Di kamarnya Sitha termangu.
"Aku sayang kamu, Sitha. Sangat." Kata yang terucap pelan namun penuh penegasan dari bibir Bintang, dengan tatapannya yang sendu itu kembali membayanginya.
Mungkinkah? Batin Sitha.
Jika benar, hal apa yang membuat Bintang jatuh cinta padanya? Bukankah selama ini sikapnya demikian buruk? Bahkan dia tak pantas walau sekedar untuk dikasihani. Ataukah rasa itu ada terdorong oleh perasaan bersalah karena telah memperlakukannya kasar tadi malam? Ya, mungkin karena itu. Bintang hanya merasa bersalah.
Sesungging senyum miris menghiasi sudut bibir Sitha. Entah kenapa hatinya malah nelangsa saat memikirkan hal itu. Dia tidak suka dikasihani.
Perlahan Sitha bangkit dari bibir ranjang, pindah ke kursi di depan meja rias. Sesaat menatap bayang dirinya dari dalam cermin.
Terlepas dari sikapnya yang buruk, dia cantik. Sepertinya tidak ada siapa pun yang akan meragukan hal tersebut. Termasuk Bintang. Sitha yakin itu.
Namun cinta datang tak semata karena rupa bukan? Ada hal yang lebih penting dari semuanya. Kenyamanan. Itu yang tidak pernah dia berikan pada Bintang. Lalu hal apa yang bisa membuat pria bertubuh atletis itu jatuh cinta? Satu yang pasti selama menjadi istri Bintang, sikapnya menyebalkan.
Pria itu memutuskan bertahan di sisinya pasti hanya karena Bintang menghormati orang tuanya.
Sitha memejamkan mata. Memikirkan hal itu tanpa disadarinya ada yang teriris perih. Ternyata dia semenyedihkan itu.
Kalau memang demikian, untuk apa Bintang mencarinya? Bukankah membiarkan dia pergi kemarin adalah kebetulan yang pas? Bintang bisa cuci tangan karena yang meninggalkan rumah adalah Sitha sendiri. Tapi laki-laki itu tak membiarkan hal itu terjadi.
Terbersit keinginan di hatinya untuk mencari tahu. Mungkin dari ekspresi wajah saat ijab qobul misalnya. Bibir manusia bisa saja berbohong, tapi tidak dengan sorot matanya. Sitha pernah mendengar kata-kata itu.
Mengingatnya, Sitha meraih album pernikahan yang tersimpan rapi di laci lemari pakaian. Album yang belum pernah dia lihat sama sekali sejak dikirimkan ke rumah ini beberapa waktu yang lalu.
Dengan jemari yang sedikit bergetar, Sitha meraih album bersampul warna pastel dengan lukisan bunga mawar. Masih terbungkus rapi dalam kotak karton dengan bagian depan terbuat dari plastik transparan.
Perasaannya berdebar saat membuka pita pengikat album tersebut. Ada gambar hati yang diukir timbul di cover.
Perlahan wanita itu membukanya. Pada halaman pertama terdapat foto mereka sedang berpose di pelaminan. Di foto tersebut keduanya saling berhadapan. Satu tangan Sitha berada di pundak Bintang, sedangkan satunya lagi di bagian d**a pria itu. Sitha menatap ke kamera. Sementara Bintang menatap wajahnya dengan satu tangan melingkari pinggang Sitha. Tatapan Bintang redup.
Entah kenapa melihat tatapan itu dadanya sedikit berdebar.
Setelah menarik napas panjang, Sitha membuka lembaran kedua. Dimana Bintang tengah menjabat erat tangan papanya saat ijab kabul. Tak ada keraguan dalam sorot matanya.
Pada lembaran ke-tiga, Sitha menemukan foto mereka, masih di pelaminan. Namun kali ini Bintang tengah menatap ke kamera.
Sesaat Sitha terpana. Dia merasa tatapan itu tidak asing. Tatapan yang tiba-tiba membuat dirinya merasa kembali ke masa lalu.
Astaga, Tha. Lo kenapa?
Cepat Sitha kembali menutup album foto itu dan kembali menyimpannya ke laci.
Sesaat dia tertegun. Mulai menyadari sesuatu.
Mungkinkah?
***
Sitha mondar-mandir di ruang tengah. Berbagai pertanyaan menghantuinya kini. Terlepas dia menyukai Bintang atau nggak, yang pasti sekarang laki-laki itu suaminya. Orang yang paling berhak atas dirinya. Tapi apa yang telah dia lakukan?
Sesekali Sitha mendongak ke lantai atas. Berharap Bintang muncul di ujung tangga sana. Namun sepertinya sia-sia. Begitu tersinggung kah laki-laki itu?
Sitha melirik jam dinding, sudah jam dua siang. Laki-laki itu belum juga keluar kamar. Ingin melihat ke sana, tapi Sitha merasa malu. Mau minta tolong Bik Isah, wanita paruh baya itu baru saja pulang setelah membereskan semua pekerjaannya. Bik Isah memang asisten rumah tangga yang bekerja lepas.
Kekhawatiran mulai merasuk pikiran Sitha saat jarum jam makin bergerak ke kanan. Sudah menjelang sore. Tidakkah laki-laki itu merasa lapar? Sementara tidak ada tanda-tanda pria itu akan keluar kamar.
Berbagai pikiran merasuki benak Sitha. Bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi pada pria itu? Apa hanya karena sakit hati dengan penolakannya, hingga Bintang memutuskan untuk mengurung diri? Ah gak mungkinlah. Dia kan laki-laki, pikiran Sitha membantah.
Lalu kenapa?
Berbalut rasa penasaran, akhirnya wanita itu pun menaiki anak tangga. Dia harus memastikan Bintang baik-baik saja. Biar bagaimanapun Bintang begitu karenanya.
Ragu Sitha mengetuk pintu kamar Bintang. Tak ada sahutan. Kekhawatiran makin mendera wanita bermata zamrud itu. Dia lalu memutar hendel daun pintu, tidak dikunci.
Dengan langkah perlahan Sitha masuk, lalu kembali menutup pintu. Debar di d**a wanita itu kian mengencang saat langkah kakinya makin mendekati ranjang Bintang. Aroma musk menusuk indera penciuman Sitha. Khas laki-laki dewasa.
Sitha menarik napas panjang berkali-kali dan membuangnya kasar. Ada debar tak biasa yang tiba-tiba menyapanya.
Aneh. Ada apa ini? Dia membatin.
Sitha menggeleng, mengusir desir yang tanpa dia sadari makin intens.
Dengan hati-hati wanita itu duduk di bibir ranjang. Di sisinya Bintang tidur dengan lelap. Posisinya sedikit meringkuk dengan kedua tangan diselipkan di sela paha.
"Bin ... Bintang. Bangun! Kamu gak papa, 'kan?" Sitha menggoyangkan pundak lelaki itu pelan.
Bintang hanya mendengkus kemudian kembali pulas. Sitha yang memiliki sifat tidak sabar kembali mengguncang tubuh itu. Kali ini lebih keras.
"Bintang, bangun! Kamu nggak berencana tidur sampai sore, kan?" Nada suaranya mulai meninggi.
Tubuh besar Bintang menggeliat. Tubuhnya yang panjang kian meregang. Tanpa sadar tatapan Sitha tertuju pada pangkal paha laki-laki itu.
Wajahnya memerah saat menyadari sesuatu yang ikut menggeliat di sana. Dengan cepat Sitha membuang pandangan. Debar di dadanya kini kian bergemuruh.
Berada dalam kamar seorang pria yang notabene telah halal baginya ternyata butuh kekuatan mental. Ditambah suasana kamar yang temaram mengacaukan angan wanita itu.
Tak ingin pikirannya melanglang buana, Sitha buru-buru bangkit dari bibir ranjang Bintang. Belum sempat menggeser pinggulnya, Bintang kembali menggeliat.
Darah seolah berhenti mengaliri tubuh Sitha saat tiba-tiba tangan besar Bintang memeluk pinggangnya. Debar yang tadi sempat mereda kembali menggila. Kini posisi wajah Bintang sejajar dengan pinggulnya.
Jujur posisi itu membuat debar di d**a Sitha semakin tidak karuan. Dia bahkan merasakan lututnya goyah. Perlahan dia mengangkat tangan itu. Niat untuk memindahkan perlahan agar tak lagi memeluknya.
Namun bukannya berpindah, pelukan itu kian menguat. Hanya orang yang sudah bangun yang bisa melakukannya. Sadar akan hal itu, bibir Sitha cemberut.
"Ish ... modus banget nih orang," gumamnya.
Lalu apa yang salah Sitha? Dia suamimu!
Mengingat itu akhirnya Sitha tidak melakukan apa-apa lagi. Dia hanya menatapi wajah Bintang yang terlihat kembali pulas. Atau pura-pura pulas.
Menatap dengan jarak sedekat itu, dahi Sitha berkerut. Sepertinya wajah Bintang begitu familier di otaknya. Apa mungkin karena beberapa hari terakhir ini interaksi di antara mereka lumayan sering?
Sitha menggeleng.
Sepertinya bukan.
Jika bukan, lantas kenapa? Apa mungkin secara perlahan pria itu telah berhasil menyusup ke dalam hatinya?
Lagi-lagi Sitha menggeleng.
Ah gak akan. Mungkin yang kurasakan ini hanya rasa simpati. Karena bagaimanapun Bintang lelaki yang baik. Wanita itu membatin.
Sibuk berkutat dengan pikirannya, Sitha tidak menyadari kalau Bintang benar-benar telah terbangun. Sedikit speechless. Kenapa gadis itu ada di kamarnya? Dia pikir tadi hanya tengah bermimpi saat memeluk erat wanita yang telah membuatnya jungkir balik itu. Yang lebih membuat Bintang heran, Sitha membiarkan dirinya dipeluk.
Sesungging senyum menghias sudut bibir pria itu. Serta merta dia mempererat pelukan. Menyusupkan kepalanya di sisi Sitha. Wanita itu tersentak kaget. Menyadari kalau Bintang benar-benar telah terbangun, wajahnya menghangat.
Sitha berusaha beranjak, melepaskan tangan Bintang yang masih memeluk pinggangnya erat. Namun sia-sia. Pelukan itu malah kian memacu detak jantungnya.
Tak kehilangan akal, Sitha memutar tubuh. Sayangnya dia salah perhitungan. Sitha berpikir pelukan Bintang yang mengendur karena dia telah berhasil. Padahal laki-laki itu sengaja agar nantinya dia bisa dengan mudah menarik tubuh Sitha tanpa wanita itu sadari.
Tepat saat Sitha telah berdiri, Bintang menangkap pergelangan tangan wanita itu dan menyentaknya. Sitha terjatuh nyaris menimpa tubuh Bintang.
Bintang tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia mengunci Sitha dalam kungkungan. Lalu membuka mata perlahan. Menatap tepat ke bola mata Sitha.
“Jangan pergi!” desisnya pelan.
“Bin ....”
“Tetaplah di sini. Bersamaku,” tegas Bintang dengan suara parau. Kali ini dia tidak bisa lagi berdamai dengan diri sendiri. Dia menginginkan wanita itu utuh.
“Bin ....”
“Aku sayang kamu, Arsitha.” Lelaki itu mulai menguasai. Dia menatap wajah cantik itu dengan tatapan yang kian meredup. Merengkuh leher belakang Sitha hingga wajah mereka kian mendekat.
Sitha gugup bukan main. Situasi ini diluar prediksinya.
Sial!
Bintang mengambil kesempatan.
Sitha sangat sadar akan hal itu. Tapi anehnya tak ada usaha yang ingin dia lakukan saat laki-laki itu berusaha memonopoli dirinya. Dia bisa apa saat separuh hatinya menolak, tapi tubuh mengharapkan hal yang berbeda. Bintang terlalu mempesona untuk dianggurkan.
Dentam di d**a keduanya kian bertalu. Mereka terjebak dalam rasa yang saling menuntut untuk segera dimuarakan. Entah siapa yang lebih dominan. Keduanya seakan tak lagi peduli. Hingga sampai pada satu titik yang membuat Sitha tersentak. Sesaat hanya tertegun saat menyadari dirinya telah menyerah tanpa syarat di bawah kuasa tubuh tegap Bintang.
Lelaki itu telah berhasil mengambil haknya secara utuh dengan sangat manis.
Sitha kalah?
Tidak! Ia justru telah menang melawan egonya sendiri. Sudah saatnya rasa yang ia miliki berada di tempat yang seharusnya.
***
Sitha meringkuk di bawah selimut. Menyembunyikan wajahnya yang sudah seperti udang rebus dari penglihatan Bintang. Sementara laki-laki itu masih berbaring di sisinya. Tubuh Bintang hanya ditutupi dengan sarung.
Akhirnya seorang Bintang mampu membuatnya bertekuk lutut.
Lo memalukan Sitha. Gitu gampangnya terpancing hanya karena diperlakukan manis oleh Bintang'. Sitha memaki diri sendiri.
Sekarang bagaimana cara dia menunjukkan wajah di depan pria itu. Belum beberapa jam dia menolak kata cinta yang diucapkan laki-laki itu di ruang tengah tadi. Kini dia sendiri malah yang menyerahkan diri dengan mendatangi kamar Bintang.
Bintang yang melihat ulah Sitha tersenyum kecil. Wanita itu lucu sekali. Mendadak jadi marmot yang menggemaskan dengan tingkahnya yang malu-malu kucing. Hal itu kian membuat Bintang gemas.
Rasa yang dimiliki pria itu jadi makin berlipat-lipat karenanya.
"Sitha ...." Bintang menggeser tubuh mendekati wanitanya itu yang makin meringkuk ke sisi paling ujung ranjang.
"Lo bisa keluar dulu gak, Bin? Gue malu," potong wanita itu sembari menutupi wajah dengan selimut.
"Ayolah, Sayang. Aku suamimu," sahut Bintang pelan.
Bukannya beranjak pergi, dia malah makin merapat. Menarik selimut Sitha hingga sebatas leher. Refleks wanita itu menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Ternyata seorang Arsitha yang galaknya melebihi macan bisa juga tersipu malu. Bintang merasa sempurna menjadi seorang laki-laki.
Dia merengkuh kepala wanita itu dan membenamkan di dadanya yang bidang. Perlahan berbisik, "tapi tadi gak malu ...."
"Auww."
Bintang menjerit tertahan saat cubitan Sitha mendarat di perutnya yang rata. Kemudian terpingkal melihat wajah istrinya yang sudah seperti udang rebus.
"Ish ... kenapa mesti dibahas sih," ujar Sitha cemberut.
Wajahnya sudah seperti tomat. Semakin tak punya muka ia di depan pria tersebut. Serasa menjilat ludah sendiri.
Sitha pernah mengatakan dia tidak akan tersentuh pria itu kecuali mampu membuatnya jatuh cinta.
Tapi sekarang?
Atau jangan-jangan tanpa disadari, Bintang telah berhasil memenangkan hatinya? Mungkinkah ketulusan pria itu membuat dia pada akhirnya luluh? Yang pasti saat ini Sitha mulai merasa nyaman bersama Bintang.
Tanpa disadari dia kian membenamkan wajah di d**a yang ditumbuhi bulu halus itu. Menghirup aroma tubuh Bintang yang sepertinya tak akan mudah dia lupakan setelah ini.
Usapan lembut di kepalanya mengingatkan Sitha akan seseorang. Selain orang tuanya hanya pemuda itu yang berani melakukannya. Alka--si cinta pertamanya. Bahkan Azka pun tidak.
Penasaran, Sitha mendongak. Dia menelisik wajah itu. Kenapa baru dia sadari kalau Bintang ada kemiripan dengan Alka? Tapi mungkinkah?
Sitha menggeleng. Membantah keraguannya sendiri. Mungkin ini efek karena ia terlalu merindukan sosok itu. Atau karena sekarang dia melihat Bintang dengan cara yang berbeda?
Aneh!
Kenapa justru makin ke sini ia selalu mengaitkan Bintang dengan sosok masa lalunya. Bahkan akhir-akhir ini dia mulai melupakan Azka.
“Ada apa?"
Pertanyaan Bintang membuyarkan lamunan Sitha. Pria itu mengecup lembut pundak Sitha yang terbuka. Hal yang membuat Sitha sadar kalau mereka telah melangkah demikian jauh.
Dengan sedikit memaksa Sitha keluar dari pelukan Bintang.
"Gak, gue mau ...." sahut Sitha gelagapan.
Bukannya melepaskan, Bintang malah kian mempererat pelukannya. Menatap lekat ke dalam mata itu. Dan dekat. Napas Bintang yang teratur membelai wajah Sitha. Sungguh ketenangan yang terpancar dari sorot mata itu adalah hal yang tak bisa Sitha tolak.
"Mau apa?" gumam Bintang. "Lagi? Ayo!" bisiknya di daun telinga sang istri.
"Ish ... apaan sih."
Sitha melengos malu. Lalu segera melompat turun dari ranjang. Kini dia benar-benar bersiap untuk angkat kaki. Tubuhnya dililiti selimut dari atas sampai bawah. Layaknya kepompong.
"Aku pinjam selimutnya," ujar wanita itu dengan langkah tergesa. Memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai. Sempat dia melirik Bintang dengan ekor mata. Beruntung laki-laki itu pura-pura tidak melihat. Detik berikutnya, dia bersegera meninggalkan kamar Bintang.
Lumayanlah! Setidaknya dia tidak tebal muka.
Bintang senyum tertahan diiringi bunga yang bermekaran di dalam dadanya. Dia garuk-garuk kepala yang tak gatal.
Sitha luar biasa. Menggemaskan.