“Sial!"
Wanita itu mengomel sendiri. Niatnya untuk membuat perhitungan dengan Bintang malah berakhir memalukan. Ia sempat melihat senyum miring Bintang. Laki-laki itu terlihat begitu puas mempermalukannya.
Yang lebih menyebalkan, kenapa justru ia berdebar saat Bintang menciumnya? Bahkan debar itu masih ia rasakan sampai saat ini. Mata elang itu menatapnya berkabut, memacu jantung Sitha bekerja lebih keras. Darah di tubuhnya terasa bergejolak, memanas.
Sitha menggelengkan kepala. Mengusir bayangan Bintang agar menghilang dari benaknya. Kenapa susah sekali? batinnya. Wanita itu mulai putus asa.
Ia menekan pedal gas menambah kecepatan. Mobil merah metalik itu melesat meninggalkan area perkantoran tempat Bintang mencari nafkah, diiringi dumelan wanita berambut panjang itu.
“Aarrgh!”
Ia menggeram marah saat seseorang tiba-tiba menyeberang jalan seenaknya. Hampir saja bumper mobilnya menyeruduk b****g seorang wanita yang bodinya segede babon.
Ciiiit ...!
Bunyi suara ban dan aspal beradu karena Sitha menginjak rem secara mendadak. Mobil berhenti sekitar tiga puluh sentimeter dari wanita bohai itu. Sitha menghempaskan tubuh ke sandaran jok sembari menarik napas dan menghembuskannya lega. Dadanya masih turun naik karena degup jantung yang berdetak di luar batas normal.
"Hei ..., orang kaya! Emang ini jalanan milik nenek moyang lo. Nyetir kok seenak udel," wanita yang nyaris tertabrak tadi berbalik. Ia mendelik sambil menendang ban mobil Sitha.
Dahi wanita yang masih menenangkan diri di dalam mobil itu mengernyit. Kenapa seolah aku yang salah? Dia membatin.
Sitha dengan emosi yang masih tersisa akibat ulah Bintang tadi, terpancing oleh sikap songong gadis yang lebih pantas dia sebut kuda Nil itu. Wanita itu langsung turun sambil berkacak pinggang.
"Pe a, lo yang nyebrang sembarangan malah nyalahin orang?" semprot Sitha gusar.
Ingin ia lempar tubuh gadis itu ke arena gulat. Karena di sanalah tempat yang paling pas untuknya.
"Apa lo bilang? Pe a? Keterlaluan ya lo?" Ucap si gendut tak kalah galak. Matanya melotot tajam. Namun ekspresi itu berubah saat Sitha membuka kaca mata hitam yang ia pakai.
"Sitha," jerit gadis yang lebih mirip bayi gorila itu sambil jingkrak-jingkrak. Matanya menatap Sitha berbinar. Lupa kalau tingkahnya bisa membuat ibukota dilanda gempa bumi.
Setidaknya tubuh Sitha terhuyung ketika tubuh wanita itu menabraknya dengan tiba-tiba.
"Ish ... apaan sih?"
Sitha menepis pelukan itu.
"Siapa lo, jan sok kenal deh," lanjut Sitha galak.
Biarpun ia gila popularitas, padahal bukan siapa-siapa tetap saja punya penggemar seperti makhluk satu ini ia tak ‘kan rela. Mending punya seribu haters.
Pelukan gadis tak dikenal itu mengendor.
“Ternyata lo masih songong aja, Miss Narsis!” ujar gadis itu lagi cemberut. Dia kesal karena pelukannya ditepis begitu saja. Padahal dia sangat merindukan sahabatnya itu.
Apa segitu jeleknya dia sekarang hingga Sitha tak lagi mengenalinya? Atau sesungguhnya Sitha yang telah berubah karena rasa kecewa pada Azka pun berimbas padanya.
Sitha menoleh kaget, menatap wajah wanita itu dengan dahi berkerut. Miss Narsis? Itu adalah julukan yang ia dapat saat baru menjadi mahasiswi. Berawal dari hobi selfie-nya setiap kali menemukan momen baru. Tak peduli dalam situasi apa. Bahkan saat dihukum sekali pun.
Dan yang paling membuat gadis itu kaget, hanya orang-orang tertentu yang memanggilnya dengan nama itu.
Sitha mencoba mencocokkan bayangan seseorang dengan wajah gadis di depannya. Sepertinya memang ....
Tin tin ...!
Sitha buru-buru masuk ke dalam mobil sebelum para pengguna jalan berubah jadi zombi yang siap memangsa kepalanya. Panas udara ibukota membuat rata-rata pemakai jalan gampang terpancing emosi.
"Masuk!" perintahnya pada gadis babon itu sambil membukakan pintu mobil sebelah kiri.
"Gue ...?"
"Gak, kuntilanak," sahut Sitha seenaknya.
Gadis itu mendelik.
"Buruaaaan!"
Kaget, tanpa basa-basi lagi gadis itu langsung berlari ke jok penumpang di samping Sitha. Napasnya tersengal padahal cuma berlari beberapa langkah.
"Dasar kuda Nil," Sitha menggumam sembari kembali menekan pedal gas.
Wanita itu hanya tersenyum mesem saat beberapa pengendara yang melewati mobilnya menatap galak.
"Gara-gara lo," ujarnya, mendelik pada gadis yang masih ngos-ngosan duduk di sampingnya.
"Kok gue? Lo yang nyetir seenaknya." Gadis itu tak mau kalah.
Sitha melirik, sepertinya memang gadis ini orang yang dia kenal. Kalau tidak ingat sedang menyetir dia pasti sudah memeluk gadis itu.
"Baiklah, yang waras ngalah." Sikap Sitha kini lebih mencair.
"Lo!" Bibir gadis yang berwajah lumayan manis itu cemberut.
Dia menatap lekat pada Sitha. Selain penampilannya yang semakin kece, tak ada yang berubah dari diri mantan pacar sepupunya itu. Tiba-tiba dia merasa iri dengan sahabatnya tersebut.
“Sekarang ceritain bagaimana lo bisa kenal gue?" ujar Sitha lagi dengan tanpa melepas tatapan dari jalan raya.
"Gue sadar sih orang kayak gue emang punya fans dimana-mana," lanjutnya memancing reaksi gadis itu. Efektif. Satu sudut bibir gadis itu terangkat. Dia mendelik.
"Fans? Emang siapa lo, berkali-kali ikut casting gak sekali pun diterima. Yang ada lo malah diminta jadi pacar gelap sang sutradara."
Sitha membanting setir ke kiri dan menekan rem mendadak hingga gadis tak dikenal itu tersungkur dengan kepala nyaris membentur dasboard. Untung saja ia tak terlempar ke bawah jok. Yang pasti tak akan muat.
“Kamvret, lo mau bunuh gue." Biji mata gadis itu nyaris mencelat keluar.
Sitha tak memedulikan makian itu. Kini ia yakin siapa gadis babon yang telah membuatnya nyaris jadi bulan-bulanan massa jika tadi sempat menabrak tubuh tambun itu. Ia langsung memeluk tubuh yang empuknya melebihi sekarung kapuk.
"Aimaaaa ...! Kenapa lo bisa segede gajah gini, kan gue jadi lupa sama lo," teriaknya gemes.
Pletak!
Sebuah jitakan mendarat di jidat Sitha.
"Sakit, dodol!" Ia memaki.
"Lo bisa kan gak menghina badan gue? Gadis itu mendelik. Namun balas memeluk erat Sitha.
Wanita itu terkekeh, wajahnya berbinar. Ia mencubit pipi bakpao si cewek yang dipanggilnya 'Aima' itu. Dia senang sekali bertemu sahabat baik yang tak lain dan tak bukan sepupu Azka..
Azka. Ingat sang kekasih, mendung seketika menggelayut di wajah cantik Sitha. Bagi wanita itu, melihat Aima sama saja dengan melihat Azka. Gadis itu sosok yang tak bisa dipisahkan dari laki-laki yang sekarang entah di mana keberadaannya.
Berkat usaha Aima jugalah dulu ia memutuskan untuk memacari Azka. Namun persahabatan keduanya tak berlangsung lama karena Aima harus pindah ke Makassar, orang tuanya pindah tugas ke sana.
"Kangen banget gue."
Mata Sitha berkaca-kaca.
"Apa lagi gue. Makin cetar aja lo sekarang," sahut gadis itu dengan kelopak mata yang juga mulai berembun. Sesaat suasana mengharu biru ketika mereka kembali saling memeluk.
“Gue turut menyesal atas gagalnya pernikahan lo dan Azka," ujar gadis itu sungguh-sungguh. Tak lama setelah mereka kembali pada posisi masing-masing.
Wajah Sitha yang masih menyimpan haru itu seketika berubah sendu. Kenangan demi kenangan kembali hadir di pelupuk matanya. Rindu dan luka kini bercampur jadi satu.
Sitha menatap Aima dengan pandangan menyelidik. Setahunya sejak pindah ke Makassar Azka pun jarang sekali komunikasi dengan Aima. Jadi jika gadis itu tahu bahwa mereka nyaris menikah artinya Azka memang tidak main-main dengan cintanya. Berarti memang ada hal besar yang terjadi jika pada akhirnya sang kekasih tidak datang.
“Gue baru tiga hari kembali ke Jakarta. Lo tau ‘kan? Satu-satunya keluarga yang gue miliki di sini adalah keluarga Azka. Makanya gue tau," ujarnya seolah menjawab kebingungan dan sekaligus mematahkan argumen yang sempat tertata di batin Sitha.
Jawaban yang akhirnya membuat dia kecewa.
"Apa? Tunggu, maksud lo mereka masih ada di sini?" ulang Sitha. Seolah tak percaya dengan pendengaran sendiri.
Kali ini Aima yang menatapnya heran, "Emang mereka ke mana?"
"Akh... gak, siapa tau aja setelah putus dari gue dia melarikan diri," sahut Sitha acuh tak acuh.
Walau seribu tanya memenuhi kepalanya. Namun ia tak akan mengatakan apa pun lagi pada Aima. Apa yang ia dengar cukup menjadi petunjuk untuk menyelidiki apa yang terjadi sesungguhnya pada Azka. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan kekasihnya itu.
"Yang gue tahu dia masih sangat sayang ama lo,' ujar wanita itu lagi.
Sitha mendengkus.
"Sayang seperti apa yang lo maksud? Dia tega meninggalkan gue di hari pernikahan?" sahut Sitha sinis.
Aima terdiam.
"Lo nggak bisa jawab kan?" lanjutnya ketika pertanyaannya tak kunjung mendapat jawaban. Aima membuang muka dengan gugup.
"Ya udahlah, bukan kewajiban lo juga buat ngejelasin," lanjutnya lagi. Kecewa.
"Btw, lo tadi mau ke mana emang? Gue antar."
***
Menjelang waktu maghrib, mobil Sitha memasuki garasi mobilnya. Sitha melemparkan tas tangan yang dia bawa ke sembarang arah lalu mengempaskan tubuh di sofa. Menatap langit-langit dengan pikiran menerawang. Hari ini sangat melelahkan baginya. Mulai dia dipermalukan di butik, Bintang yang tiba-tiba menciumnya dan berita tentang Azka.
Kenapa di saat hatinya mulai tersentuh Bintang, nama Azka kembali muncul? Apakah itu suatu pertanda bahwa ia tak boleh melupakan Azka?
Tunggu! Tersentuh Bintang? Benarkah? Sitha memejamkan mata. Dadanya berdebar aneh mengingat saat mereka berciuman. Ya, mereka berciuman, meski awalnya Bintang yang memaksa toh pada akhirnya ia menikmati dan bahkan membalasnya.
"Memalukan! Kau seperti j****y, Sitha," makinya pada diri sendiri.
"Syukurlah, akhirnya kamu sadar."
Sitha melompat bangun, matanya membulat sempurna. Seperti hantu, tiba-tiba makhluk yang tengah ia pikirkan itu menampakkan wujud, entah dari mana datangnya. Wajah wanita itu kini sudah seperti udang rebus.
“Lo ..., sejak kapan berada di sana?"
Ia menunjuk wajah Bintang panik. Tak menyangka ternyata pria itu juga telah berada di rumah. Dia tak mendengar suara mobil Bintang sama sekali. Atau jangan-jangan Bintang juga melihat ia senyum-senyum sendiri membayangkan bagaimana mereka, ah ... memalukan! Wajah wanita itu kian memerah memikirkan hal itu.
Bintang melirik sekilas, kemudian menjatuhkan bokongnya di salah satu sofa, acuh tak acuh. Dengan santainya pria itu menyalakan televisi dan mulai menyeruput kopi instan yang dia bawa perlahan, lalu meletakkannya di meja.
Merasa diacuhkan dengan gondok setengah mati, Sitha meninggalkan tempat itu dengan kaki yang dientakkan ke lantai.
“Mau ke mana?" tanya Bintang.
Sitha melirik sekilas lalu melengos pergi. Ia makin muak saja menatap wajah datar itu.
"Tunggu!"
Langkah wanita itu kembali terhenti dan berbalik. Ia menatap Bintang galak bahkan sambil berkacak pinggang. Bukannya seram, ia malah terlihat makin cantik. Setidaknya begitu dalam pandangan Bintang.
Ia sangat tergila-gila pada istrinya itu. Matanya yang indah makin membulat sempurna. Bibirnya yang kecil tapi penuh itu cemberut. Mengingatkan Bintang akan peristiwa tadi siang. Itu menyenangkan dan ia ingin mengulanginya lagi.
Jangan lemah Bintang, kamu harus tegas jika ingin istrimu itu berubah.
"Kita perlu bicara," lanjut Bintang tegas.
"Oh, kebetulan kalo gitu. Gue juga ada yang perlu diomongin," sahut Sitha.
"Mulai saat ini tak ada lagi kartu kredit. Aku akan memberi uang saku setiap hari. Itu hanya seperlunya. Kalau pengen belanja, aku yang akan mengantar. Kurangi bergaul dengan teman-temanmu yang gak penting itu."
Sitha mendengarkan ucapan Bintang dengan mimik yang berubah-ubah. Ia mengatupkan rahang rapat. Ulah Bintang sudah kelewat batas menurutnya. Memangnya laki-laki itu pikir siapa dirinya? Seenak jidat membuat aturan.
Dia laki lo, Tha. Masa lupa? Sisi baik dalam dirinya mengingatkan.
"Satu lagi, yang ini murni pesan dari Papa dan aku tak mau ikut campur. Mulai besok kamu diminta datang ke kantor, daripada keluyuran gak jelas katanya."
Dada wanita itu turun naik. Emosinya telah berada di ubun-ubun.
Jelas sudah sekarang dua pria beda usia itu bersekongkol. Tentu saja hal itu bukan sesuatu pertanda baik bagi Sitha. Namun wanita itu tak peduli. Yang dia tahu sekarang hatinya sakit diperlakukan seperti itu.
Kelopak matanya memanas. Mati-matian dia menahan agar kristal yang memenuhi kelopak matanya itu tidak tumpah begitu saja. Itu hanya akan menunjukkan betapa lemahnya dia.
Baiklah, jika itu mau kalian, aku jabani, batinnya. Ego wanita muda itu tersentil. Jika hanya karena sikap Bintang, dia tidak akan senelangsa ini. Yang makin membuatnya kecewa sikap sang ayah. Seumur-umur baru kali ini dia diperlakukan seperti itu. Dan semua gara-gara Bintang. Sejak mengenal laki-laki itu hidupnya penuh kesialan. Makin membeludaklah rasa bencinya pada sang suami.
"Udah selesai ngomongnya?" sahut Sitha dingin setelah beberapa kali meraup udara di sekelilingnya dan menghempaskan kasar.
"Sekarang giliran gue." Dia melanjutkan.
Kemarahan wanita itu mencapai puncak. Matanya memerah. Dengan bibir sedikit gemetar ia melanjutkan.
"Kita cerai!"
Setelah mengatakan kalimat itu, tanpa pikir lagi Sitha berbalik. Tak berapa lama mobil yang baru beberapa menit memasuki garasi itu kembali bersiap mengantar sang pemilik entah ke mana. Dengan perasaan terluka yang teramat sangat Sitha mengendarai tanpa tujuan. Yang wanita itu tahu, tempatnya bukan lagi di sini.