok? Entah bagaimana pikiran itu melintas di kepala Sitha. Sekali lagi dia menatap wajah dan tubuh sendiri lewat pantulan kaca. Apa dia kurang cantik hingga Bintang tak selera padanya? Jika iya lantas untuk apa pria itu menikahi? Berbagai pertanyaan itu makin membuat mumet kepala wanita yang beberapa bulan lagi akan merayakan ulang tahunnya yang ke-21. Demi sebuah status. Ya, bisa jadi seperti itu. Penawaran papanya merupakan kesempatan yang tidak akan terjadi dua kali. Karena itulah Bintang langsung menerima. Bukannya di zaman sekarang cowok tampan dan macho demennya main pedang-pedangan? Itu sudah menjadi rahasia umum. Dan untuk menyamarkan hal tersebut, Bintang menerimanya. Lagi-lagi pikiran melantur memenuhi otak Sitha. Wanita muda itu bergidik sendiri membayangkan. "Ya Tuhan, jangan sampai Bintang menjadi salah satunya," tanpa disadari dia menggumam. Namun dengan cepat dia menggeleng. Apa pedulinya? Toh hubungan mereka tidak seperti pasangan yang baru menikah pada umumnya. Kenyataannya selama ini sikap Sitha terhadap Bintang tidak begitu buruk. Andai Bintang sedikit saja memaksa, pasti dia tak ‘kan bisa menolak. Karena biar bagaimanapun mereka suami istri. Nyatanya Bintang pun mengabaikan istri sendiri walau telah berkali-kali mendapat kesempatan. Jadi tidak salah kan jika pada akhirnya pikiran itu yang terlintas? Sitha membatin seiring bulu kuduknya yang meremang. Kalau hal tersebut benar. Jika tidak? Sitha tersenyum miris, untuk pertama kali dia merasa hidupnya menyusahkan banyak orang. Bintang terutama. Satu yang disyukuri wanita itu, Bintang masih peduli terhadapnya. Kalau saja Bintang tidak mencari, Sitha tidak tahu apa yang akan terjadi padanya tadi malam. Semenyakitkan apa pun cara Bintang, pria itu tetap menunjukkan tanggung jawab sebagai seorang laki-laki dan juga suami. *** Masih mengenakan baju tidur, Sitha melangkah keluar kamar. Perutnya yang dari kemarin siang tak terisi, membuat para cacing mulai berdemo. Dengan langkah pelan dia menuruni tangga. Aroma masakan dari arah dapur menggugah seleranya. Gegas dia menuju ke sana. Di dapur terlihat Bik Isah tengah berkutat dengan sebuah spatula di tangan yang dipakai buat mengaduk masakan yang berada di dalam kuali. “Masak apa, Bik?” sapanya ramah pada asisten rumah tangga mereka. Wanita paruh baya itu terlonjak kaget. Mulutnya meracau mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya. Spatula yang ia pegang terjatuh begitu saja mengenai kaki sendiri. Membuat omongannya makin melantur tak jelas. "Ya Allah, Bu, Bibi kaget." Bukannya menjawab tanya Sitha, wanita paruh baya itu justru mengeluhkan kondisinya. Dia mengelus d**a sendiri. "Maaf, Bik. Saya gak tau kalau ternyata Bibi punya penyakit ...," Sitha sengaja menggantung ucapannya. Ke mana saja dia selama ini? Tak tahu apa pun tentang orang-orang terdekatnya. "Gak pa-pa, Bu," sahut wanita latah itu. Sitha mengenyakkan pinggul di salah satu kursi meja makan. "Bapak tidur lagi ya?" tanyanya sambil memasukkan sepotong pisang goreng ke mulut. Karena tidak mungkin Bik Isah bisa masuk tanpa ada yang membukakan pintu. "Bukannya tadi Bapak pergi, Bu?" Wanita itu balik bertanya. "Setelah membukakan pintu, tak berapa lama Bapak keluar dan belum pulang sampai sekarang," lanjut wanita itu. Di saat yang sama terdengar suara motor Bintang memasuki garasi. Tiba-tiba perasaan Sitha tidak enak. Memikirkan apa yang dilakukan Bintang terhadap dirinya semalam, rasa segan dan malu untuk bertatap muka dengan sang suami membelitnya. Wanita itu bergegas meninggalkan dapur. Sayangnya dia sedikit terlambat. Tubuh tinggi Bintang lebih dulu menghadangnya di ruang tengah, muncul dari garasi. Sitha gugup, wajahnya memucat saat tanpa sengaja netra mereka bertemu. Dia cepat-cepat membuang muka. "Baru bangun?" sapa Bintang pelan. Namun nyata di telinga wanita itu. Sitha mendongak, kembali pandangan mereka bertemu. Wajah Bintang terlihat sangat lelah. Lingkar matanya bahkan sedikit menghitam. "Maaf atas kejadian semalam," lanjutnya. "Tak seharusnya aku melakukan itu." Sitha bergeming. Lalu cepat-cepat mengalihkan tatapan ke sembarang arah ketika membayangkan dirinya yang tanpa busana di depan pria itu. "Percayalah, aku menyesal melakukannya," lanjut pria itu lagi. Dia benar-benar takut jika Sitha tidak bisa memaafkan perbuatannya yang memang keterlaluan. Sitha lagi-lagi mendongak. "Melakukan apa? Kamu tidak mengambil kesempatan saat aku tidak sadarkan diri kan?" Tak tahan, meluncur juga kata itu dari bibir Sitha. "Bintang menatapnya lekat. Matanya memerah. Seperti kurang tidur. Atau bahkan tidak tidur sama sekali? Sama seperti Bintang, sesungguhnya perasaan bersalah pun menggerogoti batin Sitha. Seburuk apa pun perlakuan Bintang padanya, itu memang karena dia yang keterlaluan. Sikapnya yang kekanak-kanakan pasti membuat pusing laki-laki itu. "Sudahlah, lupain aja," sahutnya. Bintang menatapnya sendu. Entah punya kekuatan dari mana, tiba-tiba Sitha memeluk Bintang erat. Membuat laki-laki itu tertegun. Sesaat Bintang hanya bergeming. "Aku yang salah," bisik Sitha bergetar. Bintang kembali dibuat takjub. Benarkah ini Sitha yang dia kenal? Lalu ke mana sikap angkuhnya selama ini? Mungkinkah dia telah berubah? "Aku yang seharusnya minta maaf," lanjutnya. Tanpa dinyana Bintang, tubuh itu bergetar. Di dadanya Sitha membenamkan wajah. Dan wanitanya itu terisak. Refleks Bintang memeluk erat tubuh Sitha dengan perasaan campur aduk. Sesak yang selama ini memenuhi rongga dadanya seolah raib begitu saja. "Bin ...." "Hmmm ...." "Gue seburuk itu kah?" Sitha bertanya setelah bisa menguasai diri. Bintang menghela napas. Ada rasa sesak yang tiba-tiba mengimpit d**a bidangnya. Dia sangat mengerti ke mana arah omongan wanita itu. “Maaf." Akhirnya kata itu terlontar dari bibir Bintang. Rasa sesalmu akan makin berlipat saat orang yang kau pikir bersalah justru mempertanyakan kesalahan itu dengan sikap polosnya. “Kamu tau, Bin. Aku memang petakilan, slengean, suka seenaknya. Tapi sejauh ini aku masih bisa membedakan mana pergaulan yang menyesatkan dan mana yang tidak," ucap Sitha pelan. Nyaris gumaman. Bulir-bulir bening kembali mengambang dari sudut matanya. "Aku tidak bilang aku nggak pernah ke sana. Mungkin kamu nggak akan percaya, jika saat berkunjung ke night club itu aku hanya mengkonsumsi air mineral," lanjutnya. Bintang kian merasa bersalah. Sitha kemudian mengurai pelukan. Namun Bintang menahan. Dia makin mendekap erat tubuh itu, kembali membenamkan kepala wanita itu di dadanya. Ucapan Sitha menyentil ego Bintang. Hingga luruh berkeping oleh rasa sesal. Selalu ada hikmah di balik sebuah peristiwa. Ya. Kejadian kemarin berhasil mengungkap kepribadian Sitha yang sesungguhnya. Wanita itu tak seburuk yang dia perlihatkan selama ini. "Sitha ...." Bintang mengangkat dagu wanita itu. Hingga netra mereka saling bertemu. Dengan ujung jarinya yang menghapus titik-titik air di pipi Sitha satu persatu, pertahanan Bintang runtuh. "Aku sayang kamu," bisiknya. Menatap lekat ke dalam netra wanitanya. Sitha membeku. Apa dia tidak salah dengar? Bintang bilang apa? Sayang? Atau dia tengah berhalusinasi? “Bin ...?" "Aku sayang kamu, Sitha. Sangat!" tegas pria yang telah menikahinya hampir dua trimester ini. "Tapi ...." “Kamu mencintai orang lain?" Rasa Bintang terkoyak saat mengatakan ini. Sitha membuang pandang. "Maafkan aku." Dia lalu mengurai pelukan. Berjalan ke depan jendela, menatap ke kejauhan. Dimana, di ujung sana kendaraan yang mulai terlihat ramai memenuhi jalan protokol. Wanita itu menghela napas berkali-kali agar sesak di dadanya sedikit berkurang. Dia tahu Bintang laki-laki yang baik. Tapi dia tidak bisa menerimanya. Selain Azka, hanya ada satu nama yang mengisi relung hati Sitha hingga saat ini. Sosok yang tak bisa dia lupakan. Lelaki itu impian masa kecilnya. Kalau pun Azka harus terganti maka orang itu adalah Alka. Seseorang dari masa lalunya. "Jangan jatuh cinta pada yang lain, karena aku akan kembali untukmu." Kata-kata itu selalu terngiang di telinga Sitha. Pria kecilnya membisikkan kalimat itu sehari sebelum dia dibawa pergi jauh oleh orang tuanya. Entah ke mana. Sitha masih terlalu kecil untuk memahami. "Beri aku kesempatan untuk memenangkan hatimu." Ucapan Bintang membuyarkan lamunan Sitha. Dia menatap laki-laki itu, "maaf," desisnya dengan mata berkaca-kaca. Tanpa mengatakan apa pun lagi, Sitha berlari menaiki anak tangga. Dia menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Kenapa jadi serumit ini? *** Ya. Hanya ada Azka--sang kekasih saat ini atau Alka--sosok teman masa kecil, sahabat, dan juga cinta pertamanya. Mungkin di saat usia yang belum genap sepuluh tahun, saat itu terlalu dini bagi Sitha untuk memaknai arti cinta yang sesungguhnya. Namun satu hal yang dia tahu, dari hari ke hari rasa yang dia miliki buat Alka kian menguat. Rasa itu bersemayam demikian kukuh, hingga saat kehilangan pemuda dia seakan mati rasa. Sitha terpuruk dalam kesendirian. Dia membentengi diri dari berbagai godaan demi sebuah janji yang terucap dari bibir pemuda berdarah Timur Tengah itu. Janji yang benar-benar Sitha genggam sampai melewati masa remaja begitu saja. Dia setia sejak saat separuh hatinya menjadi milik Alka. Hingga tak pernah ada nama lain yang berhasil menyusupi. "Lo nolak gue, Tha?" tanya Fandy--sang ketua OSIS saat Sitha masih duduk di bangku SMP. Remaja itu menatap Sitha tak percaya. "Kenapa?" lanjutnya. "Ya karena gue hanya nganggap lo teman. Nggak lebih." "Percayalah, lo bakal nyesel dengan keputusan lo ini," ujar Fandy ketus. Setelahnya berlalu dengan amarah, meninggalkan gadis itu di kantin sekolah. Uang yang sudah terlanjur dia berikan kepada ibu kantin untuk mentraktir Sitha kembali dia minta karena kesal. Seumur-umur baru Sitha yang berani menolak. Harga diri remaja 14 tahun itu terkoyak karenanya. Pun demikian dengan Rafi. Vokalis band sekolah yang digilai hampir seisi siswa perempuan di SMA Kartini. Wajah pemuda peranakan Sunda Minang itu memerah saat Sitha menolaknya mentah-mentah di acara pentas seni akhir tahun. Bisa dibayangkan bagaimana malunya Rafi. Secara dengan ketampanannya yang di atas rata-rata, adalah satu hal yang mustahil jika dia sampai ditolak. Satu-satunya pemuda yang akhirnya bisa meluluhkan hati Sitha adalah Azka. Seorang mahasiswa politeknik. Awalnya cowok berdarah Jawa-Bugis itu pun tidak mudah bagi Sitha untuk membuka hati. Jika pada akhirnya dia menyerah lebih karena gadis itu mulai putus asa dalam penantiannya pada Alka yang tak pernah ada kepastian. Kini tiba-tiba saja nama itu kembali menguat di ingatan Sitha. Mungkinkah karena rasa putus asa yang dia rasakan pada Azka? Merasa harapan yang dia semai pada pria itu hanya sebuah kesia-siaan. Bahkan dalam halusinasi pun Azka lagi-lagi mengecewakannya. Lalu apa bedanya dengan Alka? Dia diminta menunggu. Namun jangankan datang, bahkan secuil berita tentang teman kecilnya itu pun tak pernah lagi dia dengar. Alka benar-benar menghilang. Dia seperti ditelan oleh sebuah peradaban. Laki-laki itu tak pernah tahu bagaimana dia susah payah membentengi diri agar tidak terpengaruh teman-temannya untuk pacaran. Sementara sekarang? Hanya Bintang yang jelas-jelas ada untuknya. Lelaki yang Sitha tahu akan melakukan apa saja demi membuat dia bahagia. Lelaki yang telah mengorbankan kepentingan pribadi demi menjaga kehormatan orang tua Sitha. Lalu layakkah pria itu mendapatkan perlakuan seperti itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN