Rasa Itu Memang Ada

2221 Kata
Bintang Pratama Alkatiri. Selama ini Sitha bukan seseorang yang begituan saja percaya dengan yang namanya kebetulan. Apa pun itu bukankah segala hal di dunia ini bisa direncanakan? Tapi kali ini dia merasakan kebetulan itu. Entah kenapa tiba-tiba saja Sitha merasa Alka dan Bintang mempunyai kepribadian yang nyaris sama. Meski tidak pendiam tapi tak banyak omong juga. Sama-sama penyuka kaktus. Meskipun lupa-lupa ingat, dari garis wajah pun mereka mirip. Sayang Sitha tidak pernah tau siapa nama panjang pria kecilnya dulu. Anehnya Sitha baru menyadari hal tersebut setelah kejadian kemarin. Saat dia menyerah kalah dalam pelukan Bintang. Mengingat bagaimana gairah mereka saat menghabiskan waktu bersama membuat wajah Sitha memerah. Akhirnya mereka layak disebut sebagai suami istri. Satu yang Sitha tau keluarga Bintang tinggal di Singapura. Sementara Alka? Sitha tak pernah tahu ke mana keluarga mereka pindah. Sakit yang terlanjur ia rasakan membuat gadis kecil itu lupa menanyakan hal sepenting itu. Tapi apa iya semua serba kebetulan. Tanpa sadar Sitha mengangkat pundak. Satu yang pasti Alkatiri di belakang nama Bintang adalah nama keluarga. Lagipula banyak Alkatiri yang ada di luaran sana. Dan lagi ... jika Bintang adalah Alka, kenapa ia memanggil namanya Sitha. Bukankah setelah tahu nama panjang Sitha, Alka punya panggilan spesial untuknya? Ayu. Ya, hanya Alka satu-satunya yang memanggil dengan nama itu. Berarti bukan. Bintang adalah Bintang dan Alka adalah Alka. Mereka dua sosok yang berbeda. Sitha menarik napas panjang. Sedikit kecewa dengan analisisnya. Hei ..., ada apa dengan diriku? Dia membatin. Kenapa jauh di lubuk hati dia malah berharap Bintang dan Alka adalah sosok yang sama? Mungkinkah Alka dan Azka telah terganti? *** Cahaya jingga mewarnai langit sore itu. Sebentar lagi waktu Maghrib akan tiba. Sudah lebih dari setengah jam Sitha berdiri di depan jendela kamar. Menatap keluar dengan pikiran menerawang jauh. Tentang Alka, tentang Azka yang semula sempat dia anggap adalah Alka-nya. Dan sekarang Bintang. Perlahan Sitha mulai mempertanyakan ke mana hatinya kini berlabuh. Masing-masing nama itu punya tempat istimewa di hatinya. Ya. Semuanya? Termasuk Bintang. Tapi kenapa untuk bertemu pria itu kini dia malah merasa malu? Memikirkan bagaimana caranya akan bersikap pada Bintang setelah ini membuat nyalinya ciut. Mungkinkah dengan cara bersikap seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa? Cepat wanita itu menggeleng. Mana mungkin? Dia membatin. Toh setiap inci dari tubuhnya telah dinikmati pria itu. Lagi-lagi wajahnya memerah. Ketukan di pintu kamar membuyarkan lamunan wanita itu. Debar di dadanya kembali mengencang saat menduga siapa yang berada di balik daun pintu tersebut. Tak berapa lama daun pintu pun terkuak. Sesuai dugaan Sitha, wajah tampan Bintang muncul di sana. Pria itu mengenakan t-shirt warna hitam. Terlihat kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Sebagai bawahan dia memakai celana jeans longgar selutut. Kedua bola mata yang dinaungi sepasang alis tebal berwarna hitam itu menatap lekat saat tatapan mereka bertemu. Hanya sesaat, karena detik berikutnya Sitha segera membuang pandang. "Masih betah mengurung diri?" tanya Bintang sembari mendekat. Saat menoleh sekilas, Sitha tau pria itu menahan senyum. Makin salah tingkah lah dia. Tuh kan diketawain, nyebelin banget. "Siapa yang mengurung diri?" sahut Sitha seraya memutar bola mata. Lalu melangkah ke arah balkon. Sejujurnya berada di ruangan tertutup bersama laki-laki itu membuat jantungnya bekerja ekstra keras. Bintang terkekeh. "Ketus amat?" ujarnya. Perasaan Sitha makin nggak karuan saat Bintang telah berada di sisinya. Udara sekitar mendadak terasa panas bagi wanita itu. Bintang yang tau Sitha salah tingkah lagi-lagi mengulum senyum. "Senja yang indah ya?" ujarnya sembari mengikuti arah tatapan mata wanita itu. "Heeh." Sitha mengangguk. Lantas melirik Bintang. Tampan. Dan dia baru menyadarinya saat ini. Wanita itu cepat-cepat membuang pandang saat Bintang menoleh. Sesaat hening. "Bin," panggil Sitha tiba-tiba. "Ya?" "Sebelum kita menikah, kamu pernah ke sini? Maksudku tinggal di Jakarta." Bintang menatap wajah itu. "Kenapa?" "Hanya bertanya. Nggak boleh ya?" Bintang tertawa. Bukannya menjawab, pria itu malah berjalan ke pagar pembatas balkon. Dia mengedarkan pandangan ke gedung pencakar langit yang tampak berkilauan karena lampu-lampu di dalamnya yang mulai menyala. "Apa itu penting?" tanya Bintang kemudian. Sitha membuang tatap. "Penting nggak penting sih," sahutnya. "Nggak usah dijawab jika memang keberatan." Wajahnya sedikit ditekuk. Bintang tertegun. Dia seolah kembali pada kenangan bertahun-tahun silam. Kenangan di mana mereka berdua pernah merangkainya bersama-sama. Kerinduan akan masa lalu itu seakan terobati. Selain usia yang bertambah, ternyata Sitha masih orang yang sama. Baperan dan tukang ngambek. Namun justru hal itu yang dulu membuat Bintang gemas padanya. Satu hal yang Bintang tak mengerti, apa perubahan pada dirinya begitu signifikan hingga Sitha benar-benar tidak mengenalnya? Ingin dia berkata jujur, hanya saja Bintang merasa belum saatnya. Belum saatnya atau mungkin tak kan pernah. Ketika Bintang akan angkat bicara, suara adzan berkumandang hampir di seluruh penjuru. Pria itu menarik napas lega. "Alhamdulillah," gumamnya. Tatapan pria itu lantas beralih ke wajah Sitha. "Mau sholat Maghrib bareng?" Sitha tertegun. Setelah bertahun-tahun baru sekarang ini dia diingatkan lagi dengan kewajiban yang satu itu. Kegiatan yang tak asing sebenarnya bagi Sitha karena dulu saat masih anak-anak dia sering melihat asisten rumah tangga mereka melakukannya. "Bibi ngapain?" tanya Sitha kecil sembari menatap heran wanita paruh baya itu. "Kok kek pocong?" lanjutnya. Dia menyusup ke kamar sang Bibik karena tidak menemukan handuk saat mau mandi sore. Sitha kaget melihat penampilan wanita itu. Seluruh tubuhnya ditutupi baju longgar yang panjangnya menyapu karpet. Lengannya juga panjang sekali, hingga Sitha tak melihat ujung jari wanita itu saat dia mengangkat kedua tangan. Tawa si Bibik yang hendak mengucap takbiratul ihram nyaris menyembur keluar. Dia batal mengucapkan takbir. "Ini namanya sholat, Non." "Sholat?" ulang Sitha kecil dengan tatapan bingung. "Jadi yang katanya hantu itu orang yang sedang sholat?" Sang Bibik lagi-lagi tersenyum. "Itu dua hal yang berbeda, Non," jelasnya. "Sholat itu kewajiban setiap muslim dan muslimah. Yang Non Sitha maksud itu makhluk astral." Sitha menggeleng. Dia tak mengerti apa yang dibicarakan wanita itu. "Nanti setelah sholat akan Bibik jelasin. Atau Non Sitha mau ikut sholat bareng Bibik?" Mata gadis kecil itu berbinar. "Memangnya boleh Bik?" Cepat wanita itu mengangguk. "Mari Bibik ajarin wudhu dulu." Sejak saat itu setiap Maghrib menjadi agenda Sitha masuk ke kamar sang Bibik lalu sholat berjamaah bareng wanita itu. Dari sang Bibik jugalah Sitha paham bahwa kewajiban itu dilakukan lima waktu sehari semalam. Sering ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, membuat Sitha dekat dengan wanita itu. Seiring berjalannya waktu dia pun mulai diajarkan mengaji. Melewati masa remaja kebiasaan itu mulai jarang-jarang dilakukan Sitha. Tepatnya sejak dia mengenal indahnya gemerlap dunia luar. Bahkan makin ke sini Sitha lupa kapan terakhir melaksanakan kewajibannya itu. "Lha, dia bengong." Bintang menyikut pelan rusuknya. "Di mana?" sahut Sitha. "Di sini boleh? Atau di kamarku?" tanya Bintang. "Sini aja," sahut Sitha cepat. Dia yakin 1000 persen, jika di kamar Bintang dia tidak akan bisa sholat dengan khusyuk. Yang ada pikirannya akan melantur ke mana-mana. "Aku siapin dulu ya?" Tanpa menunggu jawaban Bintang, Sitha bergegas meninggalkan balkon. Saat dia mencapai pintu .... "Kok jalannya gitu?" goda Bintang yang membuat wajah wanita itu kembali memerah. "Gara-gara elu!" sahut Sitha cemberut. Pecahlah tawa Bintang. *** Tepat saat Sitha membuka mukena cacing di perutnya berbunyi. Lumayan keras hingga menyapa pendengaran Bintang yang masih melafazkan doa di depannya. Setelah menyapukan kedua tangan ke wajah, Bintang menoleh. "Mau makan di luar?" Sitha tidak langsung menyahut. Dia tahu maksud Bintang. Laki-laki itu tengah berusaha meminimalisir jarak di antara mereka. Hanya saja Sitha masih ragu akan perasaannya. "Anggap saja sebagai permintaan maaf," lanjut Bintang lagi. Sebenarnya dia sedikit kecewa dengan respon wanita itu. Setelah segala hal yang mereka alami, sepertinya tak berarti apa pun bagi Sitha. Mungkinkah saat mereka melakukannya, Sitha tengah memikirkan orang lain? Andai itu yang terjadi alangkah menyedihkan dirinya. Berpikir seperti itu, Bintang menghela napas panjang. Namun sekali lagi dia menekan ego. "Atau kita makan malam di rumah aja? Mungkin masih ada makanan yang bisa dipanasi?" lanjutnya. "Mungkin?" Alis Sitha tertaut. "Artinya kamu belum makan apa pun dari tadi?" Bintang menggeleng. "Astaga, Bintang. Kamu kan ... ah, sudahlah. Yuk, kita cari makan di luar aja," ujarnya panik. Sitha pernah melihat bagaimana pria itu menahan sakit ketika maag nya kambuh. Ketika mereka baru pindah ke rumah ini kurang lebih satu minggu. Namun saat itu Sitha tak peduli, malah Mbok Isah yang merawat majikannya tersebut. Senyum Bintang melebar. Jangankan kelaparan, terkapar pun saat ini dia rela asalkan bisa mendapatkan perhatian wanitanya ini. Lima belas menit kemudian, mereka telah sama-sama keluar dari kamar masing-masing. "Kok pakai celana jeans?" tanya Bintang begitu melihat penampilan Sitha yang berdiri di depan pintu kamar. Sementara dia sendiri pakai kemeja polos warna biru muda dan celana berbahan kain. Di luar dilapisi jas. Pakaian formal. Sangat timpang dengan pakaian yang dikenakan Sitha--hoodie dengan bawahan jeans ketat. Sitha mengulum senyum. "Ayolah, Bin. Kita bukan makan malam resmi," ujarnya sembari mendelik. "Bisa lebih santai kan?" lanjutnya. "Lagi pula aku mau kita naik motor aja biar cepat." Mata Bintang membulat. "Yakin?" "Iya, buruan ganti." "Wait." Bintang menghilang di balik daun pintu. Sitha geleng-geleng kepala. Dasar Bintang. Tak menunggu lama, Bintang kembali muncul di depan Sitha yang masih betah berdiri di pintu kamarnya sambil senderan. Kali ini dia muncul dengan gaya kasual. "Nah, gitu dong, terlihat lebih tampan," ujar Sitha reflek. Lalu cepat-cepat menutup mulut sendiri. Wajahnya menghangat saat sadar Bintang tengah menatapnya lekat. "Yuk ah, keburu laparnya ilang ntar." Tanpa menunggu Bintang, Sitha bergegas menuruni anak tangga. Di belakangnya senyum tak berhenti menghias bibir Bintang. Kecantikan istrinya itu berkali-kali lipat jika tidak sedang galak seperti ini. *** Motor yang dikendarai Bintang mulai memasuki jalan raya. Di belakangnya Sitha duduk dengan tetap menjaga jarak. Entah karena gengsi entah sungkan. Yang pasti dia enggan memeluk pria itu karena Bintang pun tak memintanya. Melewati lampu merah, Sitha kaget saat Bintang tancap gas dengan tiba-tiba. Reflek dia memeluk pinggang laki-laki itu. Sitha mendelik saat tak sengaja melihat ke kaca spion. Mata Bintang menyipit di balik helm yang dia kenakan, pertanda pria itu tengah menahan senyum. "Nyebelin banget sih?" gumamnya sembari mencubit perut pria itu gemas. Di balik helm yang dikenakannya Bintang tertawa. Dia tidak tau bagaimana perasaan wanita itu padanya. Satu yang pasti saat ini Bintang hanya ingin menikmati kebersamaan sembari berharap suatu saat Dewi Fortuna benar-benar menyentuh dan mempersatukan hati mereka berdua. Motor berbelok ke sebuah restoran yang bercitarasa masakan khas Indonesia. Rumah Makan SEDERHANA. Merek yang tertera di kaca besar etalase. Sederhana katanya. Tapi Sitha tau benar menu dan harga yang dibanderol tidak sesederhana nama restorannya. "Aku pikir kamu tidak terlalu suka dengan makanan khas Indonesia," ujar Sitha saat mereka beriringan memasuki restoran. "Sebenarnya aku tidak terlalu memilih soal makanan. Bagiku jenis makanan itu hanya ada dua, enak dan enak banget," sahut Bintang sembari tersenyum kecil. "Lalu kenapa memilih di sini?" "Pertama dekat, kedua kan kamu sendiri yang bilang sebelum lapar kita hilang." Sitha mengangguk. "Baiklah, Pak. Bersyukurlah, aku pun seorang omnivora sepertimu," canda Sitha yang disambut tawa renyah pria itu. Tanpa terasa kecanggungan benar-benar menghilang di antara mereka. Setelah makan, Bintang tidak lantas mengajak Sitha pulang. Dia sengaja berkeliling kota menghabiskan malam akhir pekan mereka. Dan sepertinya Sitha pun tidak keberatan. Lewat jam sepuluh malam, motor mereka kembali terarah menuju rumah. Sepanjang perjalanan Sitha memeluk pinggang Bintang erat. Bahkan tanpa sungkan wanita itu menyandarkan kepalanya di punggung Bintang. Entah karena capai atau mungkin kekenyangan. Di punggung lebar Bintang, Sitha tertidur. Usapan lembut di punggung tangannya membangunkan wanita itu. Dia membuka mata, ternyata motor yang dikendarai Bintang telah berada kembali di pekarangan rumah mereka. "Eh, dah sampai ya?" ujar Sitha. Dia tersenyum risih saat sepasang mata Bintang menatapnya dengan tatapan yang begitu lembut. Tatapan yang disadari Sitha kini menghadirkan gelenyar indah pada segumpal darah yang sepertinya mulai merespon segala tindakan yang dilakukan Bintang. Perlahan Sitha turun dari boncengan. Lalu tanpa diminta, Bintang membantu wanita itu melepaskan helm di kepala Sitha. Lagi-lagi tatapan mereka bertemu. Tubuh Sitha membeku saat jemari Bintang tak sengaja menyentuh bagian lehernya. Wanita itu sama sekali tak menyangka tubuhnya akan merespon begitu cepat. Darah di dalam tubuhnya seakan bergejolak, hingga tanpa disadari lututnya terasa lemas. Hal yang tak jauh berbeda dialami oleh Bintang. Matanya berkabut menatap bibir Sitha yang memerah. Di bawah temaramnya lampu taman bibir itu begitu merekah seperti kelopak mawar. Seolah menunggu untuk dikecup. Darah di tubuh Bintang kian bergelora saat Sitha memejamkan mata pasrah ketika wajahnya mendekat. Dengan penuh perasaan bibirnya mendarat tepat di permukaan bibir Sitha. Bintang tersenyum dan mengusap lembut pipi Sitha yang bersemu setelah kecupan singkat itu. "Tunggu sebentar, aku parkirkan motor dulu." Setelah mengatakan itu, Bintang turun dari motor. Membuka pintu garasi. Sementara Sitha menunggu dengan sabar di teras. Kalau mau dia bisa masuk duluan karena masing-masing mereka pegang kunci. Tapi Sitha tidak melakukan itu. Setelah memastikan garasi kembali tertutup rapat, Bintang bergegas ke teras. Lalu membuka kunci pintu dan mempersilahkan Sitha masuk terlebih dulu. Mereka menaiki anak tangga dalam diam. Namun hati keduanya saling bicara. Tepat di depan pintu kamar masing-masing .... "Night, Bin." "Good night." Sitha meraih gagang pintu kamarnya. "Sitha." Wanita itu menoleh. "Ya." "Tidur yang nyenyak." Bibir tipis itu tersenyum. "Kamu juga," sahutnya. Lalu kembali memutar gagang pintu. "Sitha," ujar Bintang lagi bersamaan dengan pintu kamar Sitha yang terbuka. "Haruskah kita tidur di kamar masing-masing?" Sitha tersedak. "Maksudnya?" Dengan cepat Bintang mendekat. Dia meraih pinggang wanita itu. "Tidak bisakah mulai malam ini kita menghabiskan waktu bersama?" bisiknya. Di luar dugaan pria itu, Sitha meraih tengkuknya. Dalam hitungan detik, bibir mereka telah tertaut. Dengan rakus Bintang menyambut. Dia mendesak tubuh Sitha hingga keduanya melewati pintu. Dengan kaki kirinya, Bintang menutup pintu kamar Sitha. Jika kebersamaan membuat nyaman, lalu untuk apa ego dipertahankan? Nyatanya rasa itu memang ada.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN