Matahari pagi menembus kisi-kisi jendela kamar Sitha. Wanita itu meregangkan tubuh berkali-kali, namun masih enggan untuk membuka mata.
Tiba-tiba Sitha melompat bangun saat menyadari dia ada di ranjang kamarnya. Sesaat wanita itu hanya termangu. Bukankah tadi malam ia tengah menunggu Bintang di ruang tengah? Sitha berusaha mengingat-ingat.
Ya. Ia ingat benar. Malam tadi ia sengaja menonton televisi di ruang tengah demi memastikan laki-laki yang kemungkinan besar tengah kesal padanya itu pulang.
Namun sampai menjelang tengah malam dan akhirnya ia tertidur, Bintang belum juga memperlihatkan batang hidungnya. Namun kalau bukan Bintang, lantas siapa yang bisa memindahkan tubuhnya ke kamar? Tak mungkin kan ia mengalami sleepwalking? Entah juga jika kamarnya ada di lantai bawah. Ini di atas.
Atau jangan-jangan ....
Ingatan wanita itu kembali pada kejadian tempo hari saat ia mendengar suara si Putih, namun binatang itu tidak terlihat di mana pun.
Namun dengan cepat ia menggeleng. Membantah jalan pikiran sendiri.
Bintang, kemungkinan yang pasti hanya laki-laki itu. Bukankah di rumah ini hanya ada mereka berdua? Yang nyata maksudnya. Sitha membatin.
Memikirkan hal itu perlahan ia beranjak turun, meninggalkan ranjangnya yang empuk. Sitha bergegas keluar kamar. Ada keinginan untuk mengetuk pintu kamar Bintang yang bersebelahan dengan pintu kamarnya.
Namun akhirnya ia urungkan. Apalagi penyebabnya jika bukan karena gengsi. Sitha tidak mau Bintang akan berpikir macam-macam nantinya. Apa lagi menganggap ia modus, seperti yang kemarin Bintang tuduhkan.
Ah, mending lihat motornya aja. Kalau ada berarti benaran laki-laki itu pulang, dan memindahkannya ke kamar, batin gadis itu lagi.
Sambil menguncir rambut asal, setengah berlari ia menyusuri anak tangga. Di ruang tengah Sitha menemukan jaket kulit yang kemarin digunakan laki-laki itu disampirkan ke salah satu sandaran kursi.
Sitha menarik napas lega.
"Syukurlah," gumamnya.
Beberapa saat kemudian wanita itu mengerinyit.
Sebenarnya ada apa dengan dirinya? Kenapa ia mengkhawatirkan Bintang? Jangan bilang ....
Sitha menggeleng pelan.
"Enggak, aku hanya merasa bersalah atas kejadian kemarin," tegasnya pada diri sendiri.
Dengan malas-malasan akhirnya ia kembali menaiki anak tangga, menuju ke kamar. Melanjutkan mimpi karena hari ini wanita itu enggan ke mana-mana.
Sayang matanya sudah tidak lagi ingin terpejam. Akhirnya Sitha memutuskan untuk kembali bangkit. Ia menyibak gorden yang menutupi jendela kamar agar cahaya matahari lebih leluasa menyinari kamar itu.
Selanjutnya Sitha melangkah ke balkon. Di depan pintu ia menghirup udara segar agar memenuhi paru-parunya.
Saat menoleh ke samping, ia tertegun ketika netranya menangkap sosok Bintang yang tengah meregangkan tubuh. Di sisi sebelah kiri balkon, terdapat sebuah treadmill. Sitha tak pernah tahu kapan laki-laki itu membelinya.
Beberapa kali Bintang terlihat menguap. Sepertinya kantuk masih menggelayutinya.
"Tampan," desis Sitha pelan. Kenapa wanita itu baru menyadari?
Balkon kamar mereka bersisian. Mungkin berjarak sekitar empat sampai lima meter. Biasanya Sitha jarang sekali ke sana, ia tak pernah tahu kalau hampir setiap pagi lelaki itu mengolah tubuh di balkon kamar tersebut.
Bintang menggunakan celana boxer dan kaos oblong. Sedikit nge pas di tubuhnya yang atletis. Hingga roti sobek miliknya tercetak jelas di balik kaos ketat yang ia gunakan.
"Ehemmm,' ujar Bintang tanpa menoleh sedikit pun.
Sitha yang tengah terpana mengagumi sosok tampan di depannya jadi tersentak. Wajahnya memerah, namun hanya sesaat. Detik berikutnya wajah manis khas bangun tidur itu kembali jutek. Padahal tadinya ia ingin meminta maaf atas peristiwa kemarin.
Sadar dirinya telah tertangkap basah Sitha maju beberapa langkah hingga mencapai pagar pembatas.
"Apa? Jan kege-eran deh," ujarnya.
"Siapa yang ge-er?" sahut Bintang tak acuh. Lalu memulai aktivitasnya mengolah tubuh tanpa merasa terusik.
Gadis itu mendelik.
"Mau ikutan?" Bintang menawarkan tanpa peduli ekspresi Sitha.
"Nggak!"
Dengan langkah sedikit mengentak, Sitha berlalu. Bibirnya mengomel tak jelas. Meski tak bisa ia pungkiri Bintang memang menawan.
Hei, lo kenapa Tha? Ini bukan diri lo banget.
"Dasar cewek." Bintang menggumam.
Senyum datar menghias sudut bibirnya. Ia menggeleng perlahan saat wanita itu menghilang kembali ke kamarnya. Cukup speechless juga ia dengan tingkah laku Sitha pagi ini.
Ada apa dengan wanita itu? Ia membatin.
"Jangan ngimpi." Ucapan judes wanita itu sempat tadi didengar Bintang.
Ia terkekeh, itulah caranya untuk menghibur diri. Sakit? Pasti. Lagi-lagi kesabaran pria itu diuji. Bagaimana tidak? Wanita yang ia cintai sama sekali tak menganggapnya ada. Padahal di atas kertas mereka telah halal satu sama lain.
Ia tak pernah tahu sesungguhnya akhir-akhir ini Sitha mulai merasa ada sesuatu yang berbeda saat tak sengaja netra mereka bertemu. Pesona suaminya itu begitu kuat, dan ia harus mengakui itu. Walau hanya jauh di lubuk hatinya, ia yakin rasa itu hanya sekedar kekaguman, bukan cinta. Catat. Karena ia tak mungkin menduakan Azka di hatinya. Itu menurut Sitha.
Bintang meraup udara pagi dengan rakus dan mengempaskannya kasar. Angan pria itu kembali ketiga bulan silam. Ia begitu yakin menjawab ijab qobul saat menjabat tangan ayah kandung Sitha. Om Prasetyo.
"Sah?"
"Sah!" jawab para saksi serentak.
"Barakallah."
Serentak doa-doa terbaik melangit.
Semua yang ada di sana menarik napas lega. Akad nikah dan pesta pernikahannya berjalan meriah. Ya wajar saja, seorang Arsitha Putri Ayunda adalah anak tunggal pemilik Jaya corp. Relasinya ada dimana-mana. Jelas saja momen pernikahannya adalah hal yang ditunggu berbagai kalangan.
Senyum manis tak berhenti Sitha tebar pada para tamu selama acara resepsi. Ia terlihat bahagia. Sayang sekali kebahagiaan yang ditampilkan tak lebih dari sebuah kamuflase. Sikap gadis itu langsung berubah saat keduanya memasuki kamar pengantin.
"Gue menerima perjodohan ini demi orang tua gue," ujar gadis itu angkuh.
"Aku tau," sahut Bintang santai.
"Baguslah! Jadi jangan harap lo akan dapatkan hak lo sebagai seorang suami," tegasnya tanpa menoleh. Ia mulai membersihkan wajah dari sisa make up yang masih menempel.
Bintang mengatupkan rahangnya rapat. Apa sepicik itu Sitha menilainya? Dengan gigi gemeletuk menahan geram ia mendekat. Berdiri di depan Sitha dan duduk di meja rias. Dengan sedikit menunduk ia menatap tepat pada bola mata gadis itu.
"Begitukah?"
"Ya," sahut Sitha tegas. Membalas tatapan Bintang tak kalah tajam.
Kalau Bintang berpikir akan bisa mengintimidasinya, jelas pria itu salah. Sitha bahkan telah mempersiapkan diri andai malam ini malam pertama dan terakhir bagi mereka.
Wajah Bintang kian mendekat. Dari jarak yang hanya terpaut beberapa inchi Bintang bisa merasakan hangatnya napas wanita yang baru beberapa jam lalu ia nikahi.
"Kalau hanya sekedar kebutuhan s**********n, membalikkan telapak tangan jauh lebih rumit," sahutnya berbisik, dingin. Sikap Sitha benar-benar membuatnya merasa tersinggung.
Bintang sedikit membuat jarak tanpa memutus tatapan.
Apa yang ia katakan bukan sekedar isapan jempol. Di Singapura sana, tempat Bintang dibesarkan betapa banyak gadis-gadis yang rela menjatuhkan harga diri hanya demi bisa mencuri perhatiannya. Sayang, Bintang tak pernah tertarik pada satu pun di antaranya.
Sitha melengos. Bagaimanapun ditatap sedemikian rupa jelas membuat ia gugup. Terlihat dari bola matanya yang berpendar gelisah. Bintang menarik dagu gadis itu agar kembali menatapnya. Jarak wajah mereka kini semakin dekat. Sangat dekat, hingga Bintang dapat mencium wanginya aroma tubuh wanita itu.
Ia mati-matian menahan hasrat untuk tidak mencium Sitha. Terlebih saat Sitha menggigit bibirnya sendiri karena gugup. Malah terlihat menggoda di mata Bintang.
Sitha cantik. Sangat cantik. Bola matanya berwarna hitam kecokelatan dinaungi bulu mata yang panjang dan lentik. Di atasnya alis tersusun panjang dan rapi. Meskipun gugup, gadis itu berani menantangnya, hingga netra mereka saling tertaut. Namun Bintang sadar tatapan mereka punya arti yang berbeda.
Tiba-tiba Bintang melepaskan tangannya dari dagu gadis itu.
"Jadi jangan pikir aku akan mengemis untuk mendapatkannya," lanjutnya tak kalah tegas. Kemudian beranjak meninggalkan Sitha yang terlihat masih syok.
Wajah gadis itu memucat, matanya terlihat berkaca-kaca.
"Sial!" gumamnya.
Untuk pertama kalinya ia merasa dipermalukan sedemikian rupa. Hal itu menimbulkan kebencian di hatinya kian membludak. Itu yang dibilang orang tuanya suami yang baik?
Wanita itu mendengkus sebal sembari menatap punggung Bintang saat meninggalkannya begitu saja.
Sambil melonggarkan dasi yang tetiba terasa mencekik lehernya, Bintang melangkah menuju balkon. Ia sudah memprediksi bagaimana sikap Sitha saat berhadapan dengannya.
Namun ia tak menyangka sikap Sitha sedemikian rupa, meskipun ia sadar pernikahan mereka bukan sesuatu yang diharapkan gadis itu.
Bintang menghela napas panjang dan mengembuskannya kasar. Sitha terlalu mengagungkan perasaannya pada laki-laki yang ia panggil kekasih. Lelaki yang menurut Bintang bukan seseorang yang berhak mendapatkan tempat istimewa di hati wanitanya.
Lelaki baik-baik mana yang tega meninggalkan calon istri sesaat sebelum acara pernikahan?
Sayangnya cinta membutakan mata dan hati Sitha. Saat seperti ini ia malah menyalahkan Bintang karena mau menerima perjodohan mereka yang super kilat.
Sambil menyandarkan tubuh di pagar pembatas, Bintang menyalakan sebatang kretek. Menyulut dan menghisap. Lalu mengembuskan asapnya perlahan ke udara.
Kembali terbayang olehnya wajah Sitha saat ia tinggalkan tadi. Sungguh demi apa pun Bintang tak ingin membuat gadis itu terpojok. Namun bersikap terlalu lembek menghadapinya bukanlah suatu pilihan yang tepat. Yang Bintang mau, suka atau tidak, Sitha harus belajar menghormatinya sebagai seorang suami.
Hampir menjelang tengah malam Bintang baru meninggalkan balkon. Saat kembali ke kamar dilihatnya Sitha sudah mendengkur di ranjang. Wanita itu bergelung di bawah selimut hingga menutupi hampir seluruh wajahnya.
Sayangnya dugaan pria itu salah. Di bawah selimut hangatnya itu Sitha masih tetap waspada. Bagaimana mungkin ia bisa tidur dengan nyaman saat di kamarnya ada seorang lelaki yang kini telah halal baginya?
Ketika Bintang merangkak ke tempat tidur setelah bersih-bersih diri dan mengganti kemeja putih yang ia kenakan dengan piyama, Sitha membuka mata.
'Mo ngapain lo?" desisnya tajam.
Bintang hanya diam.
"Lo bilang tadi ...."
"Nggak usah geer, saya cuma mau pinjam satu bantal," potong Bintang cepat.
"Atau kamu sebenarnya sengaja memancing keributan biar orang tuamu tau, dan mereka memaksa kita tidur di ranjang yang sama?"
"What? Lo ngimpi?"
Mata wanita itu membulat.
Bintang mendengkus. Lalu meraih bantal itu dan kembali meninggalkan ranjang.
Alhasil malam pengantin yang seharusnya indah berujung dengan perang dingin. Bintang lebih memilih tidur di sofa, sebelum gadis itu benar-benar mengusirnya. Walau ia harus berkali-kali menelan ludah tatkala melihat tubuh indah Sitha tergolek lelah di ranjang pengantin mereka.
Hingga sekarang ...
Sepertinya Bintang sudah mulai lelah. Kadang ia mulai merasa membuang-buang waktu. Berjuang untuk rasa yang dimiliki itu harus. Akan tetapi lelah itu pasti berujung saat sang pemilik rasa hanya berjuang sendirian.
Ya. Bintang mulai merasa apa yang ia lakukan hanya sebuah kesia-siaan. Sitha terlalu keras untuk ditaklukan. Atau selama ini ia yang terlalu baik memperlakukan wanita itu?
Jangan menyerah Bintang, bukankah kamu telah berjanji pada orang tua gadis itu? Nalurinya kembali mengingatkan.
Hanya sampai segitu nyalimu, Bin?
Sitha itu hanya seorang gadis yang tengah dimabuk cinta pada orang yang salah hingga bersikap kekanakan. Akankah sikap kekanakannya itu yang membuatmu menyerah? Kau cemen, Bin!
Bintang dilecut suara hatinya sendiri.
"Baiklah, Sayang. Kita lihat nanti, siapa yang mengejar siapa!" dengkusnya dengan sudut bibir terangkat.
Pemuda itu lalu melangkah meninggalkan balkon. Satu tekad kuat telah terpatri di dadanya.