"Kita cerai!"
Setelah mengucapkan kata itu, Sitha melangkah cepat menuju garasi. Tak berapa lama mobilnya telah meluncur meninggalkan rumah. Sitha berkali-kali mengusap air mata yang mengaburkan pandangan. Seolah di pelupuk mata itu ada sumber mata air yang tak ada habisnya. Semakin dia usap semakin deras bening tersebut mengalir.
Wanita itu menambah kecepatan. Jalanan ibukota lebih lancar karena sudah melewati jam macet. Mobil Sitha melaju membelah hiruk-pikuknya kota tanpa tujuan yang jelas.
Kembali terbayang di pelupuk matanya bagaimana cara Bintang tadi bersikap. Bintang keterlaluan, tapi jika dipikir-pikir papanya jauh lebih keterlaluan. Tega-teganya ia bersekongkol mengerjai anak sendiri.
Sementara mamanya? Sitha tak yakin perempuan itu akan ada di pihaknya. Menurut Sitha sang mama terlalu memuja Bintang. Seolah laki-laki itu makhluk paling sempurna yang dia kenal.
Hal yang tak pernah mamanya berikan pada teman pria Sitha yang mana pun. Termasuk Azka. Meskipun sikap mamanya tak terlalu buruk pada kekasihnya itu tapi juga tidak menunjukkan simpati apa pun. Sangat datar.
Ingat Azka berbagai perasaan kini berbaur jadi satu. Di saat seperti ini dia sangat merindukan pemuda itu, tapi juga sebal ketika mengingat betapa teganya Azka lari dari momen paling berharga dalam hidupnya. Apa laki-laki yang mengaku sangat mencintai itu tak memikirkan perasaannya?
Kini dia justru yang terjebak dalam situasi ini. Salah Bintang kah atau memang salah dia sendiri yang tidak bisa bersikap tegas? Harusnya saat itu dia menolak keras saran papa mamanya. Untuk apa memikirkan perasaan mereka sementara mereka sendiri tak peduli akan perasaannya?
Berbagai pertanyaan memenuhi kepala gadis itu. Pertanyaan yang tak bisa dia jawab.
Sitha tertegun saat menyadari mobil yang dia kendarai melewati tempat tinggal Azka. Alam bawah sadarnya yang menggiring wanita itu ke sana. Kepalang tanggung akhirnya wanita itu membelokkan setir ke arah gerbang.
Namun sesaat keraguan menghampiri demi melihat jam di pergelangan tangannya telah menunjukkan waktu pukul delapan malam. Selain itu dia tidak punya tujuan apa pun ke tempat ini.
Akhirnya wanita itu kembali memundurkan mobilnya. Saat yang sama pintu gerbang terbuka. Seorang wanita paruh baya muncul di depan pagar.
"Si Mbok liat mobil Mbak Sitha dari CCTV?" ujarnya menjelaskan tanpa diminta.
Kontrakan Azka merupakan paviliun sebuah rumah mewah di bilangan Jakarta Selatan. Dulu paviliun itu ditempati oleh putra si pemilik rumah yang kabarnya sekarang lagi kuliah di luar negeri.
Entah apa alasan Azka memilih mengontrak padahal orang tuanya ternyata juga ada di Jakarta. Itu yang dikatakan Aima tadi siang.
Keterangan Aima itu menghadirkan berbagai spekulasi di benak Sitha. Mungkinkah restu yang kata Azka telah didapatkan itu suatu kebohongan? Kenyataannya laki-laki itu memang tidak datang di hari pernikahan mereka.
"Mas Azka sudah tidak tinggal di sini lagi, Mbak. Sudah lama," lanjut wanita paruh baya yang tak lain kepala asisten di rumah besar itu.
"Saya tau, Mbok. Saya kebetulan lewat, tadinya niat sekalian mampir. Tapi jadi ragu mengingat sudah kelewat malam," sahut Sitha.
"Apa kabar, Mbok?" lanjutnya.
"Baik, baik, si Mbok sehat. Alhamdulillah. Mari silakan." Mbok Rahmi memerintahkan penjaga membuka pintu gerbang, lalu kemudian menggiring Sitha ke teras rumah besar itu setelah mobil Sitha terparkir aman di halaman.
Wanita itu memang sudah cukup dekat dengan Sitha. Mbok Rahmi juga sudah seperti ibu bagi Azka. Selama mengontrak di sini, wanita itu yang banyak membantunya. Bahkan saat Azka sakit, Mbok Rahmi merawat Azka seperti anak sendiri. Mungkin karena kangen dengan tuan mudanya yang di luar negeri. Entahlah. Hal itu juga yang akhirnya membuat Sitha dekat dengan beliau.
"Mbok turut prihatin ya?" ujarnya lagi pada Sitha dengan tatapan iba.
Ditatap seperti itu membuat hati Sitha mencelus.
"Sebenarnya apa yang terjadi dengan Azka, Mbok?"
Wanita itu menggeleng.
"Dia tidak bilang apa pun. Yang si Mbok liat, sebelum pergi dari sini Mas Azka membakar undangan pernikahan kalian beberapa hari sebelum hari H."
Sitha tersenyum tipis menutupi hatinya yang kian retak. Kenapa? Pertanyaan itu memenuhi kepalanya. Keyakinan bahwa kekasihnya itu menyembunyikan sesuatu kian menguat. Tapi apa?
"Untuk pertama kali si Mbok liat Mas Azka sesedih itu," lanjut Mbok Rahmi lagi.
Perasaan Sitha kian campur aduk. Selama ini dia meyakini Azka pasti akan kembali suatu saat nanti. Itulah alasan kenapa dia menyalahkan Bintang yang mau begitu saja menerima tawaran gila kedua orang tuanya.
Tapi sekarang mendengar penjelasan Mbok Rahmi dia mulai pesimis. Masalah Azka sepertinya lebih berat dari yang dia bayangkan.
Sedikit yang disesalkan Sitha kini, kalau memang keputusan tersebut di luar kendalinya, harusnya saat itu dia datang. Setidaknya berbagi masalah agar mereka bisa sama-sama mencari jalan keluar. Bukan justru menghilang. Bias di mata Sitha luruh satu persatu. Namun dengan cepat dia berpaling agar wanita paruh baya di depannya tidak menyadari.
"Sekarang Azka ada di mana, Mbok?"
Wanita paruh baya itu lagi-lagi menggeleng.
"Si Mbok nggak tau persisnya ada di mana. Saat meninggalkan rumah ini katanya mau pulang ke Makassar."
Sitha tersenyum miris seiring hatinya yang kian terkoyak. Ternyata kata cinta yang selama beberapa tahun mereka agungkan tak mampu mengikat pemuda itu untuknya.
Apa pun alasan Azka saat itu, meninggalkan calon pengantinnya tanpa kata jelas suatu hal yang tidak akan bisa diterima wanita manapun. Sayangnya rasa yang dia miliki untuk Azka kelewat besar. Terbukti di saat seperti ini tanpa sadar dia malah memungut segala kenangan tentang pemuda itu.
"Pasti sangat memalukan bagi keluarga Mbak Sitha karena terpaksa membatalkan acara pernikahan kalian," ujar Mbok Rahmi lagi.
Sitha menatap wanita itu sesaat. Kemudian ....
"Pernikahan itu tetap berlangsung, Mbok."
"Haaah! Jadi Azka tetap datang?" Ada keterkejutan di wajah itu.
Sirah menggeleng.
"Bukan Azka tapi orang lain."
"Maksud Mbak Sitha?"
Sitha hanya tersenyum sembari kembali bangkit dari duduknya. Sesungguhnya dia terlalu enggan untuk menyebut nama Bintang.
"Sudah malam, Mbok. Saya gak mau mengganggu waktu istirahat Mbok Rahmi."
Setelah mengatakan itu Sitha mengayunkan langkah menuju mobilnya yang terparkir di halaman.
"Misi, Mbok. Makasih untuk waktunya."
"Iya, Mbak."
Wanita paruh baya itu sesaat hanya terpana menyaksikan bemper belakang mobil Sitha yang bergerak kian menjauh.
"Jadi Sitha telah menikah?" Ia bergumam.
Namun kenapa sepertinya wanita cantik itu tidak sedang baik-baik saja? Sebenarnya apa yang terjadi? Mungkinkah masih tentang Azka atau masalah dengan suaminya? Dia membatin.
Ingatan Mbok Rahmi kembali ke saat pertama kali gadis itu diajak Azka ke rumah ini.
"Mbak Sitha itu cantik ya?" ujarnya setelah Azka kembali dari mengantarkan kekasihnya itu pulang.
Azka terkekeh.
"Cantik lah, Mbok. Kalau gak mana mungkin saya pacari," sahutnya.
"Teman kuliah Mas Azka?"
"Iya."
Namun senyum Azka menghilang perlahan berganti dengan resah dalam tatapan itu.
"Kenapa, Mas?"
"Sayangnya Mama belum merestui, Mbok."
"Jadi itu alasan Mas Azka tidak mau memperkenalkan mereka?"
Anak asuhnya itu mengangguk.
"Alasannya Mama, takut mengganggu kuliah."
"Ya Mas tinggal buktiin ke mereka kalau hal itu nggak bener."
"Masalahnya Mama sudah terlanjur ilfil."
"Bahkan sebelum mengenal siapa kekasih Mas Azka?"
"Ya begitulah Mama."
Wanita itu menepuk pelan pundak Azka. "Serahkan pada Yang Kuasa. Kalau memang jodoh pasti dibukakan jalan."
Hanya kata-kata tersebut yang bisa dia ucapkan untuk menenangkan hati pemuda itu.
"Gitu ya, Mbok?"
"Iya." Wanita itu mengangguk sambil tersenyum lembut.
Nyatanya sekarang mereka memang tidak berjodoh. Sebagai orang luar dia tidak bisa melakukan apa pun selain mendoakan agar mereka berdua bisa menerima keadaan itu sebagai takdir yang telah digariskan.
Mungkin inilah salah satu alasan kenapa dalam agama pacaran itu dilarang. Buat membentengi diri sendiri dari patah hati. Batin wanita itu.
***
Meninggalkan bekas kontrakan Azka, Sitha kembali kebingungan. Untuk pertama kali dalam hidupnya wanita itu merasa sendirian.
Lelah mengelilingi kota tanpa tujuan, akhirnya mobil merah itu menepi di sebuah taman kota. Dia mengedarkan pandangan. Meski sudah hampir jam sepuluh malam suasana taman masih ramai dikunjungi.
"Syukurlah." Dia membatin.
Wanita itu membenci kesunyian.
Gegas dia turun dari mobil, dan mengempaskan b****g di salah satu kursi di tengah taman tersebut. Jakarta memang tak ada matinya, meski sudah lewat jam 10 malam masih banyak saja orang yang berlalu lalang. Taman itu malah makin ramai dikunjungi. Terutama bagi pasangan yang tengah kasmaran. Hampir setiap bangku dihuni pasangan kekasih. Hanya Sitha yang sendiri.
Ya, sendiri.
Semua ini gara-gara Bintang. Kalau saja pria itu tidak hadir dalam kehidupannya. Kalau saja ia tidak menerima perjodohan ini. Kalau saja papanya tidak ikut campur dalam masalah rumah tangganya. Dan kalau saja ... kalau saja lainnya, yang menyalahkan keadaan memenuhi kepala wanita itu. Namun satu hal yang paling tidak dia mengerti, bagaimana bisa mereka lebih menyayangi Bintang daripada anak sendiri?
Bintang begitu gampang mengambil hati keduanya, sehingga ia sebagai anak kandung malah tersisihkan dan sekarang ...?
Tangis wanita itu kembali pecah.
Sitha benar-benar merasa kecewa. Papa yang biasa ia andalkan malah berbalik menentang. Kebenciannya pada Bintang makin membludak. Lelaki itu telah merampas segalanya. Kebebasan, fasilitas, mama dan sekarang papanya.
"Gue benci banget samo lo, Bintang!" pekiknya tertahan.
Matanya memerah.
"Tante? Tante kenapa nangis?" Sebuah suara kecil mengagetkannya.
Cepat Sitha menyapu air mata dengan punggung tangannya.
"Enggak. Tante nggak nangis," sahutnya sembari menatap paras gadis kecil dengan pakaian lusuh di depannya.
Dahinya mengernyit.
"Sudah malam, kenapa anak sekecil kamu masih keluyuran?" tanyanya sembari melirik pergelangan tangan. Hampir jam sebelas malam.
Dingin udara mulai menusuk-nusuk hingga ke tulang sumsum. Terlebih Sitha hanya mengenakan t'sirt lengan pendek. Ia mendekap kedua tangan ke d**a.
"Aku udah biasa, Tante."
Sitha menghela napas panjang. Ini kan Jakarta, apa yang aneh, Sitha? Dia membatin.
Akhirnya Sitha hanya bisa tersenyum tipis pada gadis kecil itu. "Kalau nggak keberatan mau nggak temani Tante di sini, sebentar saja," ujarnya sembari menepuk bangku di sisinya.
Senyum gadis kecil itu melebar. Dia lalu mengangguk dengan tatapan berbinar.
"Apa ibumu nggak nyariin?" tanya Sitha lagi.
Siapa pun orang tua gadis kecil itu, tak seharusnya anak seumuran ini masih dibiarkan keluyuran, batin Sitha.
Gadis kecil itu menggeleng.
"Aku dah nggak punya ibu."
Senyum di wajah Sitha raib seketika. Berganti dengan tatapan iba.
"Jadi kamu tinggal dengan siapa?"
"Nenek."
"Nenek nggak nyariin?"
Lagi-lagi gadis kecil itu menggeleng.
Sitha menatap lekat wajah bocah itu.
Lumayan manis, batinnya.
Dengan diurus sedikit saja pasti dia menjelma jadi gadis yang cantik. Sudah meningkat remaja juga. Tiba-tiba Sitha bergidik membayangkan bagaimana kalau ada orang jahat yang memanfaatkan keadaan anak itu?
"Berapa umurmu?" tanya Sitha lagi.
"Sembilan tahun."
"Tante lagi berantem ya?" ujar anak itu balik bertanya.
"Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?"
Anak itu menarik napas panjang berkali-kali. Wajahnya mendadak murung.
"Dulu saat Ibu masih ada, setiap kali dimarahi Bapak dia akan datang ke sini sendirian. Setelah itu dia pulang dan bilang ke aku kalau dia baik-baik saja. Padahal aku tahu dia menangis karena aku mengikutinya diam-diam. Setelah itu lama kelamaan Ibu jatuh sakit, lalu meninggal. Kata nenek karena Ibu terlalu banyak bersedih." Gadis itu memulai cerita dengan mata berkaca-kaca.
"Makanya Tante jangan sedih ya? Nanti Tante mati."
Hati Sitha mencelus.
Dia merasa malu pada diri sendiri. Hanya karena ATM dan kartu kreditnya yang diblokir, dia merasa jadi wanita paling malang di dunia. Lalu bagaimana dengan anak ini? Di usia yang belum genap sepuluh tahun, dia bahkan telah kehilangan kasih sayang orang tua.
Ini jelas dua hal yang berbeda, Sitha. Egonya kembali mengompori. Apa pun alasannya Bintang tetap salah, juga papanya.
Sitha kembali melirik pergelangan tangan. Jam sebelas lewat.
"Kamu pulang ya. Jangan ke mana-mana lagi," ujarnya sembari menyelipkan uang kertas 20 ribuan ke kantong anak itu. Hanya itu satu-satunya yang dia punya. Betapa dia menyesali selama ini tidak suka menyimpan uang cash di dompet.
Akhirnya dia merasakan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Sekaligus menjadi orang paling kere karena tak sepersen uang mengisi koceknya saat ini.
Sitha tersenyum miris.
Namun hatinya membesar saat melihat binar di wajah gadis kecil itu.
Seseorang baru bisa disebut kaya jika dia bisa berbagi dengan orang lain. Hal itu yang tengah dirasakan Sitha. Dadanya terasa plong.
Setelah gadis itu pergi, Sitha kembali merasa lelah dan juga mengantuk. Tapi untuk pergi ke rumah orang tuanya, dia enggan. Kembali ke rumah Bintang? Tidak akan. Harga dirinya tidak akan ditukar demi sebuah kenyamanan.
Perlahan wanita itu bangkit, kembali ke mobil. Mulai menyetir tanpa arah yang jelas. Untung tadi siang, tangki mobilnya terisi full.
Mau ke rumah Rena atau Meisya, jelas nggak mungkin. Dua sahabatnya itu susah sekali untuk dihubungi. Mungkin mereka tengah indehoi dengan pacarnya masing-masing, secara ini ‘kan malam minggu.
"b******k! Kalian semua b******k," Sitha menggerutu.
Tangannya mencengkeram kuat setir mobil. Perlahan air mata Sitha kembali menetes. Namun dengan cepat ia sapu dengan tisu.
"Jangan cengeng, Sitha. Lo akan baik-baik saja tanpa mereka." Dia menyemangati diri sendiri.
"Baik sih baik. Tapi gue mau tidur di mana malam ini? Lain kalau gue punya uang." Dia mendebat sendiri.
"Sialan kalian semua." Wanita itu tak henti-hentinya menggerutu.
Tanpa disadari dia terus memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Hingga akhirnya berhenti di depan sebuah diskotek. Dia sangat kenal dengan pemilik tempat ini.
"Mungkin dia bisa bantu gue." Sitha menggumam.
Tapi bagaimana kalau ternyata nanti dia malah dimanfaatkan? Bukankah laki-laki itu menaruh hati padanya? Hal yang dulu pernah secara terang-terangan diungkapkan pria itu pada Azka. Meskipun disampaikan dengan bercanda tapi Sitha yakin orang itu serius dengan ucapannya.
Sesaat Sitha tertegun, termenung di belakang setir.