Bintang melirik Sitha dengan sudut matanya. Wanita itu menyuap santai makanan seolah tak terusik. Tak butuh waktu lama sepiring nasi goreng berhasil ia lahap. Saat suapan terakhir, gawainya berdering.
"Kenapa tak diangkat?" tanya Bintang saat Sitha mengabaikan panggilan berkali-kali.
Wanita itu hanya mengangkat pundak, "malas," sahutnya datar.
Bintang menatap sekilas, lalu tanpa mengatakan apa pun lagi ia melanjutkan suapan. Sebenarnya Bintang sedikit heran, tidak biasanya wanita itu betah di rumah.
Namun hal itu tentu tak akan ia tanyakan. Bukankah itu suatu kemajuan? Siapa tahu dengan lebih banyak interaksi antara mereka sikap wanitanya itu sedikit mencair.
"Gue selesai."
Tanpa menunggu jawaban Bintang, Sitha meninggalkan meja makan.
Pria itu menatap punggung Sitha yang melenggang ke ruang tengah. Ia hanya menghela napas sambil geleng-geleng kepala. Sikap yang sangat menyebalkan kalau dipikir-pikir.
Sayangnya hati Bintang telah terpaut demikian jauh, jadi apa pun yang dilakukan Sitha masih bisa ia tolerir. Selama sikap Sitha tidak melampaui batas. Mungkin.
Bibirnya tersenyum mengingat bagaimana gadis itu memeluknya erat tadi malam. Bintang baru tahu kalau wanita itu tidur lumayan aktif. Bantal guling yang ia taruh sebagai pembatas, entah bagaimana caranya terlempar ke bibir ranjang di bawah kaki Sitha.
Bintang terbangun saat merasakan pangkal lengannya kebas, ternyata kepala wanita itu menjadikan pundaknya sebagai bantal. Sebelah tangan Sitha memeluk lehernya. Yang makin membuat Bintang menahan napas adalah sebelah kaki itu yang bertengger di pangkal paha, nyaris mengenai pusaka Adam milik kebanggaannya.
Perlahan Bintang memindahkan kaki Sitha dengan sebelah tangannya yang bebas. Bukan apa-apa ia takut tak bisa menguasai diri. Khawatir hasrat yang ia pendam selama berbulan-bulan jebol. Dengan posisi seperti ini Sitha sangat menggoda, terlebih napas wanita itu serasa menggelitik lehernya.
"Ah sial." Ia bergumam.
Pada saat ingin memindahkan kepala Sitha dari pundaknya, wanita itu menggeliat. Bintang langsung pura-pura tidur dengan balas memeluk tubuh semampai Sitha hingga berakhir dengan keributan kecil pagi ini.
Suara bel membuyarkan lamunan pria itu. Setelah berbunyi beberapa kali, dengan malas-malasan Bintang melangkah untuk membukakan pintu. Baru sampai di ruang tengah ternyata Sitha telah lebih dulu ada di sana.
"Tarraaa."
Beberapa orang perempuan seusia Sitha menyerbu di depan pintu. Siapa lagi kalau bukan teman nongkrong istri cantiknya itu.
"Ngapain kalian ke sini," semprot Sitha. Ternyata jutek memang sifat bawaannya. Tak peduli pada siapa pun, tak heran kalau ia begitu ketus pada Bintang. Secara Bintang adalah pria pertama yang ingin ia hindari. Mungkin.
"Nyamperin lo lah! Kok telepon gue kagak dijawab?!" sahut salah seorang dari mereka. Wanita yang saat tertawa menampilkan kawat pada giginya.
Ketika Bintang mau berbalik, lapat ia mendengar seorang dari mereka berucap, “Itu laki lo?"
Sitha menoleh sekilas, "hmmm," sahutnya datar.
"Cakep beud," puji gadis dengan rambut dikuncir itu. Ucapan yang lantas menghadirkan senyum di sudut bibir Bintang.
"Yakin lo kaga demen?" Lanjutan pertanyaan itu membuat Bintang menajamkan pendengaran.
"Pa-an sih," sahut Sitha. "Mau masuk kagak, kalau gak balik gih," ketusnya.
"Cielaaah, jutek amat." Gadis berkuncir cemberut.
Sitha mempersilakan teman-temannya masuk dan duduk di ruang tamu, tanpa berniat memperkenalkan mereka pada Bintang, suaminya.
Merasa tak dianggap sama sekali, ia melangkah ke ruang tengah, menyalakan televisi sambil tiduran di sofa.
"Perasaan dulu laki lo bukan yang ono deh."
Samar Bintang mendengar percakapan itu.
"k*****t, lo pikir ada berapa laki gue." Bintang makin menajamkan pendengaran.
"Tapi beneran, perasaan yang gue liat bersanding ama lo di pelaminan gak cakep-cakep amat."
Bintang tak habis pikir. Apa perempuan setiap kali bertemu yang dibahas pasangan masing-masing?
"Aduh!" Lagi-lagi ia mendengar kehebohan di ruang tamu.
"Itu mata di sekolahin kek, pantang banget liat yang bening-bening," sambut suara teman Sitha yang lain.
Pasti gadis yang paling terlihat lebih kalem di antara semuanya.
Bintang mendengar kekehan gadis pertama tadi.
"Kalo lo gak mau, buat gue gimana?" lanjutnya.
"Ambil gih, itu pun kalau ia mau ama lo," sahut Sitha santai.
"Belum gue pake kok," lanjutnya.
Mata Bintang membulat. Seolah yang dibicarakan mereka adalah sebuah barang, bukan suaminya.
"Serius?" Serentak semuanya berkoar.
"Cakep ngono kok dianggurin?"
“Hebat banget lo bisa nahan?”
“Atau jangan-jangan laki lo ,....”
“Jangan-jangan apa?” Sitha mendelik.
"Hahaha."
Tawa mereka yang memenuhi ruang tamu membuat panas hati Bintang. Sikap Sitha di depan teman-temannya menyentil harga diri pria itu. Sakit, kecewa dan marah bercampur jadi satu.
Begitu tidak berharganyakah ia di mata Sitha? Sehingga tanpa sedikit pun rasa bersalah ia mempermalukan suaminya sendiri.
Bintang mematikan televisi lalu melangkah ke kamarnya. Mau marah? Jelas bukan keputusan yang bijak. Yang ada ia akan membuat suasana menjadi semakin kacau dan ia lah yang bertambah malu.
Diraihnya jaket kulit lalu menyampirkan di pundak. Tangannya meraih kunci motor yang tergeletak di meja kerja. Sambil mengenakan jaket, Bintang melewati gerombolan gadis itu.
"Laki lo mau ke mana?" Salah satu dari mereka, si Gigi Kawat yang tadi, bertanya setengah berbisik.
Sitha hanya mengangkat pundak dengan sikap bodo amat.
***
Bintang memacu motornya kencang di jalanan. Menumpahkan segala kekesalan yang membludak. Kalau ia mau tak sulit baginya untuk meniduri wanita itu. Namun ia menghormati Sitha, ia tidak akan menuntut apa pun jika yang bersangkutan sendiri tidak rela. Meski ia sangat berhak untuk mendapatkannya.
Pria itu mengendara tanpa tujuan yang jelas. Menelusuri jalanan ibukota hingga terdampar pada satu lokasi tempat pemancingan. Banyaknya pengunjung cukup menarik perhatian Bintang. Ia pun memarkirkan kendaraan di sana. Bergabung dengan para penonton yang berjejer. Ternyata ada pertandingan. Hadiahnya lumayan, motor matic bagi pemenang utama. Yang membuat Bintang takjub, pesertanya tidak saja dari dalam kota, tapi hampir dari seluruh pelosok Jabodetabek.
Tempat pemancingan itu dilengkapi dengan aneka hidangan dari ikan segar. Dimana konsumen boleh memancing sendiri atau terima jadi. Juga aneka minuman segar yang menggugah selera. Berada di pinggiran kota menjadikan lokasi tersebut cukup nyaman. Lumayan menyegarkan otak Bintang yang lagi mumet.
Ia pun memilih tempat di bawah sebuah tenda tak jauh dari bibir kolam. Pinggir jalan tol. Bintang memesan segelas coklat hangat buat menemani. Dari sana ia bisa melihat semua peserta memancing dengan cukup jelas.
Sayangnya kenyamanan itu hanya ada sesaat. Makin siang tempat tersebut makin ramai dikunjungi. Rata-rata datang bersama keluarga atau pasangan.
Sementara dirinya?
Sambil mendengkus, pria itu membuang tatap ke jalanan.
Lagi-lagi ia mengumpat saat matanya menangkap sebuah truk yang lewat bertuliskan, "truk aja gandengan, masa situ nggak?"
Setelah menghabiskan makanan yang ia pesan di pemancingan tadi, Bintang bergegas meninggalkan tempat tersebut. Kelamaan di sana membuat dadanya kian sesak.
Namun sesampainya di jalan raya, pria itu bingung mau ke mana. Pulang? Rasanya ia belum siap bertemu Sitha. Yang ia takutkan tidak bisa mengendalikan diri seandainya teman-teman Sitha masih ada di rumah mereka.
Akhirnya ia memilih ke kantor.
Ya, saat ini hanya tempat itu yang membuatnya bisa lebih tenang.
Berjam-jam kemudian Bintang menghabiskan waktu di sana. Terbenam dalam puluhan file yang harus ia periksa sedikit membuatnya melupakan hal pahit itu.
***
Sitha mondar-mandir di ruang tengah. Jarum jam menunjukkan hampir di angka 10. Bintang belum juga kembali. Tak biasanya Bintang belum pulang hingga selarut ini.
Ia bahkan lebih memilih mengerjakan pekerjaan di rumah dibanding lembur di kantor dan pulang malam. Yang ada malah Sitha pulang tak peduli waktu setiap harinya.
Mungkinkah ia tersinggung karena sikapnya dan teman-teman tadi siang? Wanita itu menghela napas. Sitha tahu apa yang ia lakukan sangat keterlaluan, biar bagaimanapun Bintang suaminya. Namun rasa gengsi tak mau dianggap tidak konsisten membuatnya menjadi tega mempermalukan suami sendiri.
Suami?
Senyum sinis tersungging dari sudut bibir wanita itu. Ia benci kata itu. Hal ini tak ‘kan terjadi jika Bintang tidak menerima perjodohan mereka begitu saja. Cukup dengan satu penolakan, maka sampai sekarang tentu Sitha akan tetap menghargainya. Itu pun andai mereka masih punya kesempatan bertemu.
Tapi kenapa sekarang timbul perasaan kasihan dan bersalah? Menunggu itu melelahkan. Akankah begini yang dirasakan Bintang setiap hari ia pulang semaunya?
Lelah menunggu, Sitha tertidur di sofa dengan televisi yang masih menyala.
Hampir jam 12 malam Bintang memasuki pekarangan rumah.
Ia mendongak, lampu kamar Sitha masih menyala. Sementara kamarnya yang berseberangan terlihat gelap. Pria itu langsung memasukkan motor ke garasi sekalian mengunci pagar.
Ia memasuki rumah dari pintu samping yang terhubung dengan ruang tengah. Begitu pintu dibuka, matanya menangkap sosok Sitha yang tertidur di sofa.
Dahinya mengernyit penuh tanya. Untuk apa wanitanya itu tidur di sini? Menunggunyakah? Batinnya.
Sesungging senyum miring merekah di sudut bibir Bintang. Andai saja kebenarannya demikian. Seperti yang sering ia baca dalam n****+ romance?
Bintang tersenyum sendiri, ternyata ia dulu pernah sealay itu. Mengkhayal menjadi tokoh cerita salah satu n****+ romance yang ia baca bersama Ayu, sang pujaan hati. Padahal usia mereka belum cukup umur untuk mengenal bacaan seperti itu.
Lelaki itu membuka jaket kulit yang ia gunakan, menyampirkan di salah satu sandaran kursi. Lalu melangkah ke dapur, minum segelas besar air putih hangat. Kembali ke ruang tengah, pendengarannya menangkap dengkuran halus wanita itu.
Bintang mendekat, ia menatap wajah Sitha. Dalam tidurnya wanita muda tersebut terlihat sangat manis. Sedikit pun tak terpancar kalau sesungguhnya ia wanita yang galak dan suka seenaknya.
"Sitha ...." Bintang menggoyangkan pundaknya pelan.
"Hmmm," sahut wanita itu.
“Pindah ke kamar gih," lanjutnya lagi.
Wanita itu tak menggubris, ia malah memperbaiki tidurnya dan kembali mendengkur. Bintang menarik napas panjang. Sepertinya percuma membangunkan orang yang benar-benar tertidur pulas.
Meski ragu, ia menggendong tubuh Sitha dan membawanya ke lantai atas. Kamar wanita itu.
Bintang meletakkan tubuh Sitha perlahan di ranjang dan menyelimutinya. Kembali menatap wajah cantik itu dalam.
"Andai kau sedikit saja membuka hati," gumamnya pelan. Lalu mengecup pucuk kepala Sitha sesaat.
Ketika akan bangkit, tiba-tiba saja gadis itu bergumam.
"Kak, ja-ngan per-gi."
Bintang tersentak. Apakah wanita itu menyadari keberadaannya? Ia mengamati wajah Sitha sambil menahan napas. Lalu menghembuskan napas lega ketika tahu Sitha hanya mengigau.
Sebelum melangkah ke luar kamar, Bintang mematikan lampu dan menggantinya dengan lampu tidur. Kemudian menutup pintu kamar itu perlahan.
Selanjutnya laki-laki itu bergegas ke kamar sendiri. Beberapa saat ia hanya terpana di bibir ranjang.
Kak? Siapa yang dimaksud Sitha? Mungkinkah dirinya? Rasanya mustahil, toh semenjak menikah Sitha tak pernah memanggilnya dengan sebutan Kakak, yang ada 'lo gue'. Ataukah Azka? Ya, mungkin pria itu yang Sitha maksud. Bukankah Sitha cinta mati pada pemuda itu?
Tanpa disadari telapak tangannya mengepal kuat. Kemudian menghempaskan ke udara. Lalu meremas rambutnya kasar.
Beberapa saat kemudian ia menyandarkan tubuh di kepala ranjang dengan jemari tangan yang saling terkait di belakang kepala.
Lagi-lagi Bintang menarik napas dalam. Kecewa? Jangan tanya. Lebih dari itu, hatinya terluka. Perih. Kian hari luka ini kian menganga. Pria itu mulai pesimis kalau semuanya akan membaik seiring waktu. Nyatanya mereka kian jauh. Lalu pantaskah hubungan seperti ini dipertahankan?
Akankah ada kebahagiaan jika hanya satu pihak yang berjuang?
Nyatanya jadi lelaki pengganti itu menyakitkan.