Ketika Cinta Menyapa

2100 Kata
Paginya .... Sitha terbangun dengan seluruh persendian di tubuhnya terasa lemas. Selain itu kantuk pun masih membebani kelopak mata wanita itu. Dia tak tau pasti jam berapa mereka tertidur. "Ternyata rasanya gini amat." Dia menggumam. Meraba ke sisi kanan, Bintang sudah tidak ada. Paling pindah ke kamarnya, wanita itu membatin. Seolah tak peduli, Sitha kembali meringkuk. Niatnya ingin menyambung tidur. Sambil memejamkan mata, dia menyelipkan kedua tangan di sela bantal dan kepala. Namun kelopak mata wanita itu kembali terbuka saat tanpa sengaja jemarinya menyentuh selembar kertas. Tepat di atas bantal yang dia gunakan. "Kertas apa ini?" gumamnya. Penasaran, Sitha bangkit dari tidur. Selimut yang tadi menutupi tubuh, dia lilitkan sebatas d**a. Dia meraih lembaran itu. Kantuknya mendadak hilang demi melihat tulisan tangan yang sangat rapi dituliskan di sana. Matanya menatap lekat coretan itu. . Pagi, Sayang. Sepertinya tidurmu nyenyak sekali. Aku tahu kamu kecapaian, makanya aku nggak tega bangunin. Aku berangkat ya. Ada meeting pagi ini. Jangan lupa sarapan! Suamimu, Bintang . Hanya sependek itu. Tapi cukup menghadirkan rasa berbeda di hati Sitha. Tanpa disadari dia mengulum senyum. "Ternyata dia lumayan romantis." Lagi-lagi Sitha menggumam. Dan anehnya keromantisan Bintang mulai membuat wanita pemilik tinggi 160 cm itu melayang. Hatinya berbunga-bunga. Bahkan saat membayangkan bagaimana intimnya mereka dalam dua hari ini saja membuat darah di tubuh wanita itu serasa kembali bergejolak. Benar kata para sahabatnya. "Lo bersikap gini karena belum tau rasanya." Meisya terkekeh. "Liatin aja, ntar juga dia yang bakal klepek-klepek." Jovanka ikutan nimbrung. "Nah, pada saat itu terjadi, dia sendiri yang akan memohon pada Bintang." Kali ini entah siapa lagi yang bicara. Lalu mereka tertawa terbahak-bahak. Keterlaluan memang mereka. Ngomongin orang kok di depan hidungnya langsung. Tapi itulah uniknya persahabatan mereka. Blak-blakan setelah itu semuanya selesai. Setelah berbulan-bulan akhirnya wanita itu luluh juga dan baru merasakan seperti apa seharusnya suasana pengantin baru. Jika tau seindah ini, harusnya sejak awal aku membuka hati. Tapi mana mungkin? Bukankah saat itu Bintang adalah orang yang paling kubenci? Sitha membatin. "Benci dan cinta itu beda tipis, sebaiknya lo hati-hati," kata Meiska lagi, masih dengan candaan. "Gue? Yakin lo?" Padahal waktu itu Sitha menjawab dengan angkuh. "Jangan terlalu percaya diri. Bintang itu gantengnya pakai banget." Meiska menegaskan. Sitha mengerling. Dia berani jamin jika saat itu kata-kata Meiska hanya sesuatu yang mustahil. Nyatanya kini dia benar-benar telah bertekuk lutut pada pria itu. Sitha tak sanggup membayangkan apa yang akan dikatakan sahabatnya itu nanti jika tau apa yang telah terjadi antara dirinya dan Bintang. 'Memangnya apa yang salah? Bukankah memang begitu seharusnya? Kenapa juga harus peduli dengan orang yang tak ada sangkut pautnya dengan mereka?' Memikirkan hal itu, lagi-lagi Sitha tersenyum. Apa yang paling penting saat ini dia nyaman bersama Bintang. Persetan dengan omongan orang. Benarkah? Sitha terperangah oleh pikirannya sendiri. Tak salah lagi, Dewi Fortuna memang kini telah menyapa. Mencairkan hatinya yang membeku beberapa waktu lalu. Perlahan jemarinya melipat rapi lembaran kertas itu, lalu kemudian bangkit dari ranjang dan menyimpan catatan kecil tersebut di dalam laci. Baru saja hendak melangkah ke kamar mandi, ponselnya yang tergeletak di meja rias berdentang. Mama. Nama kontak yang tertera pada chat teratas di layar. Pasti Papa udah cerita macam-macam ini, tentang peristiwa kemarin, wanita itu membatin. Sebuah notifikasi kembali masuk. Belum sempat Sitha membuka, ponselnya kini berdering nyaring dengan gambar kamera di layar. Dari ujung sana wanita paruh baya itu melakukan video call. Mungkin karena merasa chatnya diabaikan. Sitha tersentak. Bagaimana bisa panggilan itu dia jawab sementara tubuhnya hanya berbalutkan selimut? Apalagi saat menatap ke cermin besar itu jejak Bintang tertinggal di pangkal lehernya. "Maaf, Ma. Anggap aja Sitha nggak dengar VC an Mama," gumamnya. Lantas terbirit ke kamar mandi. Kurang lebih setengah jam berendam, Sitha keluar dengan tubuh yang sudah kembali segar. Dengan cepat dia mengenakan pakaian. Sitha sengaja memilih blouse ber-kerah agar bisa menutupi pangkal lehernya. Bagian bawah dia menggunakan celana bahan model mengembung pada bagian paha dan mengecil di ujung. Hari ini dia untuk pertama kalinya dia ingin masuk kerja, menunaikan harapan sang ayah. Lagi-lagi Sitha berhasil mengalahkan ego. Meskipun sedikit kesiangan, tekad itu telah terpatri di hatinya sejak tadi malam. Entah apa yang akan dia kerjakan di sana biar urusan nanti saja. Dengan kepala yang masih terlilit handuk kecil, Sitha mendial kembali nomor ponsel mamanya. Melakukan VC ulang. "Sitha, jam segini baru bangun?" Pertanyaan sekaligus intimidasi dari mamanya saat video call tersambung. "Pantas saja dari tadi panggilan ama pesan Mama diabaikan." Sitha hanya meringis. "Dari tadi, Ma. Ini udah mandi." "Itu Mama tau. Yang Mama maksud, nggak mungkin kamu baru mandi sekarang jika sudah bangun dari tadi," tukas wanita itu dengan bibir cemberut. "Kan nggak ngapa-ngapain, Ma. Ngapain bangun pagi." Dia membela diri. "Dasar kamu." Tatapan wanita paruh baya itu beralih ke baju yang dia kenakan. Dahinya mengernyit. "Kamu mau ke mana?" tanyanya penasaran. "Beneran Mama belum tau?" Sitha balik bertanya. "Kalau dah tau ngapain Mama nanya?" Wanita di seberang sana mendelik. "Papa nyuruh aku kerja di kantornya." "Hah! Kok tumben?" "Ceritanya panjang. Yang pasti sekarang aku anak konglomerat paling kere. Nggak punya uang sama sekali. Kata Papa biar aku mengerti cara menghargai orang yang memberikan aku nafkah." "Hahahahaha." "Ish ... tuh kan Mama malah ketawa." Sitha cemberut. "Harusnya Papa telah melakukan hal itu sejak lama," sahut wanita itu dengan mimik serius. "Mama!" Wanita yang masih menyisakan kecantikan paripurna di usia hampir setengah abad itu lagi-lagi tertawa. "Kamu gak punya niat mengunjungi Mama?" ujarnya setelah tawa itu reda. "Mama kangen banget ama kamu." Sebenarnya Sitha memang sudah berencana akan ke sana. Kemiripan Bintang dengan sosok Alka nya membuat gadis itu kian penasaran. Orang yang bisa memberikan info valid tentang pria itu hanya orang tuanya. Karena seterdesak apa pun, Sitha yakin mereka tak kan gegabah menentukan pilihan. Apalagi ini buat satu-satunya anak mereka. "Sitha juga kangen." "Makanya ke sini." "Nanti pulang kerja gimana, Ma?" sahut Sitha lagi. "Ya terserah kamu. Tapi jangan bohongi Mama ya." "Siap, Bosque." Setelahnya Sitha menutup VC. Lalu memasukkan benda persegi itu ke dalam tas tangan yang akan ia bawa. Setelah memastikan semua rapi, gadis itu melenggang ke lantai bawah. Jangan lupa sarapan. Kalimat yang ditulis Bintang itu mengingatkannya. Gegas dia menuju dapur. Beberapa hidangan telah tersedia di meja makan. Dahi Sitha mengerinyit. Kenapa segini banyak? Dia membatin. Ada sepiring nasi goreng. Semangkuk bubur ayam. Dua butir telur ayam kampung yang sudah direbus, lalu segelas teh hangat. "Bik?!" Sitha memanggil asisten rumah tangganya yang sedang menjemur pakaian di halaman belakang. "Ya, Bu." Tak berapa lama setelah sahutan itu, wajah Bik Isah terlihat di depan pintu dapur. "Memangnya mau ada tamu?" Sitha bertanya. "Tamu? Siapa, Bu? Nyonya besar mau datang?" sahut Bik Isah balik bertanya. Dasar wanita latah. Sitha memutar bola mata. "Aku nanya, Bik." "Eh, kirain mau ngasih tau," kekeh wanita bertubuh mungil itu. Dari jawaban Bik Isah, Sitha bisa menarik kesimpulan, tak ada sesiapa pun yang akan datang. "Kenapa masaknya banyak sekali?" tanya Sitha lagi. "Oh itu, anu ... tadi Bapak yang nyuruh. Katanya Ibu harus banyak makan supaya tenaga Ibu kembali pulih." "Ibu baik-baik aja kan?" Bik Isah menatapnya dengan pandangan khawatir. "Hah, apa maksudnya? Aku baik-baik aja kok." Bik Isah mengangguk. "Syukurlah." Sitha menatap wanita itu. "Memangnya Bapak bilang apa?" tanyanya penasaran. "Katanya akhir-akhir ini Ibu makan nggak teratur." Sitha menarik napas lega. Dia tadi sempat khawatir kalau Bintang akan bilang tenaganya terkuras karena mereka bergadang hingga hampir jam dua pagi. Bintang seperti keran bocor, Sitha nyaris kewalahan menghadapi gairah pria itu. Entah karena baru mencoba lalu ketagihan, entah karena telah menahan dalam waktu yang lama, hingga begitu ada kesempatan, semua menjadi tumpah ruah. Tanpa sadar wajah Sitha kembali bersemu. "Syukurlah," gumamnya. "Apa, Bu?" "Eh, enggak. Makasih ya, Bik. Silakan dilanjut pekerjaannya." "Baik, Bu." Wanita paruh baya itu kembali bergegas ke belakang. Dia sedikit heran melihat perubahan sikap kedua majikannya itu. Terutama Sitha. Meskipun tak pernah melihat mereka bertengkar, tapi Bik Isah tau hubungan keduanya cukup aneh menurutnya. Dingin. Dan hanya bicara jika diperlukan. Bahkan Sitha sedikit ketus setiap kali bicara dengan Bintang. Padahal bicara dengannya saja, Sitha ramah. Sebagai pengantin baru bukankah sudah seharusnya hubungan mereka mesra? Apa perubahan ini berarti hubungan mereka telah membaik? Ah, semoga saja demikian, doa Bik Isah tulus. Di meja makan, Sitha bingung mau makan yang mana. Selapar apa pun, Sitha belum pernah sarapan dengan porsi sebanyak itu. Apa iya harus seperti itu untuk memulihkan kembali tenaganya. Ada-ada saja Bintang. Saat masih kebingungan, ponsel di tas tangan yang terletak di sofa ruang tengah berbunyi. Namun Sitha mengabaikan karena dia baru memulai sarapan. Saat yang sama Bik Isah kembali muncul dari belakang. Latahnya langsung kumat saat ponsel Sitha kembali berbunyi. "Bu, itu telepon bunyi kenapa tidak diangkat?" ujarnya sambil melangkah tergopoh ke sofa dimana tas tangan Sitha tergeletak. "Eh maaf, aduh tuh kan?" Dia kebingungan sendiri saat sadar nyaris mengeluarkan benda itu dari dalam tas Sitha. "Keluarkan aja, Bik. Gapapa." "Jangan, Bu. Bibik mana berani," sahutnya. "Gapapa. Kan saya yang minta." Wanita itu sesaat tampak ragu. Dan refleks merogoh tas Sitha saat ponsel kembali menyala. Dari meja makan Sitha mengamati itu. Dia merasa lucu tapi juga kasihan. "Bapak yang nelpon, Bu," ujarnya setelah melirik layar ponsel. Wanita itu bergegas mendekat sembari menenteng ponsel Sitha di tangan kanannya. Senyum tipis menghiasi bibir Sitha saat benda pipih itu berpindah ke tangannya. "Dah makan?" tanya Bintang begitu panggilan tersambung. "Lagi," sahut Sitha. "Kamu apa-apaan suruh Bik Isah nyiapin sebanyak itu?" Sitha langsung protes. "Kok apa-apaan? Coba kamu hitung berapa banyak energimu yang terkuras tadi malam." Wajah Sitha menghangat mendengar ucapan Bintang yang blak-blakan. "Apaan sih?" sahutnya sembari melirik punggung Bik Isah yang menghilang di balik pintu kamar belakang. Sitha menghela napas lega. Biar bagaimanapun, membicarakan urusan ranjang di depan orang lain itu masih tabu bagi Sitha. Jangankan didepan orang lain, sama Bintang pun dia sesungguhnya masih risih. Hanya saja Bintang bersikap biasa sehingga dia pun tak lagi merasa canggung. "Aku serius, Sitha. Habisin semua." Dahi Sitha mengernyit. Kenapa Bintang jadi over protektif gitu? Tapi sepertinya apa yang dilakukan Bintang memang benar. Sampai saat ini pada bagian-bagian tertentu Sitha merasakan tubuhnya masih lemas. "Jadi ke kantor Papa?" Bintang kembali bertanya setelah sesaat obrolan mereka terjeda. "Liat nanti." "Kok gitu?" "Malas ketemu Papa." Moodnya tiba-tiba anjlok begitu ingat kartu kreditnya masih diblokir tempo hari. Dari seberang sana terdengar Bintang menghela napas. Lalu .... "Datang aja dulu. Setidaknya Papa bisa lihat niat baik kamu." Bukan Sitha namanya jika tidak membantah. Setelah sedikit beradu argumen akhirnya wanita itu menurut. "Ya," sahutnya datar dengan bibir cemberut. Kini yang membuat dia bingung, bagaimana caranya dia keluar rumah tanpa uang? Ah menyebalkan. Sitha membatin. Namun untuk meminta? Dia masih tahan gengsi. “Nah, gitu dong!" “Jangan senang dulu. Aku hanya bosan di rumah." Sitha menyahut ketus. “Apa pun lah," sahut Bintang di ujung sana. *** Sitha mengendarai mobilnya perlahan di jalan raya. Akhirnya dia benar-benar akan bekerja. Antara keinginan dan hanya untuk menyenangkan hati papanya itu. Entah pekerjaan apa yang nanti akan diberikan sang ayah untuknya. Secara dia tidak mendalami ilmu marketing. Pendidikan yang dia tempuh selama kuliah sama sekali tak ada kaitan dengan bisnis papanya. “Ah, bodo amatlah!" Sitha membelokkan mobil memasuki lahan parkir perkantoran. Selain kantor papanya, di lokasi tersebut juga ada apartemen yang lantai dasarnya dilengkapi dengan swalayan dan beberapa kafe. Karena kesiangan lahan parkir yang ada hampir penuh. Sial! Wanita itu menggumam. Suka atau tidak dia terpaksa memutar mencari lahan parkir yang menurutnya paling nyaman. Ketemu. Tepat di belakang kantor sang ayah. Kebetulan. Jadi wanita itu tak perlu jauh-jauh berjalan keluar. Cukup lewat lift belakang dia langsung sampai di depan ruangan sang ayah. Saat dia berancang-ancang mau parkir, sebuah mobil menyalip kendaraannya begitu saja. Shett! Mobil tersebut tepat berhenti di lahan parkir yang tadi akan dituju Sitha. Wanita itu gondok bukan main. Setelah menahan rem, dia segera turun dari mobil. Melangkah cepat mendekati mobil yang mana pengendaranya tak mengerti sopan santun. Sitha menendang ban belakang mobil Pajero sport warna hitam itu. "Turun gak, lo!" bentaknya sambil berkacak pinggang. Wajahnya telah memerah. Darah terasa mengumpul di ubun-ubun membuat jiwa bar-bar di dalam dirinya bergejolak. Tak sabar ingin menonjok muka si pengendara yang tidak tahu diri itu. Pintu mobil sport itu perlahan terbuka. Sebelah kaki memakai sepatu sneaker putih terjulur ke luar. Diikuti kakinya yang lain. Dari bentuk kaki itu sudah bisa dipastikan orangnya tinggi. Tegap. Harusnya gentleman. Kenapa berkelakuan seperti itu? Rebutan parkiran dengan seorang wanita. Sitha berdecih. Pria yang baru saja keluar dari mobilnya itu berdiri mematung. Masih tak percaya dengan penglihatan sendiri. Kondisi yang sama juga dialami Sitha. Bola matanya membesar dengan kedua tangan menutup mulut yang menganga. Apa yang dilakukan pria itu di sini? Dengan perasaan campur aduk, Sitha mendekat. Plakk!! Sebuah tamparan mendarat telak di pipi kiri pria itu. “Hadiah untuk kekurangajaran lo."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN