Sebuah Pembelajaran

1824 Kata
"Maaf Mbak, kartu ini dah gak bisa digunakan?" Sitha mengernyitkan dahi menatap si Mbak penjaga kasir, "Maksudnya?" "Sepertinya kartu ini diblokir." "What?!" Si Mbak kasir dan mereka yang antre sampai tersentak kaget mendengar teriakan wanita itu, mereka menatap Sitha dengan pandangan aneh. "Coba yang ini, Mbak." Lagi-lagi gelengan yang ia dapatkan. Wajah Sitha memucat. Bagaimana ini? Tatapan orang-orang sekitarnya membuat Sitha keringat dingin. "Bintang kurang ajar, beraninya ia mempermalukan aku," gumamnya. Namun yang membuat ia makin heran kenapa kartu kredit dari papanya juga gak bisa digunakan? "Bagaimana, Mbak? Maafkan saya, tapi di belakang banyak yang antre." Si Mbak kasir mulai tidak sabar. "Bisa dipending dulu 'kan, Mbak? Saya mau menelepon suami dulu," sahut Sitha setelah berpikir beberapa saat. Ia terpaksa mengucapkan itu, meski sebenarnya menyebut kata 'suami' membuat ia nyaris muntah. "Oh ..., bisa, bisa. Saya ketepikan dulu ya, Mbak?" Wanita itu mengangguk. Ia lalu menyingkir memberi kesempatan pada orang lain yang ternyata memang lumayan panjang antreannya. Dengan perasaan yang gondok setengah hidup ia melangkah menjauh. Mendail nomor sang suami. Gengsi sebenarnya, namun mau bagaimana lagi? "Sial!" Sitha menggeram marah. Panggilannya hanya tersambung dengan pihak operator seluler. "Papa," desisnya setelah beberapa lama. Tak ada pilihan lain, meski sebenarnya gak enak hati. "Ada apa, Sayang? Tumben telepon Papa?" sahut pria paruh baya di ujung sana begitu telepon tersambung. Ia menatap Bintang yang tengah duduk di depannya. Keduanya tersenyum. Kebetulan lelaki paruh baya itu tengah berada di kantor Bintang. Bukannya menjawab, perempuan manja itu malah menangis. "Papa kok jahat sih? Credit Card aku kenapa diblokir? Aku malu, Pa. Mana banyak yang ngantri lagi." Lelaki tua itu mengernyitkan dahi. Lalu menjauhkan ponsel saat teriakan Sitha di ujung ponsel memecahkan gendang telinganya. "Ooh ... itu, kirain ada apa. Katanya mau mandiri berarti gak butuh bantuan Papa lagi dong?" Orang tua itu menjawab santai. "Ih ... tapi gak seperti itu juga kali, Pa," sahut Sitha ngotot. Masih dalam nada yang sama. "Seperti itu gimana? Papa rasa tidak ada yang salah. Lagi pula suami kamu itu kaya raya, masa iya istrinya masih Papa yang biayai?" Mata tuanya melirik sang menantu, sementara yang ditatap hanya tersenyum kecil. "Tapi, Pa ...." "Maaf, Sayang. Papa lagi meeting nih." Tut tut tut .... "Ih ..., Papa ... sejak kapan sih itung-itungan ama anak sendiri," gumamnya gondok setengah mati. Salah ia juga sih, karena tidak mau perlakuan buruknya pada Bintang diketahui orang tua, Sitha memaksa minta pindah rumah. "Kenapa harus buru-buru sih, Sayang. Kami bakal kesepian kalau gak ada kamu di sini," sahut papanya ketika ia minta izin pindah rumah seminggu setelah pernikahan. Kala itu Bintang baru pulang dari Singapura. Sehari setelah pernikahan pemuda itu kembali ke kediaman orang tuanya. Pernikahannya yang tidak terencana tentu meninggalkan banyak urusan yang tertunda. Terlebih dia memutuskan untuk menetap di Jakarta. Dia harus menyelesaikan urusannya dengan pihak imigrasi. Secara pria itu tercatat sebagai warga negeri seberang. Sebenarnya waktu itu Bintang ingin mengajak serta istrinya, namun dengan berbagai alasan wanita itu menolak. Aji mumpung katanya saat ia bisa terbebas dari pria itu untuk beberapa waktu, dan itu menyenangkan baginya. Perasaan takut dan deg-degan menguasainya saat menerima telepon Bintang yang mengatakan bahwa pemuda itu akan kembali. Bagaimana kalau pria itu tidak menepati janji? Menolak? Jelas tidak mungkin. Sementara mereka tidur satu ranjang. Pasti pria itu punya seribu cara untuk mendekatinya. Seperti yang dikatakan Rena beberapa waktu lalu. "Gimana belah durennya? Dapat berapa ronde?" tanya Mesya tak tahu malu ketika mereka lagi ngumpul di cafe langganannya. Rena yang tengah menyeruput capuccino langsung menghentikan kegiatan dan ikut-ikutan menatap Sitha antusias. “Gue...? Dengan Bintang?" Sitha menggelengkan kepalanya angkuh, "Jangan mimpi!” "Kok mimpi sih? Dia ‘kan laki lo, mana mungkin?" sahut Mesya tak percaya. “Kenapa gak? Kita udah bikin perjanjian, kok." "Heleeeh..., janjinya seorang lelaki. Ia hanya menunggu waktu yang tepat aja. Lo lupa kalau ia udah nikahin lo. Dan ia punya hak penuh untuk itu," sela Rena. Sitha bergidik mendengarnya. “Lagian gue gak yakin lo sanggup, jangan-jangan nanti lo duluan yang mulai," ujar Mesya terkekeh. “Njir, lo kira gue segatal itu." “Haalaah, jan muna deh. Tinggal satu ranjang dengan pemuda tampan, sudah halal lagi. Kecuali lo berdua kagak normal," sambung Rena sepakat. Sitha melengos malas. Ia yakin hal itu tak ‘kan terjadi kecuali laki-laki itu bisa membuat ia jatuh cinta dan Azka benar-benar hilang dari hati dan pikirannya. Lalu bagaimana dengan Bintang? Bagaimana kalau apa yang dikatakan Rena benar? Bisa saja saat ia tertidur pulas, Bintang menyelinap ke kamar dan meminta haknya? Ingat lho Tha, hak-nya, gadis itu membatin. “Gue harus melakukan sesuatu," gumamnya tiba-tiba. “Apa?" tanya dua sahabatnya itu serentak. “Ada deh," sahut Sitha sambil menaik-turunkan kedua alisnya. "Ah ... lo mah gak asyik." Sitha hanya menyeringai melihat wajah kedua sahabatnya itu yang ditekuk. Maka terjadilah negosiasi itu. Bintang harus segera mengajaknya pindah rumah. Agar kita bisa mandiri, begitu alasannya. Bintang tersenyum senang. Ternyata baru beberapa hari ditinggalkan, istrinya itu telah berubah pikiran. Ia tak tahu saja apa yang tengah direncanakan rubah betina yang satu ini. “Gimana, Mbak?" Pertanyaan Mbak kasir membuyarkan lamunan Sitha. Wanita itu gelagapan. Ia memeriksa dompetnya, siapa tahu ada rupiah yang terselip. Ada. Tapi jumlahnya jauh dari cukup. Apalagi nanti ia harus mengisi bahan bakar mobilnya. “Boleh dibatalin gak, Mbak?" Butuh perjuangan baginya untuk mengatakan itu. Wajahnya sudah pias. Malu sekaligus kesal. "Wah gimana ya, Mbak. Udah diinput soalnya, tapi coba saya tanya Boss dulu ya," sahut si penjaga kasir, lalu mengasih kode pada temannya untuk segera datang. Sitha mengangguk lemah. Ini adalah hari terburuk dalam hidupnya. "Awas lo, Bintang," ancamnya. *** Sitha memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Ia ingin segera bertemu pria itu meminta pertanggungjawaban. Atau bila perlu mencincangnya sekalian. Seumur hidup baru kali ini orang-orang menatapnya dengan pandangan merendahkan seperti tadi. Untung saja manajer butik itu mengerti hingga ia bisa terbebas dan segera angkat kaki dari sana. Jangan tanya seperti apa malunya dia. Sesampainya di kantor Bintang gadis itu bergegas turun dari mobil. Menarik napas berkali-kali agar ia bisa lebih tenang. Yang ia lakukan sekarang adalah yang paling sangat ia hindari selama ini. Merendahkan harga dirinya di hadapan orang lain. Sekalipun orang itu adalah Bintang, suaminya sendiri. Dengan langkah yang mengentak ia menuju lift khusus yang terletak tidak jauh dari lahan parkir. Lift ini berada tepat di depan ruangan Bintang, hanya berjarak sekitar 5 meter dari pintu masuk. “Maaf, Bu. Bapak lagi ada ta ...." Namun ucapan sekretaris Bintang itu terhenti saat melihat kilatan kemarahan di mata Sitha saat menatapnya. Belum sempat ia menyelesaikan ucapan, Sitha telah mendorong pintu ruangan Bintang kasar. Dua orang yang tengah mengobrol di sana menoleh kaget. Wajah Sitha terpampang di depan pintu, siap untuk mengacak-acak kantor Bintang. "Laporannya tinggalkan di sini dulu, nanti saya akan hubungi Anda." "Baik, Pak." Kepala divisi itu mengangguk lalu segera pamit. Dari wajah Sitha ia bisa bayangkan apa yang akan terjadi. “Ada apa?" tanya Bintang datar. Dia melipat kedua tangannya ke d**a sambil bersandar di kursinya yang empuk. Seolah kehadiran Sitha bukan sesuatu yang penting. Wanita itu geram bukan main. Ia melemparkan beberapa kartu ATM dan kartu kredit ke atas meja kerja Bintang. “Puas lo sekarang?” Saking kesalnya ia ingin menangis. Namun berusaha ia tahan. Ketika ingin mendekat .... “Tutup pintunya, kamu mau jadi tontonan orang sekantor!” Mata wanita itu membulat sempurna. Tak percaya dengan apa yang baru ia dengar. Bintang memerintahnya? Apa ia tidak salah dengar? Bukan Sitha namanya jika tidak membantah. "Lo aja ndiri." “Ya sudah, kalau gitu siapin diri buat jadi bahan gunjingan mereka,” ujar Bintang datar. “Oh ya, aku ingatin! Di sini banyak sekali biang gosip dan mereka punya tingkat kekepoan yang maksimal,” lanjutnya berbisik di telinga Sitha. Sitha mengibaskan tangannya kasar. Seolah keberadaan Bintang yang begitu dekat dengannya adalah seekor lalat yang memang patut diusir. Dengan mengentakkan kaki dan bibir yang cemberut, ia membanting pintu ruangan itu keras. Kasihan sekretaris Bintang yang ada di depan ruangan itu. Ia sampai terperanjat kaget. Diam-diam Bintang mengulum senyum. Marah saja Sitha masih secantik ini apalagi kalau tersenyum. Sayang galaknya melebihi seekor herder. “Apa senyum-senyum. Suami apa yang tega mempermalukan istri sendiri?" ujarnya kesal. Kalau saja tidak malu maka ia akan menangis di tempat ini. Bintang kurang ajar. Gak punya perasaan, ia mengumpat dalam hati. “Istri?" Bintang bangkit dari kursinya, menatap lekat. Sitha mundur teratur ketika pria itu mendekat. "Jadi udah sadar dengan statusmu sekarang. Bahwa sejak tiga bulan lalu kamu telah resmi dipersunting seorang Bintang Pratama Alkatiri?" dengkus pria itu tajam. Ia terus mendekat. Mata elangnya menukik, menatap wajah sang istri yang mulai terlihat gugup. Hingga tubuh Sitha menempel di tembok. Ia terdesak. "Ap-apa yang kau la ...." “Hammpp.” Ucapan Sitha terputus karena Bintang telah berhasil menyumpal mulutnya. Mata wanita itu membulat sempurna saat bibir Bintang sukses mendarat di bibirnya. Ia meronta, mendorong tubuh Bintang. Sayang usahanya sia-sia, Bintang bergeming. Ia dipaksa menyerah dalam kungkungan tangan besar itu. Sikap Bintang yang tadinya kasar mendadak lembut, sangat lembut setelah tidak mendapat perlawanan dari Sitha. Disadari atau tidak, Bintang berhasil menghipnotis wanita itu. Kupu-kupu serasa beterbangan di perutnya. Jantung Sitha berdetak lebih cepat dengan persendian tubuh yang melemas. Rena benar, pesona suaminya ini tak terbantahkan. Tiba-tiba ia seperti tersadar. Sitha mendorong tubuh Bintang kasar. Menatap galak wajah pria yang menatapnya dengan pandangan ... entah. Sitha tidak mau memikirkan itu. “Plak!” Satu tamparan singgah di pipi Bintang yang menatapnya terkejut. Sama sekali tak menyangka jika istrinya bisa berperilaku sekasar ini. “Sitha ...!” “Berani-beraninya lo nyari kesempatan.” Bintang tersenyum sinis sambil mengusap kasar pipinya yang baru jadi sasaran amukan Sitha. Matanya menatap nanar wanita itu. Rahang Bintang terlihat bergerak menahan emosi yangq telah di ubun-ubun. “Kamu sadar dengan apa yang barusan kamu lakukan?” desisnya. "Cara lo licik. Gue benci lo," maki Sitha dengan mata berkaca-kaca. “Kenapa? Bukannya kamu sendiri yang bilang kita suami istri? Itu artinya tak ada yang salah dengan apa yang telah aku lakukan.” “Tapi ....” “Apa?” Didesak seperti itu, Sitha tak berkutik. Biar bagaimanapun Bintang benar. Kalau ia datang ke sini untuk menuntut hak, lalu bagaimana dengan tanggung jawabnya selama ini? Bukankah itu sama saja ia telah durhaka pada suami sendiri? Meskipun Bintang suami yang tidak dianggap, mereka sah secara hukum agama dan negara. Lalu apa yang salah? “Kenapa diam?” Sinis pria itu. “Arrgghh!” Sitha menggeram marah. Hari ini untuk kedua kalinya ia dipermalukan. Bintang tersenyum miring. Ia masih menatap wajah cantik itu. Terlalu enggan untuk melewati pemandangan sempurna yang telah Tuhan ciptakan untuknya. "Sinting," maki Sitha. Wajahnya sudah seperti udang rebus. Kesal bukan main. Terlebih tatapan Bintang yang seolah meremehkan, membuat ia tak sanggup berlama-lama di sana. Secepat kilat Sitha memutar arah. Lupa akan tujuannya datang ke tempat itu. 'Sial, tak seharusnya aku larut dalam ciumannya'. Ia membatin. Wanita itu menyambar tas tangannya yang tergeletak di sofa, Dengan perasaan campur aduk berlalu dari sana. "Itu baru awal, Sayang." Bintang tersenyum penuh kemenangan, menatap punggung Sitha yang menghilang di balik pintu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN