Bintang membaringkan tubuh Sitha yang kini sudah tak sadarkan diri di ranjang. Sesaat ia tertegun, bingung antara mau menggantikan pakaian gadis itu atau tidak. Sementara bagian d**a pakaian tersebut terkena muntah. Dan itu tidak sedikit. Bahkan bekas muntahan itu juga menempel di kemejanya. Pun demikian dengan celana panjang yang Sitha kenakan. Bagian pahanya bekas muntahan itu bahkan telah mengering.
Akhirnya tanpa pikir panjang lagi Bintang membuka pakaian Sitha satu persatu dan memasukkan ke keranjang cucian kotor. Hanya menyisakan pakaian dalam wanita itu.
Bintang lalu melepaskan kemejanya sendiri karena tak tahan dengan bau cairan yang dimuntahkan Sitha.
Selanjutnya Bintang bergegas ke dapur. Dia mengambil sebaskom air hangat, dan kembali ke kamar. Dengan cekatan dia mulai membersihkan tubuh dan wajah Sitha dengan selembar handuk kecil.
Tubuh itu tergeletak pasrah. Pemandangan yang sungguh menggoda iman bagi lelaki mana pun yang melihatnya. Apalagi Bintang. Bagaimanapun Sitha istrinya.
Bintang berkali-kali menarik napas panjang dan membuangnya kasar. Pria itu mati-matian menahan hasrat agar tak tergoda.
'Kau bodoh, Bintang, jika sampai menyia-nyiakan kesempatan ini.' Satu sisi batinnya mengompori.
'Jangan! Itu bukan dirimu, Bin.' Sisi yang lain membantah.
'Lalu kapan lagi? Kau berhak atas dirinya. Bukankah ayah gadis itu sendiri bilang bahwa ada kalanya kita para lelaki bertindak sedikit memaksa?'
'Dan pada akhirnya hanya kebencian yang makin mendalam kau tanamkan dalam diri Sitha.'
Pergolakan batin itu kian membuat sesak d**a Bintang.
"Haaahhh!"
Dia menghembuskan napas kasar mengusir pikiran yang mulai gentayangan ke mana-mana. Jika hanya pikiran, dia masih bisa menguasai. Tapi bagaimana dengan adik kecilnya yang seolah tidak mau bekerja sama?
"Sialan." Bintang memaki diri sendiri menyadari celana panjang yang dia kenakan kian menyempit bagian pangkal paha.
Dengan tergesa-gesa dia kemudian memakaikan baju tidur Sitha. Saking buru-buru tanpa sengaja punggung tangannya menyentuh salah bukit kecil di d**a Sitha yang hanya ditutupi pakaian dalam. Tubuh Bintang seketika membeku.
Di saat yang sama Sitha menggeliat. Perlahan mata indah itu terbuka. Mengerjap beberapa kali lalu kemudian menatap Bintang dengan tatapan redup.
Pengaruh alkohol di tubuhnya seakan mematikan akal sehat wanita itu. Melihat Bintang yang bertelanjang d**a, gairahnya bergelora. Sitha menyambar tangan pria itu saat mencoba menjauh darinya.
Bintang yang sudah mati-matian menahan diri akhirnya terpaksa menyerah. Dia menyambut uluran tangan itu. Karena sudah sama-sama dikuasai syahwat mereka mulai saling menjejaki tubuh masing-masing.
Gairah keduanya kian memuncak. Hanyut dalam pergulatan yang kian membara Sitha mendesah.
"Azka, gue sayang lo," gumamnya.
Bintang tersentak. Gairahnya yang sudah sampai di ubun-ubun seketika kembali terjun bebas. Dengan cepat dia melompat turun dari ranjang Sitha. Memunguti pakaiannya yang berserakan kemudian berlalu.
Dia meninggalkan Sitha yang masih terus meneriakkan nama Azka.
Di kamarnya Bintang terenyak. Laki-laki itu menopang kepalanya yang tiba-tiba berdenyut sakit.
Dia tahu ada nama pria lain yang terukir di tempat paling penting sudut hati wanitanya itu. Tapi Bintang sama sekali tidak menyangka akan seperti ini. Dia pikir seiring berjalannya waktu, Sitha bisa melupakan segala kenangan tentang Azka. Nyatanya tidak. Yang ada kini nama itu sepertinya kian menancap kuat di hati Sitha. Dan itu sangat menyakitkan bagi Bintang.
Dalam rasa marah dan cemburu yang masih menguasai, Bintang berlalu ke kamar mandi. Dia mengguyur tubuh di bawah shower. Dinginnya air tak dirasakan sama sekali. Dadanya terasa mau pecah. Bintang telah melakukan segala cara agar Sitha menyadari keberadaannya. Mengikuti segala kemauan wanita itu. Tapi apa yang ia dapat?
"Ka ..., jangan ... pergi!"
Ucapan Sitha saat dia meninggalkan ranjang wanita itu tadi, kembali terngiang di telinganya. Andai saja ucapan itu untuknya.
Bintang memejamkan mata. Setitik bening membias di sudut mata itu. Dalam kemelut yang makin membuat sesak Bintang menengadahkan wajah, hingga cipratan air memenuhi wajah tampan itu.
Sebegitu tidak berartinyakah dia di mata Sitha?
***
Entah berapa lama Bintang berada di kamar mandi. Saat keluar dari sana tubuhnya menggigil. Mungkin karena suhu akibat pendingin ruangan atau bisa jadi karena hasratnya yang tidak sempat tersalurkan.
Setelah mengenakan pakaian tidur, ingatan Bintang kembali pada Sitha. Ia meninggalkan wanita itu tanpa tertutup pakaian. Apalagi selimut. Sementara wanita itu dalam keadaan mabuk berat karena ulahnya. Jika nanti tiba-tiba wanita itu jatuh sakit sudah pasti dia yang dipersalahkan.
Mengingat hal itu, Bintang kembali ke kamar Sitha. Benar saja, wanita itu tidur meringkuk seperti bayi baru lahir. Hanya pakaian dalam yang masih menutupi tubuh indah itu. Kali ini Sitha benar-benar telah pulas. Semoga saja besok pagi saat terbangun Sitha tidak mengingat apa pun kejadian malam ini. Ya, seperti itulah harapan Bintang.
Tanpa sadar dia mengutuk diri saat kembali merasakan reaksi di bagian penting tubuhnya.
"Diamlah, bukan kamu yang dia inginkan," ujarnya pahit. Lalu perlahan membalikkan tubuh Sitha. Mulai memakaikan baju tidur di tubuh istrinya itu.
Sebenarnya apa yang salah? Dia membatin. Dia mau ambil haknya sekarang juga tidak akan ada yang memperkarakan. Tapi yang jadi masalah, Sitha rela kah? Yang jelas saat itu Sitha menganggapnya sebagai orang lain. Adakah yang lebih menyakitkan dari itu?
Bintang menghela napas panjang dan menghembuskannya kasar seiring pekerjaannya memakaikan baju wanita itu selesai.
Sekali lagi ditatapnya tubuh yang kini telah mengenakan piyama merah muda itu. Lalu meraih selimut yang masih terlipat rapi di bibir ranjang.
Perlahan selimut itu dia tarik ke atas hingga menutupi hampir sebagian besar tubuh Sitha. Setelahnya Bintang mengatur suhu pada pendingin ruangan. Lalu dia kembali ke kamar.
***
Bintang merebahkan diri di ranjang. Dengan kedua telapak tangan dijadikan bantal pikiran laki-laki itu menerawang ke kejadian beberapa bulan lalu.
Saat itu dia baru saja pulang dari kantor. Sudah menjelang Maghrib waktu Singapura. Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dari pintu samping pria itu bergegas masuk ke dalam rumah. Tepatnya ruang tengah.
Bintang langsung menuju dapur karena dia merasa haus. Sudah menjadi kebiasaannya meneguk segelas air putih hangat setiap kali pulang berpergian.
Saat melewati meja kecil di depan televisi matanya tertuju pada sebuah undangan pernikahan. Di cover undangan tersebut terpampang foto calon pengantin.
Bintang yang telah terlanjur maju beberapa langkah, memilih mundur. Penasaran. Tanpa membuka di bagian cover itu juga tertera nama sang calon pengantin.
Arsitha Putri Ayunda & Azka Prawira Abimanyu.
Merasa tidak mengenal mereka, Bintang melanjutkan langkah menuju dapur. Setelah meneguk satu gelas air hangat, dia kembali ke kamar.
Baru saja selesai mandi, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Lalu sebelum dipersilahkan, pintu itu telah terkuak. Tanpa menoleh pun, Bintang sudah tahu siapa yang berada di depan pintu kamar tersebut. Siapa lagi kalau bukan mamanya. Hanya wanita itu yang berani masuk tanpa izin. Kalau papanya malah bisa dikatakan tidak pernah. Jika ada perlu pun paling mamanya yang dimintai tolong untuk memanggilnya. Zahira? Adik semata wayangnya itu malah jarang kelihatan. Gadis itu lebih senang menghabiskan waktu bersama teman-temannya ketimbang keluarga. Karena memang semuanya sibuk dengan urusan masing-masing.
"Bin, malam ini kamu nggak ada acara kan?"
Sesuai dugaan Bintang wajah sang bunda muncul di depan pintu kamar.
"Saat ini belum ada. Kenapa, Ma?"
"Oh kebenaran kalau gitu. Nanti makan malam di rumah ya? Papa mau minta tolong."
"Minta tolong? Tolong apa?"
Wanita itu mengangkat pundak.
Bintang mengiringi punggung mamanya yang kembali menghilang di balik pintu dengan berbagai pertanyaan di kepala.
Untuk sekedar makan malam saja di rumah mereka memang perlu diagendakan. Kalau tidak seminggu sekali pun mereka tidak bertemu di meja makan.
Lain hal nya dengan sarapan pagi. Setiap anggota keluarga diwajibkan sarapan bersama selama ada di rumah.
Momen itu biasanya dimanfaatkan untuk saling berbagi cerita dan diskusi antara keluarga.
***
Menjelang jam delapan malam aneka hidangan telah tersaji di meja makan. Saat Bintang datang mama dan adiknya telah menunggu di ruang tengah.
"Papa mana?" tanya Bintang sembari mengenyakkan pinggul di sebelah Zahira.
"Sedikit terlambat katanya. Tapi tadi Papa minta kita menunggu," sahut sang bunda.
Bintang mengangguk.
"Bagaimana sekolahmu?" tanyanya pada Zahira yang tengah asyik dengan ponselnya.
Gadis itu melirik sekilas, dahi mengerinyit.
"Sekolah? Libur kali, Bang," sahutnya.
Mama mereka terkekeh. "Mana ingat abangmu soal itu," ujarnya.
"Eh libur ya?" Bintang tertawa kecil.
"Au ah!" Zahira cemberut yang langsung mendapat dekapan hangat Bintang karena merasa bersalah.
'Abang kan bukan anak sekolah lagi. Makanya lupa." Dia membela diri.
Tak berapa lama, kepala keluarga yang mereka tunggu-tunggu pun menampakkan batang hidungnya.
"Maaf, Papa terlambat. Tadi ada urusan mendadak," ujar laki-laki itu, berjalan mendekat sambil melonggarkan dasinya.
"Gak mandi dulu, Pa?" tanya sang istri.
"Kalian masih sabar menunggu?" Pria paruh baya yang masih terlihat tampan itu mengedarkan pandangan.
"Kenapa nggak?" sahut Bintang.
"Ya sudah. Tunggu sebentar."
Sang ayah melanjutkan langkah ke kamar dengan diikuti istrinya. Di kantor wanita itu boleh saja punya ratusan bawahan yang tunduk di bawah perintahnya, namun di rumah dia tetap seorang istri. Segala keperluan papa Bintang dia sendiri yang mempersiapkan.
Mengingat hal itu kerinduan akan keluarga kecilnya itu bergolak seketika dalam d**a Bintang. Dia merindukan suasana rumah yang serba teratur.
Ya, keluarga mereka memang seperfeck itu. Saat makan malam bersama salah meletakkan sendok saja tidak boleh ada. Apalagi bunyi denting sendok garpu beradu dengan piring saat menyendok makanan. Saat mengunyah pun tidak boleh ada suara.
Di keluarga itu table manner amat diperhatikan walau dalam jamuan sekecil apa pun.
Sebaliknya selama di sini, tepatnya sejak tinggal berdua dengan Sitha, Bintang melupakan semua itu. Bahkan saat lapar pun dia terpaksa cari makan sendiri karena Sitha sama sekali tak peduli dengan perutnya. Apalagi perut orang lain.
Tanpa sadar Bintang tersenyum miris. Tapi itulah yang namanya jodoh.
"Jakarta, Pa?" tanya Bintang ketika papanya meminta untuk menghadiri undangan pernikahan anak sahabatnya, sesaat setelah mereka menyelesaikan makan malam.
"Iya," sahut sang ayah.
"Kenapa bukan Papa yang datang?"
"Kamu tahu kesibukan Papa akhir-akhir ini," sahut pria paruh baya itu.
"Lagipula pas hari H-nya itu Papa harus sudah ada di Taiwan," lanjut pria separuh abad itu lagi.
Undangan pernikahan? Hal yang sebenarnya paling nggak banget buat didatangi Bintang sejak dulu. Apalagi rata-rata undangan pernikahan itu menuntut sang tamu membawa pasangan. Hal yang belum pernah dia miliki. Tapi saat papanya langsung yang meminta, bagaimana dia bisa menolak?
"Kapan?" Akhirnya tercetus juga pertanyaan itu dari bibir Bintang setelah beberapa lama.
"Minggu depan."
"Lama nggak?"
"Ya terserah kamu. Kalau kamu mau sekalian liburan ya nggak papa. Pekerjaan kamu di sini biar Papa suruh orang lain yang tangani sementara waktu."
Nyatanya kini dia malah menetap. Lagi-lagi Bintang tersenyum. Takdir. Siapa yang menyangka kehadirannya yang tadinya hanya mewakili sang ayah, justru menjadikannya sebagai menantu karena sang calon pengantin pria tidak datang.
"Bintang, bisa tolong Om nggak?" Pagi itu Om Prasetyo masuk ke kamarnya dengan wajah tegang. Kamar yang memang disediakan keluarga Sitha untuk menyambut tamu yang mereka anggap istimewa. Orang tuanya. Yang otomatis menjadi kamar Bintang karena dia yang mewakili.
"Tolong apa, Om?" tanya Bintang yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dia baru saja sampai beberapa menit sebelumnya.
"Sepertinya calon pengantin pria tidak akan datang."
"Haah! Maksudnya?"
"Anak itu melarikan diri dari pernikahan ini."
"Bagaimana bisa?"
"Om pun tidak tahu pasti. Yang jelas sampai sekarang dia tidak bisa dihubungi."
Bintang terpana. Laki-laki itu tak habis pikir. Ingin bertanya apa sebenarnya yang terjadi, dia merasa sungkan dan itu sama sekali tidak pantas.
"Om mohon, Bintang. Kita sudah tidak punya waktu lagi. Pernikahan ini harus tetap dilaksanakan. Kalau nggak mau ditaruh di mana muka Om?" lanjut laki-laki itu panik.
"Tapi bagaimana dengan putri Om? Dia pasti tidak akan setuju."
"Itu urusan saya. Yang penting sekarang keputusan kamu."
Bintang termangu. Menikah? Dengan cara seperti ini? Bahkan hingga detik mereka bicara dia belum lihat seperti apa wanita yang bakal dia nikahi. Sampai saat tanpa sengaja matanya menatap foto usang yang menempel di dinding kamar.
"Saya bersedia," sahutnya tanpa pikir panjang lagi.
"Apa, Bin?"
"Demi kehormatan keluarga kan, Om."
Pria itu memeluknya erat. Untuk pertama kali Bintang melihat papa Sitha meneteskan air mata. Entah karena bahagia, entah karena haru.
"Om sudah tahu, dari dulu kamu memang selalu bisa diandalkan."
Om Prasetyo menepuk pundaknya pelan. Di bibirnya tersungging senyum sebagai tanda ucapan terima kasih.
Mungkin itu jugalah salah satu alasan kenapa pria itu tega bersikap tegas pada Sitha. Dia merasa bertanggung jawab atas kesialan yang Bintang alami sejak menikah dengan putrinya tersebut.
Lagi-lagi Bintang menarik napas panjang.
Entah berapa lama dia tenggelam dalam pikiran itu, hingga sayup dia mendengar suara azan berkumandang dari kejauhan.
Bintang melirik jam dinding. Sudah hampir jam lima pagi. Bersamaan dengan itu kantuk mulai menyerangnya.