Sitha menyentak tangan besar Bintang yang melingkari perutnya hingga pria itu tersentak kaget. Lalu bangkit segera beranjak menjauh.
"Ad ... ada apa?" tanya Bintang sambil menguap, mengucek matanya lantas bangkit, duduk di bibir ranjang. Menatap bingung wanita cantik di depan yang seolah ingin menelannya bulat-bulat.
"Lo ngambil kesempatan ya?" tuduhnya galak.
“Kesempatan? Kesempatan apaan?" sahut Bintang, lalu kembali tidur. Matanya masih sangat mengantuk.
"Bangun ...!" sentak Sitha, menarik kembali tangan Bintang kasar.
"Ada apa sih?" sahut Bintang dengan mata masih terpejam.
“Jangan pura-pura, lo sengaja cari kesempatan saat gue tertidur, ‘kan?"
“Maksudnya?"
Kali ini kantuk laki-laki itu benar-benar menghilang. Ia duduk bersila menghadap Sitha, dengan bola mata yang sedikit memerah, menatap tepat pada bola mata gadis galak itu. Tuduhan Sitha membuatnya tersinggung.
“Bagaimana bisa lo tertidur sambil meluk gue," semprot Sitha dengan wajah memerah. Entah karena malu, entah marah.
Bintang tersenyum miring. Ia paham sekarang. Bintang menarik napas sambil menggaruk tengkuk, lalu merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan dengan jari.
"Jangan-jangan cerita hantu itu hanya akal-akalan kamu agar aku temenin. Terus memintaku tidur di sini, naruh guling sebagai pembatas hanya pada saat aku mau tidur, selanjutnya kamu sendiri yang memindahkan, bukan?" sahutnya santai dengan mimik yang bikin kesal.
Sitha membekap mulutnya kaget dengan bola mata mendelik. Ucapan Bintang benar-benar membuatnya ingin muntah.
"Gue belum gila untuk melakukan hal itu semua," sahutnya sarkastis.
"Terus maksud kamu, aku mengada-ada? Pikir, apa bisa guling itu berpindah tempat dengan sendirinya?" Bintang menunjuk guling yang berantakan di bibir ranjang sebelah Sitha dengan dagunya.
Sitha terdiam. Apa benar yang dikatakan pria itu, ia sendiri yang membuat keadaan kacau. Jadi yang semalaman ia peluk bukan guling, tapi Bintang. Mengingat hal itu ia melengos, jengah.
Memang dirinya yang meminta Bintang pindah ke ranjang karena tidak tega melihat kaki lelaki itu terjuntai. Pasti sangat tidak nyaman tidur dengan posisi itu. Tapi bukankah ia telah memasang sekat pembatas berupa guling dan bantal yang ditumpuk di antara mereka?
Lalu bagaimana bisa ...?
"Kenapa? Analisisku bener?" cibir Bintang.
"Gue mau mandi." Sitha berkilah.
Ia segera melompat turun dari ranjang dengan wajah memerah.
"Perlu ditemani juga?" sindir Bintang.
Sitha menoleh dengan tatapan setajam pedang. Siap mencincang pria itu jika ia macam-macam. Bintang tersenyum dengan mengangkat kedua pundaknya. Lalu melangkah keluar kamar. Kembali ke ranjangnya sendiri untuk melanjutkan tidur. Mumpung akhir pekan.
Sementara itu Sitha sibuk mematut dirinya di depan cermin dalam kamar mandi. Memeriksa setiap inci, kalau-kalau Bintang melakukan sesuatu. Tak ada yang berbeda. Tubuhnya masih terlihat sama dengan yang kemarin. Tak ada tanda-tanda kalau ia telah dijamah.
"Atau jangan-jangan ..., ah gak mungkin.”
Wanita itu menggeleng.
'Jangan bodoh, Sitha . Bagaimana mungkin lo tidak akan terbangun jika ia beneran ngelakuin? Secara dengan tubuh setegap itu ....'
Plak!
Sitha memukul kepalanya sendiri dengan wajah memanas, ia menggeleng membuang pikiran m***m yang tiba-tiba merayapi otaknya. Sangat manusiawi sebenarnya, Bintang kelewat tampan untuk dibiarkan begitu saja. Itu kalau Sitha tidak menutup hati.
"Sadar Sitha, bukan pria itu yang lo inginin," bentaknya pada diri sendiri.
Ia buru-buru menyelesaikan mandi. Setelah selesai wanita k itu kebingungan sendiri karena lupa membawa handuk. Sitha mondar-mandir di dalam kamar mandinya.
Bagaimana ini?
Mau keluar tak berani, ada Bintang di kamarnya. Dia membuka pintu kamar mandi pelan, mengintip ke ranjang. Lantas menarik napas lega karena ternyata laki-laki itu sudah tidak lagi berada di sana. Secepatnya ia meraih handuk dan membalut sekujur tubuh dengan perasaan lega.
Setelah selesai dandan seadanya ia melangkah keluar kamar. Hari ini gadis itu tak ingin kemana-mana, hingga ia memutuskan untuk menemani Mbok Inah yang tengah menyiapkan sarapan.
"Bapak udah berangkat, Mbok?" tanyanya basa basi.
"Lha, bukannya sekarang hari Minggu, Bu."
"Oo iya, sampai lupa saya. Maklum pengangguran, ampe lupa hari," kekehnya.
"Ah, bisa aja si Ibu mah."
"Ibu mau dibikinin apa sarapannya? Maaf si Mbok belum tau apa kesukaan Ibu. Habisnya Ibu jarang makan di rumah sih?" tanya Mbok Inah.
"Kalau buat Bapak apa?" Sitha balik bertanya.
"Ia suka nasi goreng."
Wanita paruh baya itu langsung hafal apa saja kegemaran Bintang, sementara ia tak tahu apa pun tentang Sitha. Padahal Mbok Inah mengenal mereka berdua pada saat yang bersamaan. Bedanya, Bintang lebih sering interaksi dengan asisten mereka itu. Sementara Sitha bersikap tidak peduli.
"Ya sudah sekalian buatin saya!" perintahnya.
"Baik, Bu."
Sitha meninggalkan dapur. Ia melangkah ke halaman samping rumah itu. Matanya dimanjakan dengan aneka kaktus yang tersusun rapi dan sangat terawat. Wanita itu sedikit kaget, tapi cuma sesaat. Tak bisa dipungkiri keindahan tanaman itu membuat Sitha takjub. Siapa pemilik semua ini? Bintang kah?
Untuk pertama kalinya Sitha merasa tak berguna, sudah tiga bulan menjadi istri Bintang dan tinggal di sini ia tak tahu seluk beluk tentang pria itu, apalagi tentang rumah ini.
'Bomat, emang gue peduli'. Wanita itu menggelengkan kepala, mengusir pikiran waras yang tiba-tiba menghampiri.
Setiap hari yang ia lakukan pergi pagi pulang malam. Menghabiskan sebagian besar waktu hanya dengan nongkrong bersama teman-temannya.
Sitha jongkok di depan kaktus-kaktus itu, meneliti satu persatu. Ada rasa yang tiba-tiba membuat sesak. Tanaman itu mengingatkannya akan seseorang, Alka. Karena dia jugalah Sitha tak ingin lagi melihat semua jenis kaktus apa pun. Bahkan semua tanaman hias itu ia lenyapkan dari pekarangan rumahnya.
Hal itu ia lakukan sebagai bentuk kekecewaan karena orang yang selalu memberikan hadiah itu menghilang tanpa jejak. Mungkin di usia yang belum genap sepuluh tahun orang akan menganggap apa yang ia rasa hanyalah cinta monyet. Tapi tidak menurut Sitha. Ia mencintai Alka, membutuhkan lelaki itu lebih dari ia membutuhkan kedua orang tuanya sekalipun. Kedekatan mereka membuatnya bergantung pada teman kecilnya itu.
Di saat harapan yang ia sandarkan pada Alka pupus, Azka hadir dalam hidupnya. Entahlah! Apa karena nama mereka mirip atau karena kegigihan pria itu, setelah hampir satu tahun Azka berhasil membuat Sitha jatuh ke pelukannya. Bukan perjuangan yang mudah. Karena itu jugalah Sitha sangat yakin akan kesungguhan pria itu.
Jika sampai saat ini ia belum kembali pasti ada sesuatu yang buruk terjadi. Harusnya ia mencari dan menemukan Azka. Bukan justru malah menikah dengan orang lain. Hal itulah yang membuat kebencian mendalam tumbuh di hatinya untuk Bintang. Andai pria itu menolak, tentu orang tuanya juga tidak akan memaksa.
Sitha merasa Bintang mengambil kesempatan dalam kesempitan dan itu yang membuatnya mati rasa akan pria ini.
“Kamu suka?" Tiba-tiba saja pria yang tengah ia pikirkan telah berada di belakangnya.
"Tidak!" Ucapan yang bertolak belakang dengan apa yang ia rasakan.
"Ohh." Bintang mengangguk.
"Kalau gitu jangan diusik!" lanjutnya.
"Gue gak tau kalau lo penyuka kaktus-kaktus ini."
"Aku merawatnya untuk seseorang."
"Seseorang ...? Pacar lo?"
Bintang menatap Sitha sekilas, lalu mengangkat pundak, "Yang pasti aku sangat mencintainya."
Sitha membulatkan mulut, mengangguk-angguk mengerti. Ada sebersit luka di sorot mata itu. Mungkinkah pernikahan ini juga membelenggunya?
"Jika mencintainya, kenapa lo mau diminta papa untuk menikahi gue?" Ada nada penyesalan terdengar keluar dari mulut wanita itu.
"Karena aku menghormati papamu seperti orang tuaku sendiri. Aku tak mau ia dipermalukan."
“Dengan mengorbankan perasaan lo sendiri?”
Bintang hanya mengangkat pundak.
"Lo sadar gak, justru langkah yang lo pilih ini malah makin menyulitkan kita berdua untuk bersatu dengan orang yang kita cintai?" sesal Sitha.
Bintang menatap wanita itu. Mengamati wajah cantik Sitha yang hanya dipolesi make up tipis. Mata indah itu terlihat sayu dengan tatapan kosong. Ini kali pertama mereka bicara serius tanpa emosi. Tepatnya tanpa Sitha emosi.
"Kamu masih mencintai Azka?"
"Sangat dan selamanya."
Bintang menarik napas panjang, kemudian membuang pandangan ke kolam kecil di sudut taman. Ada sesuatu yang nyaris hilang dari hatinya, dan itu membuat sesak.
"Maaf, Pak, Non. Nanti sarapannya keburu dingin."
Panggilan Mbok Inah membuyarkan kebisuan yang tercipta antara mereka. Bintang menatap Sitha dengan seribu tanya.
"Jangan tatap gue seperti itu!" sungut Sitha.
Ia tahu, pasti laki-laki itu mempertanyakan kenapa ia ikutan sarapan pagi di rumah.
"Kamu beneran udah bangun, 'kan?"
"Maksud lo apa?"
"Aku takutnya kamu lagi ngelindur."
"Sialan!"
Bintang tersenyum masam, kemudian berlalu mendahului Sitha. Menuju ruang makan.
"Orang aneh," sungut wanita itu, lalu langkahnya menyusul mengikuti Bintang.