Cerai?
Benarkah kata itu tadi yang didengar Bintang?
Sesaat laki-laki itu hanya termangu. Sama sekali tak menyangka jika Sitha akan semarah itu. Beberapa menit dia hanya terpana menatap punggung Sitha yang berlalu dengan langkah cepat.
Dia baru tersadar saat mobil itu meninggalkan garasi. Dengan setengah berlari Bintang mengejar. Sayang mobil Sitha telah meluncur cepat di jalan raya.
Shit...!
Bintang mengempaskan tinju kesal ke udara. Apa yang dilakukan Sitha di luar prediksinya. Dia segera berbalik ke dalam mengambil jaket kulit karena udara malam ini lumayan dingin.
"Sial."
Lagi-lagi pria itu mengumpat saat tidak menemukan jaketnya dimana-mana.
"Mungkin di lantai atas," gumamnya pada diri sendiri.
Dengan langkah panjang-panjang, melompati dua anak tangga sekaligus dia melesat ke kamar dan kembali turun dengan cepat setelah menemukan apa yang dia cari.
Perasaan Bintang gundah gulana. Dia memacu motor kencang menembus dinginnya udara malam. Menyesal telah bertindak terlalu keras pada Sitha. Bintang tahu dalam kemarahan wanita itu menangis.
"Maaf, Sayang. Aku hanya ingin kamu berubah," gumamnya.
***
Bintang kebingungan mau mencari Sitha ke mana. Ia tak mengenal satu pun teman dekat istrinya itu. Ke rumah sang mertua jelas tidak mungkin. Wanita itu justru terlihat sangat marah saat mengetahui papanya ikut andil dalam pemblokiran kartu kreditnya.
Jujur ide gila itu memang datang dari beliau saat tadi pagi mereka bertemu di kantor Bintang.
"Bagaimana dengan Sitha?" tanya sang Ayah mertua.
"Bagaimana apanya, Pa?" Bintang balik bertanya.
"Papa tau Sitha memaksa pindah bukan karena ingin mandiri seperti yang dia bilang. Tapi biar bisa berbuat semaunya. Benar, 'kan?" ujar papa Sitha tanpa tedeng aling-aling.
"Gak kok, Pa. Sitha istri yang baik," sahut Bintang membuang muka, tak mau kebohongannya terbaca. Dia terkejut dengan pernyataan ayah mertuanya itu. Dugaan laki-laki yang sebagian besar rambutnya telah memutih itu benar sekali.
Namun Bintang tentu tidak akan segamblang itu membeberkan semua. Walau bagaimanapun Sitha istrinya. Kewajibannya menutupi aib wanita itu, meskipun dari orang tuanya sekalipun.
"Sudahlah, Bin. Sitha itu putri Papa, dan Papa sangat mengenal wataknya. Ia tak ‘kan menyerah begitu saja." Laki-laki itu menghentikan ucapan sembari mengetuk-ngetukkan ujung jarinya di atas meja. Seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Sebaiknya kamu sedikit keras, jangan biarkan ia bertindak semaunya," ucapnya kemudian.
Bintang menelan ludah. Ternyata menyembunyikan sesuatu pada orang yang sangat mengenal itu lumayan sulit.
"Tapi, Pa ...."
Papa Sitha menatapnya lekat.
“Demi kebaikan kalian," potongnya.
Bintang terdiam. Dia bukan tak bisa bersikap keras pada Sitha. Hanya saja dia tidak tega. Lagi pula Sitha itu wataknya keras. Bagaimana kalau nanti justru memperburuk keadaan?
Selain itu Bintang mencintainya wanita itu apa adanya. Karena rasa itu jugalah yang membuat Bintang tetap bertahan dengan segala tingkah laku Sitha yang kadang memang kelewat batas.
"Biar dia belajar bagaimana seharusnya seorang istri itu bersikap," ucap laki-laki itu lagi, demi melihat keraguan di wajah menantunya itu.
Bintang bergeming.
"Atau jangan-jangan dia bahkan belum menunaikan kewajiban sebagai seorang istri?" Pria paruh baya itu mengangkat dua jari tangan kanannya membuat tanda kutip. Terlalu blak-blakan.
Wajah Bintang memerah. Dia benar-benar merasa ditelanjangi oleh mertuanya sendiri.
Laki-laki paruh baya itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Sepertinya dia tak perlu jawaban Bintang untuk bisa memahami bagaimana kondisi rumah tangga putrinya.
"Jadi laki-laki itu tak ada salahnya menjadi sedikit pemaksa," lanjutnya kemudian.
Bintang membuang tatap ke luar jendela. Wajahnya memerah. Malu juga risih.
"Kamu tak perlu malu sama saya, anggap saya teman kamu untuk saat ini, bukan mertua," tegas pria itu lagi.
Dia terus saja bicara sambil mengamati rona wajah Bintang yang berubah-ubah. Pria itu sengaja melakukan untuk memancing tindakan Bintang. Sitha putrinya. Bagaimanapun dia menginginkan yang terbaik bagi putrinya itu.
Dia sedikit menyesal kenapa selama ini selalu menuruti keinginan sang anak. Sekarang gadis kecilnya itu sudah jadi istri orang. Besar harapannya sang anak bisa bersikap layaknya seorang istri. Biar bagaimanapun Bintang adalah orang yang paling berhak atas Sitha.
"Apa yang harus saya lakukan, Pa?" Setelah beberapa lama, akhirnya Bintang angkat bicara.
Senyum tersungging di sudut bibirnya.
“Mulai dari kartu kredit," sahut pria 50 tahunan yang masih terlihat gagah itu tegas.
"Percuma, Pa. Ia akan memakai kartu kredit yang dari Papa," sahut Bintang.
"Sudah Papa blokir. Kamu tau, semenjak menikah ia tak pernah menggunakannya karena itulah Papa punya ide untuk ini."
Sesaat Bintang termangu.
"Apa gak kasihan, Pa?" ujarnya kemudian. Masih tidak tega.
Pria itu menepuk pundak sang menantu. "Dia cuma tidak kamu kasih kartu kredit, bukan berarti kamu lepas tanggung jawab, ‘kan?"
Bintang terdiam. Papa mertuanya benar. Dengan dicabutnya fasilitas itu otomatis Sitha akan bergantung padanya. Dengan demikian dia akan lebih sering menyapa. Biarpun sekedar minta uang, tak masalah. Setidaknya ada interaksi di antara mereka.
Akhirnya Bintang mengangguk. "Bisa dicoba."
"Harus!" tekan sang ayah mertua. "Biar anak itu bisa belajar."
Namun mereka berdua salah besar. Wanita itu telah terbiasa hidup sesuai dengan apa yang dia mau. Mengubahnya secara signifikan jelas sesuatu hal yang mustahil. Yang ada jiwa pembangkangnya akan terusik. Hingga dia meradang untuk itu. Seperti yang dikhawatirkan Bintang.
Pria itu memacu motor dengan kecepatan sedang. Melirik ke kiri dan ke kanan. Berharap setiap mobil merah yang terparkir di pinggir jalan adalah mobil Sitha. Namun sepertinya harapan itu jauh dari kata terwujud. Sitha benar-benar menghilang.
Tak mungkin Sitha keluar kota kan? Bintang membatin. Dia tidak akan berani karena tidak memiliki uang.
Jika semua itu tidak mungkin, lalu ke mana dia?
Namun begitu Bintang tetap berputar-putar mengelilingi tempat yang sekiranya akan dikunjungi Sitha. Mulai dari kafe, diskotek dan bar. Hasilnya nihil. Bintang mulai khawatir. Jarum jam di pergelangan tangannya hampir menunjuk ke angka 12.00 malam.
Dalam keputusasaan mata elang itu menangkap sebuah mobil yang parkir sembarangan di depan sebuah klub malam. Darah pria itu berdesir saat menyadari siapa pemiliknya. Dia segera menepikan motor dan mendekati mobil yang masih menyala mesinnya itu.
Bintang mengetuk pelan pintu di sisi kanan Sitha. Tak ada respon. Wanita itu terlihat menangkupkan kepala di setir. Untung tidak tepat pada klakson.
Bintang berdecak. Dia geleng-geleng kepala, bagaimana bisa wanita itu tertidur pulas dalam keadaan mesin mobil masih menyala?
Tak mendapatkan jawaban, Bintang menyalakan motor dan mengarahkan lampunya menyorot ke dalam mobil. Membunyikan klakson berkali-kali.
Perbuatan Bintang mengundang perhatian penjaga klub malam tersebut.
"Ada yang bisa dibantu, Mas?"
"Yang di dalam mobil itu istri saya. Sepertinya dia tertidur."
Mata pria itu menyipit.
"Mbak Sitha?" gumamnya.
"Anda mengenalnya?"
Bukannya menjawab, sang penjaga itu menatap Bintang dengan tatapan menyelidik. Selama ini yang pernah dia lihat Sitha selalu datang bersama Azka. Sahabat pemilik night club ini. Bagaimana bisa sekarang tiba-tiba ada yang mengaku sebagai suaminya?
Sedikit yang membuat dia heran, kenapa Sitha datang sendiri dan tidak masuk?
"Beneran Anda suaminya?" Akhirnya kata itu yang keluar dari bibir pria tersebut.
Rahang Bintang menajam. Pikiran buruk tentang bagaimana pergaulan Sitha selama ini memenuhi kepalanya.
Melihat dari cara penjaga itu menyebut nama Sitha, pasti tempat ini sudah tidak asing lagi bagi wanita itu. Hal yang membuat kecewa juga rasa sakit di ulu hati Bintang.
"Apa perlu saya menunjukkan surat nikah?" tanyanya tajam.
"Bukan begitu. Yang saya tahu ...."
Bersamaan dengan itu Sitha terbangun. Dia melihat percakapan kedua orang tersebut. Wajah Bintang terlihat mengeras, entah apa yang diperdebatkan mereka.
Sitha segera turun dari mobil dan serta-merta mendekati kedua pria yang sudah sama-sama dibakar emosi itu.
"Ngapain lo ke sini?!" ujarnya menatap Bintang sengit.
"Ngapain lo bilang?"
Bintang menatap tajam. Untuk kali pertamanya Sitha merasa takut akan pria itu. Penjaga itu pun mundur teratur, dia percaya sekarang kalau mereka berdua mungkin memang suami istri. Lalu bagaimana hubungan gadis itu dengan Azka?
"Ah, sudahlah. Bukan urusan gue." Pria itu menggumam lalu berlalu.
"Jadi begini kelakuanmu yang sebenarnya? Kalau ada masalah larinya ke klub malam. Atau memang sudah sangat terbiasa dengan tempat seperti ini? Sepertinya hal kedua yang paling tepat."
Bintang mendengkus.
"Kenapa tidak masuk?" ujar Bintang lagi tajam.
"Bukan urusan lo. Lagian ngapain juga lo nyari gue?" sahut Sitha kasar.
Bintang mencengkeram tangan wanita itu kuat. Tanpa mengatakan apa pun lagi dia melangkah cepat ke arah pintu klub.
Sitha yang tidak mengerti apa maksud Bintang, tertatih mengimbangi langkah panjang Bintang masuk ke ruangan yang hiruk-pikuk itu.
Sadar dengan kemarahan Bintang, Sitha meronta namun percuma. Pergelangan tangannya justru terasa nyeri karena cekalan pria itu lumayan kuat. Sitha menjerit. Namun jeritannya teredam oleh dentuman suara musik yang menggema keras.
Dengan sedikit dihentakkan Bintang melepas cekalan itu setelah mencapai meja bar. Tubuh Sitha terhuyung.
"Ini ‘kan yang kamu mau, bersenang-senang? Malam ini aku akan traktir kamu sepuasnya," ujar Bintang kasar.
Plak!
Sebuah tamparan singgah di pipi kiri pria itu. Sitha benar-benar tersinggung akan sikap Bintang. Serendah itukah Bintang menilainya? Biarpun terlihat bandel dan slengean dia steril dari hal semacam ini.
Kalau mau dia sudah masuk sedari tadi. Meski tak punya uang sepersen pun, Sitha yakin dia tidak akan mengalami kesulitan jika hanya untuk bersenang-senang.
"Kenapa? Mau sok suci?" Bintang tersenyum sinis.
"Lo keterlaluan. Gue benci ma lo," maki Sitha.
"Sebaik apa pun sikap aku, kamu tetap benci kan? Itu faktanya," desis Bintang.
Dia lalu memesan beberapa macam jenis minuman keras dan menyuguhkannya ke hadapan Sitha.
"Minum!" ujarnya sarkastis.
Dengan kekesalan dan sakit hati yang memuncak Sitha langsung menyambar gelas itu. Menuangkan salah satu isi botol yang telah tersaji. Satu loki berpindah ke perutnya dalam sekali teguk.
Wajah Sitha memerah, tenggorokan terasa panas dan ... di lidahnya?
Jangan tanya!
Sitha kembali menuangkan minuman itu. Kepalang tanggung batinnya. Bukankah itu yang diinginkan Bintang?
Minuman itu sangat pahit dan tidak ada enaknya sama sekali. Namun Sitha memaksa menelan. Isi perutnya mendadak seperti diaduk. Dan itu membuat dia mual. Sitha segera berlari keluar ruangan. Mual yang dia rasakan seolah ingin menguras semua isi perutnya. Tepat berada di halaman klub, Sitha muntah-muntah.
Bintang langsung menaruh beberapa lembar uang kertas ratusan ribu di meja bar dan berlari mengejar wanita itu.
Sekarang baru dia percaya bahwa Sitha tak tersentuh minuman beralkohol selama ini. Dia lega sekaligus menyesal akan apa yang telah dilakukannya.
Sitha berjalan sempoyongan. Sepertinya minuman itu mulai beraksi atas tubuhnya. Hampir saja dia terjerembap ke got kalau saja Bintang tidak segera datang dan menangkap tubuh itu.
Sitha mengibaskan tangan Bintang lemah saat laki-laki itu berusaha merangkulnya, "jangan sentuh gue," tolaknya dengan tatapan sayu.
"Sayang, ayo kita pulang!" Bintang berusaha memeluknya.
Sitha tersenyum sinis.
"Puas lo sekarang," sahutnya.
Setelah itu kesadarannya mulai menipis.
Tak peduli dengan penolakan wanita itu, Bintang merangkul tubuh Sitha erat. "Kita pulang!" bisiknya lagi.
"Pulang?" Wanita itu menatap bingung. Bintang mengangguk. Betapa hatinya tercabik-cabik ketika Sitha menggeleng lemah.
“Untuk apa?” Wanita itu tertawa. “Tak ada yang peduli ini.” Dia mulai meracau.
Bintang kian mempererat pelukan. Minta maaf pun sudah tidak akan ada gunanya. Toh, wanita itu tengah mabuk berat.
'Ya Tuhan, apa yang telah aku lakukan? Bintang merutuk dalam hati.
Melihat wanita yang dia cintai berada di depan sebuah klub malam darahnya mendidih. Emosinya kian terpancing mendengar tutur sang penjaga tadi. Antara khawatir dan sakit hati dengan sikap Sitha, Bintang jadi lepas kendali.
"Aku gak mau pu lang. Ka li an se mu a ja hat." Sitha terus meronta.
"Sayang, maaf." Akhirnya kata itu keluar juga dari bibir Bintang, meski dia sadar ucapan itu hanya akan sia-sia.
Dengan kekuatan penuh dia memapah tubuh Sitha masuk ke dalam mobil. Wajah Bintang kembali mengeras saat tatapannya bertemu sang penjaga tadi.
Setelah mendudukkan Sitha di jok penumpang dan memasangkan sabuk pengaman. Setelah itu Bintang memindahkan motor ke tempat parkir resmi. Sementara waktu dia akan meninggalkan kendaraan itu di sana.
Tak berapa lama dia telah berada di belakang kemudi.
"Az ka, akhirnya lo datang, Sayang. Gue kangen," sambut Sitha sambil menatap Bintang. Laki-laki itu tak menggubris.
Dalam satu tarikan napas, mobil itu melesat meninggalkan parkir.
Sepanjang perjalanan Sitha makin mengawur tak jelas. Namun ada satu kata yang senantiasa diulang-ulang Sitha yang membuat pria itu kian nelangsa.
Azka.
Di alam bawah sadar pun hanya nama Azka yang dia sebut. Rahang Bintang mengeras. Dia menggenggam setir kemudi kuat. Hatinya seperti diremas.
Sakit!
Benarkah tak ada sedikit pun namanya tertoreh di hati wanita itu?
***
Hampir jam satu dini hari, mobil yang dikendarai Bintang memasuki halaman rumah bergaya minimalis itu. Setelah mengunci pintu pagar dan memarkirkan mobil di garasi, dia memapah wanitanya itu keluar dari mobil.
Seperti tengah menyadari berada di mana, Sitha kembali meronta. Dia menatap lekat wajah Bintang dengan tatapannya yang sayu.
"Lo Bintang ya?" ujarnya lalu mulai tertawa.
Pria itu tak menggubris.
"Kok lo mau sih ma gue?" Dia kembali meracau.